Nasional
Kasus Gregorius Ronald Tannur: Tragedi Kekerasan, Suap, dan Kontroversi Hukum
SURABAYA – Nama Gregorius Ronald Tannur (GRT) menjadi pusat perhatian publik setelah terlibat dalam kasus penganiayaan tragis yang menyebabkan kematian kekasihnya, Dini Sera Afriyanti, pada 4 Oktober 2023. Peristiwa ini tidak hanya mengungkap sisi gelap kekerasan dalam hubungan, tetapi juga menyoroti dugaan praktik suap di lingkungan peradilan Indonesia.
Kronologi Kekerasan Berujung Kematian
Insiden bermula dari cekcok antara Ronald dan Dini di sebuah kelab malam di Surabaya. Setelah makan malam bersama, konflik memanas hingga berujung pada penganiayaan fisik. Berdasarkan keterangan polisi, Ronald menendang kaki Dini hingga terjatuh, memukulnya dengan botol minuman keras, dan bahkan melindas tubuhnya menggunakan mobil.
“Korban berada di sisi kendaraan, namun pelaku menginjak gas mobil, menyebabkan tubuh korban terseret hingga lima meter,” ungkap AKBP Hendro Sukmono, Kasat Reskrim Polrestabes Surabaya.
Ronald awalnya melaporkan kematian Dini sebagai akibat asam lambung, namun hasil otopsi mengungkap luka serius, termasuk patah tulang dan pendarahan organ dalam, yang mengarah pada kekerasan fisik.
Vonis Bebas yang Memicu Kemarahan Publik
Setelah ditetapkan sebagai tersangka pada 6 Oktober 2023, Ronald diadili di Pengadilan Negeri Surabaya. Namun, pada 24 Juli 2024, majelis hakim memutuskan Ronald bebas dari segala dakwaan. Hakim Ketua Erintuah Damanik menyatakan bahwa bukti tidak cukup untuk menjerat Ronald dengan Pasal 338 atau Pasal 351 KUHP.
Vonis ini memicu gelombang protes dari masyarakat dan keluarga korban, yang kemudian melaporkan hakim ke Komisi Yudisial.
Mahkamah Agung Membatalkan Vonis Bebas
Pada 22 Oktober 2024, Mahkamah Agung (MA) membatalkan putusan Pengadilan Negeri Surabaya dan menjatuhkan hukuman lima tahun penjara kepada Ronald. Keputusan ini menjadi titik balik dalam kasus yang sebelumnya dianggap mencederai rasa keadilan publik.
Dugaan Suap di Balik Putusan Bebas
Kasus ini semakin rumit ketika terungkap adanya dugaan suap dalam proses peradilan. Mantan Ketua Pengadilan Negeri Surabaya, Rudi Suparmono, diduga menerima suap dari pengacara Ronald, Lisa Rahmat, untuk mempengaruhi majelis hakim.
“Uang tersebut diberikan oleh tersangka LR (Lisa Rahmat) kepada RS (Rudi Suparmono) untuk menentukan majelis hakim yang menangani perkara ini,” jelas Abdul Qohar, Direktur Penyidikan Kejaksaan Agung, dalam konferensi pers.
Rudi Suparmono dan beberapa pejabat lainnya kini ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus suap ini.
Respons Publik dan Refleksi
Kasus Gregorius Ronald Tannur menjadi sorotan nasional, tidak hanya karena kekerasan yang terjadi, tetapi juga karena menunjukkan kelemahan dalam sistem peradilan. Publik mendesak reformasi hukum yang lebih transparan untuk mencegah pengaruh kekuasaan dan uang dalam proses peradilan. (mul)
#KasusRonaldTannur #KeadilanUntukDini #ReformasiHukum #Penganiayaan #KorupsiPeradilan #HukumIndonesia #StopKekerasan