Opini
Perang Global terhadap Agama dan Moralitas
Oleh: Shamsi Ali Al-Kajangi*
NEW YORK, 12 Agustus 2024 - Beberapa waktu lalu saya menuliskan tentang Olimpiade Paris dan perang terhadap agama dan moralitas manusia. Berbagai acara yang ditampilkan, khususnya ketika penampakan apa yang diyakini umat Kristiani sebagai “jamuan terakhir” (the last supper) Yesus dan murid-muridnya, digantikan dengan penampilan kelompok gay (homoseksual dan lesbian) membawakan acara Satanic Show. Bagi sebagian yang sadar agama dan moralitas, hal ini jelas penghinaan dan peperangan terhadap agama dan moralitas itu sendiri.
Sejarah barat sesungguhnya bukan baru dan tidak aneh dengan hal ini. Ketidak senangan dan permusuhan (animositàs) barat terhadap agama dan moralitas memang memiliki sejarah panjang. Bahkan jika kita jujur dengan sejarah agama Kristiani, awal dari pengrusakan agama itu dari keasliannya sebagai ajaran menoteis melalui Yesus terjadi di dunia Barat. Pengobok-obokan agama Kristen sebagai agama tauhidi yang diajarkan oleh Yesus terjadi melalui Konferensi Nicea di Yunani hanya sekitar seratusan tahun pasca diangkatnya nabi Isa AS.
Prilaku atau karakter anti agama dan moralitas itu berlanjut dalam sejarah perjalanan Barat, Eropa khususnya. Pandangan liberalisme terlahir dalam berbagai segmen kehidupan. Salah satunya ditujukan untuk menggusur pandangan kehidupan yang berlandaskan agama dan moralitas. Bahkan konsep yang paling mendasar dalam kehidupan manusia terdefinisikan dengan definisi iliberal yang antitesis dengan pandangan agama dan moralitas. Salah satunya sebagai misal, definisi kebebasan (freedom) yang tidak memiliki nilai dan batasan.
Kecenderungan ini (anti dan peperangan kepada agama dan moralitas) seiring dengan kemajuan dan kemenangan Barat, khususnya melalui kolonialisasi dunia lain. Mereka tidak saja merampok kekayaan dunia nonbarat. Tapi juga pandangan dan definisi nilai mereka paksakan kepada dunia non Barat, baik secara terang-terangan maupun dengan berbagai “cover up” yang menggiurkan. Kemajuan dan kekuatan perangkat yang Barat miliki menjadikan bangsa-bangsa dunia lainnya tunduk dan sujud kepada defenisi dan nilai kehidupan yang ditawarkan oleh Barat.
Pada saat yang sama, sebagaimana dalam sebuah pepatah bahasa Arab dikatakan: “al-maghluub muula’un bil ittiba’ bil ghaalib” (yang kalah cenderung mengekor kepada yang menang). Dunia nonbarat, termasuk dunia Islam, dengan sangat mudah ditundukkan dan terus terjajah secara ideologi dan pandangan kehidupan barat (western mindset) ini. Dunia Islam tidak saja dengan mudah dan terbuka mengadopsi defenisi dan nilai kehidupan barat itu. Lebih jauh ikut terbawa arus dan merasa jika kemajuan (development) dan modernitas (modernity) itu harus sejalan dengan defenisi dan mindset Barat.
Peperangan barat kepada nilai-nilai agama dan moralitas kemudian diformalkan dengan berbagai institusi, baik pemerintahan (governmental) maupun non pemerintahan (non governmental) melalui berbagai organisasi NGO yang kita kenal. Salah satu NGO yang berada di garda terdepan adalah organisasi-organisasi yang bergerak di bidang kemanusiaan dan hak-hak dasar manusia. Tentu sangat indah karena membawa slogan “membela hak-hak dasar manusia” (Human rights).
