Opini
Polemik Kasus Pagar Laut dan Skandal PSN PIK-2
TANGKAP PARA PENGKHIANAT NEGARA SEGERA!
HEBOH kasus 30,16 km pagar laut di utara Tangerang terus bergulir. Prabowo telah menunjukkan sikap resmi pemerintah melalui pencabutan pagar yang dimotori TNI AL. Dengan TNI, jangankan preman, para “oknum” Polri yang selama ini biasa bertindak sadis dan brutal terhadap rakyat di “Negara PIK-2” pun tidak lagi ”berani” melindungi atau mengamankan “lahan laut milik oligarki”, pelaku state-corporate crimes.
Sejak 14 Januari 2025 TNI AL, Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP, muncul belakangan) dan beberapa kalangan pemerintah telah melibatkan partisipasi rakyat bergabung mencabut pagar laut. Berikutnya, telah disebar undangan bertema “Turun Ke Laut Membongkar Pagar Laut Bersama TNI AL” yang akan berlangsung Rabu, 22 Januari 2025, jam 08.00 WIB, di Tanjung Pasir, Teluk Naga, Tangerang. Rakyat telah diundang secara terbuka berpartisipasi merobohkan pagar yang merupakan bukti arogansi dan hasil kerja para pelaku kriminal pelanggar hukum dan kedaulatan NKRI.
Sebagai langkah awal kebijakan mencabut pagar laut mungkin layak disambut baik dan diapresiasi. Namun sesudahnya, telah menanti berbagai langkah dan kebijakan lebih signifikan. Prabowo harus pro aktif menjamin terjadinya proses hukum terhadap para pelaku kejahatan secara adil, transparan, kredibel, dll. Rakyat butuh pembuktian, bukan ¨omon-omon¨. Rakyat pasti menggugat Prabowo jika kebijakan “cabut pagar” hanya menjadi ajang pencitraan, atau berakhir pada deal ruang tertutup, atau tidak menyentuh pelanggaran mendasar, atau direkayasa sedemikian rupa untuk meloloskan para pengkhianat dari jerat hukum.
Kejahatan pemagaran laut sepanjang 30.16 km di utara Tangerang jelas merupakan kejahatan kriminal tingkat tinggi terhadap negara yang terstruktur, sistemik dan masif (TSM). Di lapangan yang bekerja mungkin hanya aparat ketua-ketua RT, RW, lurah/kepala desa, camat, dst., serta para pekerja dan manajemen perusahaan swasta “pembeli kavling laut”. Di level menengah dan tinggi pasti terlibat oknum-oknum pemda, beberapa kementerian/lembaga dan para penyusun rencana dan desainer proyek.
Namun di level tertinggi, pelaku kejahatannya adalah oligarki pemilik proyek PIK-2, dan sangat diyakini mereka adalah Jokowi-Aguan-Salim. Mengapa demikian? Karena perusahaan yang terlibat kejahatan TSM tersebut milik atau terafiliasi dengan/dan bekerja untuk Aguan dan Salim. Terlepas bahwa laut tidak boleh dikuasai oleh selain negara, diperdagangkan atau diberi sertifikat, maka tidak akan ada perusahaan bersedia berinvestasi atau membeli “lahan laut” jika tidak yakin lahan tersebut pasti dibeli pihak lain. Ternyata pihak lain tersebut adalah pemilik PANI, yakni Aguan dan Salim!
Perusahaan-perusahan pembeli “lahan laut” hasil pemagaran atau disebut juga pemilik “kaveling laut”, yakni PT Intan Agung Makmur (IAM) dan Cahaya Inti Sentosa (CIS), ternyata memang satu kesatuan atau bagian dari pemilik PANI, yakni Aguan-Salim. Kavling tersebut ternyata telah memiliki 263 sertifikat berupa Hak Guna Bangunan (HGB) atau Hak Milik (HM). Rinciannya 234 SHGB milik IAM dan 20 SHGB milik CIS, serta sembilan bidang tanah atas nama perorangan. Selain itu terdapat SHM sebanyak 17 bidang. Ibarat kejahatan sistemik pada suatu kasus pencurian, maka dalam hal pagar laut dan penguasaan kavling-kavling laut ini, Aguan-Salim berperan sebagai master mind dan sekaligus penadah.
