Opini
Menteri Baru Prabowo dan Transendensi Budaya Kita
Catatan Neno Warisman*
JAKARTA - Saya senang atas lahirnya Kementerian Kebudayaan yang kini mandiri. Terlebih lagi bahwa Kementerian Dasmen dan PT-Ristek diberikan ranah kreatif masing-masing. Sebuah pertanda baik bahwa Pendidikan di negeri ini benar-benar diutamakan!
Dengan tiga anggaran nasional yang berbeda, penyerapan 20% anggaran pendidikan tidak harus berserah diri kepada mekanisme Transfer ke Daerah (TKD). Sehingga ada harapan akan program-program nasional baru yang berani dari sisi budaya, pendidikan, dan riset.
Saya juga berharap, lima tahun ke depan, akan ada Kementerian Pendidikan Anak Usia Dini (MENPAUD) dan Kementerian Anak, Remaja, dan Masyarakat (MENARMAS) yang juga dibuat, karena ada tantangan-tantangan di situ yang perlu mendapat perhatian khusus.
BUDAYA UNTUK APA?
Alhamdulillah, Presiden baru Indonesia, Prabowo Subianto, yang dilantik pada 20 Oktober 2024, memiliki keluasan pandangan bahwa untuk membentuk karakter manusia Indonesia yang paripurna, tidak cukup jika hanya dibangun melalui pendidikan formal, baik yang dilakukan di sekolah, pesantren, kampus, maupun lembaga lainnya.
Negara harus menyiapkan bi'ah (lingkungan) besar untuk membentuk kepribadian manusia Indonesia yang diidam-idamkan—manusia yang memiliki cakrawala luas ketimuran di semua cabang ilmu dan peminatan serta keberbakatan, dengan tetap menyandang karakter asli keindonesiaan. Nah, bi’ah inilah yang kita sebut juga Budaya.
Atas dasar ini, Kementerian Kebudayaan dipisahkan dan disahkan di bawah kepemimpinan seorang cendekiawan jenius dan saudara saya tercinta, Dr. Fadli Zon, yang Insya Allah bersama jajarannya akan menyinari Indonesia dan menyiapkan barisan generasi paripurna; para pemimpin dunia.
Cobalah singgah di perpustakaan FZ di daerah Bendungan Hilir, Jakarta Pusat (dan beberapa tempat lainnya) yang akan membuat kita terhenyak habis-habisan. Kok bisa, ya, sedetail ini pada semua produk peradaban, terkoleksi dengan rapih sebagian besar artefak sejarah Indonesia yang bermakna dalam?
Mulai dari koran terbitan Hindia Belanda, mata uang bertuliskan kalimat La ilaha illallah, hingga kacamata atau jas dan benda-benda pribadi para tokoh pendiri bangsa... semua dirawat dengan cinta di rumah-rumah kreatifnya. Ribuan album musik, bahkan piringan lagu "Indonesia Raya" pertama, masih disimpannya dengan sangat baik.
Secara kepemimpinan, ia juga tidak diragukan. Ketua BKSAP, Komite Eksekutif di Inter-Parliamentary Union... Hehehe, sangatlah cocok menahkodai Budaya Indonesia sehingga nanti tersebar di seluruh dunia sebagaimana masakan Thailand ada di setiap sudut kota-kota besar Eropa!
Maka semoga perspektif budaya kembali ke fitrahnya: Rumah Kebudayaan Indonesia (RBI) sebagai payung sangat luas yang mampu mengakomodasi peluang-peluang eksplorasi kemanusiaan termasuk dari sisi inventarisasi dan pendidikan budaya, pengembangan bakat-bakat yang sering kali dianggap remeh, dan aktualisasi nilai-nilai transendental; melengkapi apa yang dilakukan oleh Kementerian Pendidikan dengan aspek kognitifnya.
Jika sebelumnya kebudayaan mungkin hanya diidentikkan dengan "aset budaya" seperti tarian, lagu, kain tenun, masakan, serta berbagai pernak-pernik kelengkapan adat atau aset dan bangunan bersejarah (atau benda-benda sakral yang dipercaya memiliki kekuatan oleh para elite pejabat—meskipun itu terdengar aneh!), maka saya berdoa semoga di masa depan stigma "masa lalu" ini dapat bermetamorfosis menjadi pemahaman Aset Generik Nasional.
Apa itu Aset Generik Nasional?
AGN: VISI RATUSAN TAHUN
Alkisah, bangsa ini sepertinya kekurangan narasi Budaya pemersatu di luar prinsip-prinsip dasar Pancasila dan UUD 1945 yang pada dasarnya lebih merupakan Etos Nasional atau kontrak sosial.
Sedangkan kita membutuhkan kerangka Berbudaya yang utuh, hidup, dan dinamis. Meminjam dari istilah Jerman, yaitu Heimat (perasaan berumah dan bertanah air) yang bukan sekedar tempat, tapi keindonesiaan yang nyaman hidup di hati masing-masing.
Maka Aset Generik Nasional sebaiknya tidak dipahami sebagai sekumpulan tradisi, objek, atau adat yang terbatas, tetapi sebagai proses aktualisasi budaya yang terus berlangsung—mengakar dalam tetapi dinamis, kekuatan ambient yang terus-menerus membentuk kesadaran nasional.
