Opini

Olympiade, Kemunafikan Barat dan Perang terhadap Agama

Oleh: Shamsi Ali Al-Kajangi*

Shamsi Ali — Satu Indonesia
30 Juli 2024 07:35
Olympiade, Kemunafikan Barat dan Perang terhadap Agama
Shamsi Ali Al-Kajangi

MANHATTAN, 29 Juli 2024 - Hari-hari ini hajatan oleh raga dunia dalam segala bidangnya sedang berlangsung di Prancis. Tentu saja mata manusia dari berbagai penjuru dunia menatapnya. Dan sudah pasti perhelatan itu menjadi perhelatan akbar yang ditunggu-tunggu banyak orang.

Kali ini saya tidak membahas tentang olah raga dan/atau kontingen dan perolehan medali negara-negara peserta. Tapi lebih kepada aspek-aspek lain yang terkait dengannya. Termasuk aspek politik, ekonomi, sosial budaya bahkan agama. Karena dalam dunia yang sedang mengalami berbagai ujian saat ini segalanya menjadi sangat sensitif.

 

Salah satu hal yang disoroti jauh sebelum acara ini berlangsung adalah kemunafikan Prancis dan panitia pelaksana dalam meloloskan atau sebaliknya melarang negara-negara untuk berpartisipasi di kompetisi olah raga dunia itu. Rusia misalnya, sejak lama dijatuhkan vonis melarangnya menjadi peserta karena dianggap melakukan pendudukan dan pembunuhan di Ukraina. Tapi sebaliknya Israel yang menjajah Palestina sejak 1948 dan telah melakukan pembantaian dan kekerasan sejak lama kepada bangsa Palestina diperbolehkan menjadi peserta yang terhormat.

 

Bagi saya semua itu tidak mengejutkan sama sekali. Double standard dan kemunafikan dunia Barat bukan hal baru. Selama ini kemunafikan itu telah menjadi tontonan terbuka dunia yang memalukan. Berbagai perilaku mereka pertontonkan dengan membuka borok-birok yang menjijikkan seperti ini. Hampir dalam segala aspek kehidupan manusia.

Prancis dan dunia Barat secara umum mempromosikan diri sebagai pejuang kebebasan nilai-nilai Universal (Freedom), HAM (human rights), Kemuliaan manusia (Human Dignity), kesetaraan (equality) dan keadilan untuk semua (justice for all). Tapi kenyataannya kita tahu Barat memiliki mental kolonial yang tinggi. Keinginan menguasasi dan mendominasi dunia itu sejak lama dan selalu ada. Bahkan sepak terjangnya dalam sejarah memperlihatkan itu di berbagai belahan dunia, baik di Asia, Afrika maupun di Karibia dan Amerika Latin.

Sejarah panjang perilaku paradoksal mereka dengan nilai-nilai Universal tadi (Freedom, human rights, justice, etc) menjadi hal yang memuakkan bagi dunia. Anehnya mereka kebal muka dan sebaliknya selalu menampakkan diri sebagai pejuang nilai-nilai itu. Sehingga merekalah yang seolah menjadi hakim “baik buruknya” suatu nilai. Amerika misalnya memiliki penilaian kebebasan beragama (religious freedom) di semua negara-negara dunia, kecuali di Amerika sendiri.

Lebih jauh bahkan terasa bagaimana berbagai institusi atau organisasi internasional, baik di bidang ekonomi seperti Bank Dunia dan IMF, di bidang pengadilan seperti ICJ, bahkan organisasi induk negara-negara dunia (PBB dengan semua cabangnya) hanya menjadi instrumen pendudukan dan dominasi mereka. Contoh terdekat adalah bagaimana akhir-akhir ini Israel menginjak-injak Kehormatan PBB dan ICJ karena dukungan Amerika Serikat dan sekutunya.

Perang kepada Agama dan Moralitas

Selain karakter double standard dan kemunafikan Barat di atas, juga hal yang menggelitik dan menyakitkan adalah kenyataan bahwa Barat sekarang ini sedang melancarkan perang yang dahsyat terjadi agama dan nilai-nilai moralitas. Agama dan moralitas hanya akan diterima jika cenderung sujud ruku’ kepada tatanan nilai yang mereka bangun. Ketika agama dan moralitas  itu konsisten dengan nilai-nilai moralitas universal manusia akan dilabeli dengan berbagai label negatif. Termasuk di antaranya label ekstremisme dan/atau terbelakang (backward) dan paradoksal dengan apa yang disebut modernitas.