Pemagaran laut jelas dimaksudkan untuk kelak direklamasi dan berubah menjadi kavling-kavling properti, hunian dan berbagai fasilitas bisnis bangunan yang berorientasi profit sangat BESAR. Melalui pematokan dan pemilikan pantai dan laut lepas sejauh 1 km dari pantai, maka proses administratif atau perizinan dan alasan untuk reklamasi menjadi mudah. Namun yang jauh lebih penting, dengan kedalaman laut sekitar 6-10 meter, daratan yang diperoleh dari hasil reklamasi menjadi lebih murah dibanding membeli atau membebaskan tanah di darat. Maka pencaplokan lahan laut milik negara melalui pemagaran tersebut merupakan kejahatan TSM yang wajib diusut tuntas.
Lahan atau lokasi kavling-kaveling laut hasil kejahatan TSM lepas pantai utara Tangerang memang berdampingan dengan lahan PSN PIK-2 di daratan. Sejak awal kedua lahan tersebut, baik yang di darat, maupun kelak yang di laut sebagai hasil reklamasi, merupakan satu kesatuan tak terpisahkan. Pemilik kedua jenis lahan (daratan dan hasil reklamasi) memang sudah memaksudkan pengembangan PIK-2 sebagai objek bisnis yang terintegrasi di bawah naungan PANI. Sehingga, akan sangat naif jika kita masih mencari-cari siapa yang harus dituntut sebagai penanggung jawab utama “kejahatan TSM” pagar laut. Jika ada pejabat negara yang bersikap demikian, maka mereka sebetulnya hanya berpura-pura, bersandiwara atau hipokrit.
Banyak pihak dari kalangan pemerintahan (ketua RT, RW, pemda hingga menteri) dan swasta (sekian perusahaan lapis bawah hingga Agung Sedayu dan PANI) terlibat kejahatan TSM pagar laut. Namun, mastermind atau penanggungjawab utamanya tetap tidak beranjak dari Aguan-Salim. Silakan para pejabat negara bermanuver dan bersilat lidah mencari cara agar kedua konglomerat hitam ini lolos dari jerat hukum, bebas dari tuntutan atas kejahatan TSM. Sepanjang proses hukum berjalan secara transparan, kredibel, akuntabel, adil, dll., maka ujungnya akan berakhir pada dipenjarakannya Aguan-Salim. Kita tantang Prabowo untuk membuktikan hal ini.
Hendaknya euforia pencabutan pagar laut tidak mengecoh atau menggiring kita untuk melupakan kasus kejahatan TSM lain yang dilakukan oleh “Negara PIK-2” di darat. Malah perhatian dan energi kita mestinya dicurahkan lebih besar mengadvokasi kejahatan oligarkis Jokowi-Aguan-Salim di daratan Banten ini. Penguasaan lahan darat “PSN PIK-2” pada 10 kecamatan yang terbentang dari Tangerang hingga Tanara di Serang, dan menghasilkan lahan sekitar 100.000 hektar, jelas merupakan kejahatan berlevel jauh lebih tinggi dibanding kejahatan pagar laut.
Kejahatan oligarki “Negara PIK-2” di daratan tidak sekedar berlabel TSM, tetapi berlabel TSM dan Brutal (TSMB). Jika master mind dan ujung tertinggi pelaku kejahatan TSMB ditelusuri, maka nama-nama yang muncul diyakini adalah Jokowi-Aguan-Salim. Hingga saat ini, kawanan preman dan penegak hukum Negara PIK-2 terasa masih berfungsi. Rakyat masih diintimidasi dan takut bersuara, apalagi menuntut hak yang dirampok. Rakyat sudah dizolimi dan dijajah karena ketidakhadiran negara/NKRI disana. Kondisi ini sangat mendesak untuk ditangani pemerintahan Prabowo. Juga DPR.