Keluarga dan Remaja Jadi Target Utama
Jika kita mengikuti berbagai peristiwa dunia, termasuk peristiwa-peristiwa di dunia Islam, bahkan di negara kita Indonesia, kita dapati bahwa upaya perang terhadap agama dan moralitas ini menjadi sangat intens dalam tahun-tahun terakhir. Hal aneh yang mungkin terjadi dalam hal ini. Bahwa justru di saat agama (baca Islam) menggeliat di dunia Barat, justru perang kepada agama dan moralitas di dunia Islam semakin menjadi-jadi. Hal itu dapat kita lihat dalam berbagai ruang lingkup kehidupan dan kebijakan-kebijakan pemerintahannya.
Saya tidak perlu menceritakan lagi apa yang terjadi di negara-negara Islam Timur Tengah, termasuk Saudi Arabia. Tapi apa yang sedang terjadi di negara tercinta Indonesia saat ini jelas sangat mengkhawatirkan dan menggerahkan. Dalam posisi saya sebagai Imam dan da’i di negara Amerika yang sering dituduh phobia terhadap Islam, hal ini cukup menggerahkan bahkan menyakitkan.
Kita mengenal bahwa peperangan kepada agama dan moralitas di dunia Barat berpusat (Walau tidak ekslusif) pada dua segmen masyarakat. Pertama, pengrusakan melalui institusi keluarga. Di mana terjadi perongrongan besar-besaran kepada institusi keluarga. Dimulai dari pengaburan konsep jender, definisi lelaki atau wanita tidak lagi berdasarkan fakta biologis. Tapi lebih kepada persepsi yang berkembang di masyarakat. Lelaki bisa jadi wanita atau sebaliknya wanita bisa jadi lelaki jika secara publik diterima.
Hal selanjutnya yang terjadi adalah keluarga (suami-isteri) tidak lagi didefinisikan sebagai pasangan pria dan wanita. Maka perkawinan tidak lagi dipahami sebagai terjalinnya hubungan pernikahan antara seorang pria dan wanita. Tapi juga karena pernikahan sesama jenis/jender (same sex marriage). Semua ini kemudian berlanjut dan berdampak kepada perilaku moralitas masyarakat secara luas. Hubungan seks bebas, termasuk seks sesama jenis menjadi hal yang dilihat “bernilai” moral asal terjadi dengan dasar saling menyukai dan berdasarkan kebebasan.
Kedua, selain keluarga, perang kepada agama dan moralitas juga menjadikan remaja dan anak muda bahkan yang di bawah umur (17 tahun ke bawah) sebagai target utama. Oleh karenanya di dunia Barat apa yang disebut “sex education” sering kali menjadi justifikasi pembenaran hubungan seks dan promosi homoseksualitas. Dan semua ini didukung oleh perangkap resmi (kebijakan pemerintah) dan non resmi, termasuk dunia Hollywood.
Karenanya ketika saya dengar perbincangan dan perdebatan yang lagi ramai di Indonesia tentang distribusi alat kontrasepsi (kondom), termasuk untuk anak sekolah dan remaja, saya justru tersadarkan kembali tentang peperangan global ini. Dan Indonesia tampaknya mulai ikut bertekuk lutut, sujud kepada propaganda yang dibangun oleh dunia luar. Kebijakan menyediakan alat kontrasepsi ini jelas adalah pelecehan agama dan moralitas. Bahkan menjadi bukti bahwa ada sebagian segmen bangsa yang memang terkalahkan dan inferior, bahkan terbawa arus barisan mereka yang anti agama dan moralitas.
Dan semua itu harusnya disadari jika bertentangan dengan falsafah negara (Pancasila) yang berketuhanan, bertentangan dengan UUD, dan juga melecehkan bangsa yang dikenal dengan karakter keagamaan dan nilai-nilai luhur yang berasas moralitas.
Hati-hati saudaraku! (* Presiden Nusantara Foundation & Imam di Kota New York)