Salah satu negara yang sejak lama dikenal dengan permusuhan dan peperangan kepada agama dan nilai-nilai moralitas adalah Prancis. Kita ketahui bahwa sejak lama Prancis memerangi semua simbol-simbol agama, terkhusus lagi Islam, di arena publik. Seolah agama menjadi momok yang menakutkan dan penghalang bagi kemajuan dunianya. Selain dengan kebijakan publiknya, ada semacam persepsi publik yang sengaja dibangun jika agama tidak lagi sejalan bahkan menjadi musuh bagi apa yang disebut dunia modern dan kemajuan.

Walaupun dalam praktiknya pada sisi ini juga terjadi perilaku double standard dan kemunafikan yang nyata. Di Prancis jilbab misalnya begitu dilihat menakutkan  dan dianggap penghalang kemajuan dan peradaban. Tapi Prancis bangga sebagai negara dengan agama mayoritas Katolik. Simbol-simbol Katolisisme biasa saja dan tidak pernah dipersepsikan sebagai hal yang paradoksal dengan kemajuan dan modernitas. Para biarawati bebas saja memakai pakaian keagamaan termasuk penutup rambut. Tapi ketika wanita-wanita Muslimah memakai hijab Prancis perlu mengkhawatirkannya.

Peperangan kepada agama dan moralitas itu kembali mencuat dengan nyata pada acara Olympiade kali ini. Bagaimana dalam acara pembukaan ada sebuah tontonan yang sangat memalukan sekaligus merendahkan dan melecehkan agama. Walaupun secara khusus agama Katolik/Kristen dalam hal ini, Islam juga termasuk yang tergelitik dan pasti merasakan ketersinggungan itu.

Salah satu acara hiburan di acara pembukaan Olimpiade itu menampilkan sekelompok gay (homo/lesbian) membawakan lagu-lagu dengan menirukan peristiwa the Last Supper atau perjamuan terakhir Yesus bersama murid-muridnya (dalam keyakinan kristiani). Hal ini menjadi sangat kontroversial dan menjadi perdebatan besar di kalangan agama-agama. Agama-agama Samawi khususnya Kristiani dan Islam dalam hal ini merasa dilecehkan karena Isa dan murid-muridnya (hawwariyun) yang kita muliakan ditampilkan dengan tampilan homoseksual.

Tapi sekali lagi, bagi saya pribadi dengan segala ketersinggungan yang saya rasakan, tidak terlalu terkejut. Karakter dan perilaku kemunafikan dan permusuhan kepada agama bukan hal asing dan baru di Dunia Barat. Tanpa mereka akui, walau disadari bahkan disengaja, mereka telah terjatuh ke dalam perilaku ekstremisme anti agama. Mungkin hal ini dapat disebut “secular extremism” yang ingin mendominasi dunia kita saat ini. Dan sesungguhnya jika kita merujuk kepada teori “clash among civilization” atau perbenturan peradaban inilah yang sedang terjadi.

Karenanya yang sedang terjadi bukan perbenturan antar agama. Tapi terjadi perbenturan antara agama dan nilai-nilai moralitas dengan tatanan dan nilai-nilai baru yang diakui modern oleh dunia Barat. Masalahnya memang ketika kita menyebut kata “agama” dan “moralitas” hanya Islamlah yang konsisten dengan prinsip-prinsipnya. Dan karenanya jangan heran jika pelecehan kepada Yesus di acara pembukaan Olympiade itu terasa dingin-dingin saja di kalangan umat lain.

Bayangkan jika yang dilecehkan itu adalah nabi Muhammad (SAW). Umat Islam di seluruh belahan dunia akan bereaksi. Sikap umat Islam itu bukan karena ekstremisme. Tapi karena “ghirah” pembelaan kepada prinsip beragama dan moralitas yang masih hidup. Terserah orang lain melabelnya. Tapi umat ini tak akan rela agama dan tatanan moralitasnya terinjak-injak oleh kecenderungan hawa nafsu manusia yang mengaku lebih beradab.

Dunia memang semakin gila. Karenanya Islam hadir untuk penyembuhan itu. Jangan heran jika lihat akhir-akhir ini kita lihat gelombang konversi ke agama Islam menjadi semakin tak terbendung. Islam akan menjadi agama dominan dunia, bukan dengan pedang dan senjata. Tapi dengan nilai-nilai kehidupan yang memang secara alami sejalan dengan tabiat dasar manusia (human nature). (*Presiden Nusantara Foundation/NYHHC Chaplain at Bellevue Hospital)


Berita Lainnya