Dengan demikian, AGN bukan “hanya” soal melestarikan esensi murni budaya Indonesia, karena “kemurnian” ini mungkin tidak sepenuhnya koheren, tetapi soal menghadapi kontradiksi yang selalu mendefinisikan bangsa ini:
Warisan ribuan “sanad” Budaya dari Sabang hingga Merauke, warisan kolonial, keragaman etnis, masyarakat adat yang hidup dan berubah, urbanisasi, kesenjangan Ekonomi, bahasa daerah, dan soal-soal lingkungan… semua ini berkelindan dan berkontradiksi.
Tugas Kementerian Budaya, menurut hemat saya, adalah membuat sintesis dari semua kontradiksi ini dan membuat peta Aset Generik Nasional sehingga membawa kita kepada genre peradaban baru yang dapat memenuhi kebutuhan dunia akan karya-karya menakjubkan, beyond the administrative notion of a nation, dan menjadi apa yang dalam kerangka Islam disebut sebagai Rahmatan lil Alamin.
Sesuatu yang dapat menahkodai masyarakat Indonesia mengarungi ratusan tahun masa depannya, bahkan jika terjadi bencana alam atau politik apa pun.
Tentu tanpa mengurangi sedikit pun kehormatan kebudayaan tradisional yang tetap memiliki marwahnya sendiri dalam rentang sejarah bangsa.
Maka kebudayaan bukan hanya soal mengoleksi warisan masa lalu, namun jendela menuju kesadaran transendental—menjembatani manusia dengan alam semesta melalui pencarian nilai-nilai spiritual yang berbudi luhur.
TRANSENDENSI RUHANI
“Bunda, kenapa rumit sekali?”
Lho, bangsa Indonesia hari ini berada di titik nadir akhlak. Terbukti, salah satunya, dari ketidakberdayaan aparat dan lembaga yudikatif menghadapi tindak korupsi dan mafia-mafia beranak pinak.
Korupsi ini sudah menjadi seperti kanker. Mematikan semua potensi dari sel-sel baik di masyarakat dan membuat semua kehilangan harapan.
Indonesia juga berada di titik nadir kualitas anak dan remaja yang telah terinfeksi virus mental memetic yang parah: Penyakit ikut-ikutan.
Terbukti dari maraknya tindak kriminal tidak biasa seperti pembunuhan, kekerasan seksual yang sering kali dibarengi perilaku seksual menyimpang, dan penganiayaan. Beritanya terus viral dari satu daerah ke daerah lain, dari waktu ke waktu, dan belum berhenti sampai saat ini.
Maka, keterlibatan negara dalam ranah Budaya yang bukan sekadar artifak atau arca ini juga harus disadari. Sekali lagi, Kementerian Kebudayaan mesti berperan mewakili negara dalam menstimulasi dan membentuk bi’ah (lingkungan) yang sarat dengan penghargaan atas alam dan komponen-komponen pembentuk peradaban.
Maksudnya?
Kita menghargai sifat-sifat dan nilai-nilai yang membentuk peradaban, dan bukan sifat-sifat dan nilai-nilai yang menghancurkan peradaban.
Hal ini tidak sanggup dilakukan oleh Kementerian Pendidikan (Pendidikan formal) yang melaksanakan amanah pendidikan secara relatif sempit.
Maka suatu hari nanti akan terbentuk Aset Generik Nasional yang terdiri dari budaya luhur Indonesia yang tidak hanya berupa koleksi seni, musik, atau patung, tetapi juga sebuah kontinum yang luas mulai dari bobot simbolis berbagai bentuk seni, jalinan spiritualitas dan etika adat, koleksi lengkap keris dan prangko yang membentuk benang merah sejarah bersama dengan manuskrip dan peninggalan kuno, pola-pola cerita yang kita bisa bangga kepadanya, keanekaragaman hayati, berbagai aliran bela diri dan filosofinya, pengetahuan-pengetahuan lokal akan alam, perdebatan tentang masa depan hidup di perkotaan, pemikiran, percakapan-percakapan cerdas, literasi yang tersaring, yang semuanya dirajut oleh framework akhlak.
Nilai-nilai pembentuk peradaban ini didasari dari akhlak vertikal kepada Tuhan sebagai pemenuhan hasrat relasi transendental, yaitu pemahaman instingtif akan Tuhan sebagai zat tertinggi yang mutlak menguasai seluruh kehidupan di alam semesta ini sehingga mendorong lahirnya rasa tahu diri, sikap rendah hati, gotong royong, merawat alam dan manusia, welas asih, dan ratusan sifat-sifat baik yang sejalan dengan sebab dan akibat irama semesta. Buana Nusantara.
Fadli Zon, yang tetap tegak berdiri di antara bangsa-bangsa lain sebagai putra Indonesia sejati, bagi saya tetap menjalankan karakter budaya transendentalnya sambil tetap mendirikan salat lima waktu dan berpuasa Senin-Kamis (sesuai dengan agama). Beliau juga tetap terikat dan terlibat pada cita-cita para pendiri bangsa, The Founding Fathers, yaitu menjemput Indonesia yang bermartabat dan unggul dalam memimpin dunia. Beliau yakin, meskipun usianya mungkin tidak cukup panjang untuk menyaksikan kemenangan itu, suatu hari nanti kemenangan tersebut akan datang, pada waktu-Nya.
Mulai 2024, di bawah kepemimpinan Dr. Fadli Zon, insya Allah, semua kejumudan itu akan ditata ulang. Imajinasi Ulang Kebudayaan akan segera kita jalankan bersama. Reramai kita akan berteriak lantang:
“Hidup Kementerian Kebudayaan!”
Nah.
Selesai.
(*penulis adalah aktivis sosial dan budayawan)