Features

"Ngabuburit" di Kota Tua, Susari Masjid Bersejarah

Dani Tri Wahyudi — Satu Indonesia
30 Maret 2024 16:00
"Ngabuburit" di Kota Tua, Susari Masjid Bersejarah
Langgar Tinggi yang terletak di Jalan Pekojan Raya, Tambora, Jakarta Barat. Bangunan dengan dua lantai ini difungsikan sebagai langgar pada lantai dua, sementara lantai pertama dimanfaatkan sebagai toko. (ANTARA/Lia Wanadriani Santosa)

JAKARTA - Menengok ke masa lalu kadang-kadang bisa menjadi pengalaman yang menarik, terutama untuk memuaskan rasa ingin tahu atau mengingat jejak Islam di Nusantara, khususnya di Jakarta, yang merupakan salah satu pintu masuk bagi pendatang Muslim dari berbagai negara, terutama Arab dan India.

Salah satu cara untuk melihat jejak Islam di Jakarta adalah melalui bangunan-bangunan masjid, terutama di kawasan Pekojan, Jakarta Barat, yang merupakan pusat permukiman etnis Arab. Para pemandu dari Unit Pengelola Kawasan (UPK) Kota Tua mengadakan wisata "Susur Kampung Arab Pekojan" yang mengajak para wisatawan berkunjung ke empat masjid bersejarah di Kota Tua sambil berjalan kaki, dan yang terbaik, tanpa biaya alias gratis.

Selama bulan Ramadan, tur wisata ke masjid-masjid di Pekojan ini dapat diikuti setiap hari Rabu dan Minggu pukul 15.30 WIB dengan durasi sekitar 1,5 hingga dua jam. Menurut Gilang Ramadhan, salah seorang pemandu, wisata ke Pekojan biasanya ramai pada akhir pekan dengan jumlah peserta sekitar lima orang. Setelah menyelesaikan tur, peserta sering berbuka puasa di salah satu masjid yang mereka kunjungi.

Perjalanan dimulai dari titik kumpul di Kota Tua Information Center (KOTIC), yang berjarak sekitar 230 meter dari Stasiun Kota. Kemudian, para peserta menyusuri sebuah gang bernama Gang Virgin di sebelah gedung Arsip Mandiri. Gilang menjelaskan bahwa Gang Virgin dinamakan demikian karena dulunya terdapat Kafe Virgin yang sering dijadikan tempat pertemuan para sosialita, termasuk istri-istri pejabat kolonial. Mereka sering memamerkan kekayaan mereka seperti jumlah budak dan kapal yang bersandar di Kali Besar.

Di ujung gang, peserta diajak untuk melihat peta lokasi Kota Tua Jakarta yang berukuran besar. Gilang mengingatkan Kota Tua Jakarta, atau yang dulu disebut Batavia, memiliki luas sekitar 334 hektare yang membentang dari Pecinan hingga Pelabuhan Sunda Kelapa. "Pekojan berada di sisi barat Batavia. Kata Pekojan diambil dari kata Khoja atau Kaja yang berarti lingkungan pesantren atau muslim yang tinggal di sekitar sini," ujar Pamela Zaelani, pemandu wisata yang juga mahir berbahasa Spanyol.

Menurut Pamela, Pekojan dulunya dihuni oleh orang Arab, India dari Malabar. Belanda memberikan beberapa tanah kepada orang Arab di sini agar mereka bisa membuka kehidupan seperti membuat masjid dan membentuk masyarakat di sini. Masjid pertama yang dikunjungi adalah Masjid Jami Al-Anshor yang berlokasi sekitar 1,5 km dari Kota Tua. Masjid ini dibangun oleh pendatang Islam dari Malabar, India, China pada tahun 1648 dan dulunya tidak terlihat dari depan jalan karena tertutup oleh rumah warga.

Pamela mengatakan bahwa lokasi masjid yang dulunya surau itu dulunya rawa dan hutan. Para pedagang Arab dan India sering singgah ke sana untuk menunaikan shalat lima waktu. Masjid Jami Al-Anshor, yang ditetapkan sebagai Bangunan Cagar Budaya, masih difungsikan sebagai tempat shalat termasuk ibadah shalat Jumat. Arsitektur masjid ini mengusung perpaduan gaya India, China, dan Nusantara. Unsur Nusantara masih terlihat dari kayu jati di pintu masuk dan mimbar, meskipun tiang-tiang penyangga masjid yang semula dari kayu jati sudah diganti dengan marmer.

Di sebelah kanan mimbar, terdapat makam salah seorang Muslim yang berpengaruh dalam menyebarkan agama Islam di Nusantara, khususnya Batavia. Setelah mengamati Masjid Jami Al-Anshor, wisatawan diajak ke Masjid Azzawiyah di Jalan Pengukiran No. 151. Masjid ini dibangun pada abad ke-17 dan difungsikan untuk kegiatan mengaji serta memperdalam Kitab Kuning.

Di masjid ini terdapat sebuah sumur yang diberi nama sumur kesembuhan. Hal ini berkaitan dengan wabah malaria yang melanda Batavia pada sekitar tahun 1730. Seorang ulama yang menemukan sumur ini membacakan doa, dan siapa pun yang minum air dari sumur itu diyakini akan sembuh.

Saat ini, masyarakat termasuk non-Muslim masih diperbolehkan meminum air sumur itu dan membawanya pulang, meskipun wanita yang sedang haid dilarang mendekat ke sumur tersebut. Masjid berikutnya adalah Masjid Jami An-Nawier di Jalan Pekojan Raya No. 71. Masjid ini dibangun oleh Sayid Abdullah Bin Husein Al-Aydrus pada tahun 1760 dan mengusung arsitektur bangunan gaya Arab dan neo klasik.

Atap masjid ini terdiri dari empat atap limasan berbahan genteng, dengan atap mihrab berbentuk kubah dan mimbarnya berbahan kayu berwarna cokelat tua. Plafon masjid masih berupa kayu seperti aslinya dan disangga oleh 33 pilar, sesuai dengan jumlah bacaan dzikir setelah shalat fardu. Pintu masjid dibuat lima buah yang melambangkan rukun Islam.

Setelah mengamati interior masjid, wisatawan diajak untuk melihat bagian depan masjid yang terletak di seberang Jembatan Kambing. Jembatan ini dulunya difungsikan sebagai tempat lalu lintas pedagang kambing, tetapi sekarang menjadi jalur pengendara sepeda motor.

Tidak jauh dari jembatan, pemandu mengajak wisatawan menuju Langgar Tinggi di Jalan Pekojan Raya, tepat di tepi Kali Angke. Bangunan dua lantai ini dibangun pada awal abad ke-19 atau tahun 1829 sebagai tempat tinggal pedagang. (ant)

 


Berita Lainnya