Airlangga Hartarto memang menyatakan status PSN proyek PIK-2 hanya berlaku untuk lahan di bagian timur, berbatasan dengan PIK-1, yang luasnya 1756 hektar. Wilayah ini disebut Kawasan Ekowisata Tropical Coastland (KETC). Artinya, lahan sisanya seluas 90.000 hektar ke arah barat, jelas telah dikuasai oligarki Aguan-Salim melalui kejahatan TSMB antara lain melalui pernyataan bahwa lahan di luar KETC berstatus PSN. Masalahnya, Airlangga tidak bersikap atas lahan milik negara dan rakyat di luar lahan KETC. Padahal lahan tersebut diperoleh dengan cara-cara TSMB, mencaplok lahan milik negara dan rakyat dengan cara syarat kejahatan SCC, melebihi perilaku negara penjajah.
Dibanding kasus pagar laut, skala dan tingkat kejahatan TSMB skandal daratan PIK-2 ini jauh lebih besar dan mengerikan, baik dari sisi nilai aset negara yang dirampok, nilai aset rakyat yang dicaplok, lingkungan yang dirusak, maupun kejahatan kemanusiaan yang terjadi (melanggar minimal enam ketentuan HAM dalam konstitusi), termasuk penindasan, teror, kematian tanpa proses hukum, dll. Maka untuk skandal daratan PIK-2, kebijakan dan langkah pemerintah mestinya jauh lebih bermakna, berbobot, tegas, efektif dan berani, dibanding hanya sekedar mencabut pagar laut.
Beberapa teman meyakini kebijakan cabut pagar ini hanya pintu masuk menuju proses hukum yang akan menuntaskan berbagai pelanggaran skandal Negara PIK-2. Dikatakan, proses hukum bisa diawali dari para pelaku di level bawah, menengah hingga kelak berakhir di level tinggi. Namun, meski berharap bahwa keyakinan teman-teman itu benar-benar terlaksana, kami sangat khawatir bahwa proses hukum tidak akan sampai ke ujung teratas, yakni sang master minds. Maka, Aguan-Salim akhirnya lolos dari jerat hukum.
Kekhawatiran ini antara lain tercermin dari sikap para menteri terkait skandal PIK-2 bersikap dan membuat pernyataan: tidak tegas, tidak to the point, tidak efektif, terkesan tidak independen dan patut diduga bersandiwara atau berpura-pura. Hal ini bisa saja karena pengaruh dan tekanan oligarki pemerintahan sebelumnya. Dalam hal ini, jika tegak lurus dengan sikap anti korupsi, anti negara dalam negara dan tidak sekedar omon-omon, Prabowo harus konsisten dan berani melanjutkan langkah-langkah penuntasan skandal PIK-2 secara konstitusional, adil, transparan dan sesuai hukum. Untuk itu, Prabowo antara lain harus mengganti menteri-menteri penghambat atau bagian dari oligarki masa lalu, dan harus siap pula berhadapan dengan sang master mind, pimpinan Negara PIK-2.
Sebagai rangkuman, kebijakan cabut pagar laut mungkin layak diapresiasi. Namun hal tersebut tidak berarti apa-apa jika tidak dilanjutkan dengan proses hukum dan pengadilan bagi para pelaku kejahatan yang masuk kategori pelaku SCC. Apalagi jika cabut pagar hanya ditujukan untuk pencitraan, kanalisasi skandal tanpa proses hukum, modus untuk pengalihan isu atau cara menuju win-win solution ruang tertutup bagi para oligarki. Jika kekhawatiran ini terjadi, maka kami mengajak rakyat menghentikan euforia cabut pagar dan bangkit melawan rezim oligarki pengkhianat sarat hipokrisi dan kejahatan SCC. Semoga saja Prabowo mau dan mampu bersikap beda. (MB)