Opini

Hasil Debat vs Fakta di Lapangan

Tata Kesantra — Satu Indonesia
22 Desember 2023 09:56
Hasil Debat vs Fakta di Lapangan

KONTESTASI pemilihan presiden (pilpres) saat ini sudah masuk dalam tahap kampanye. Suasana semakin panas setelah acara debat perdana calon presiden. Menyusul malam ini, Jumat (22/12/2023), giliran debat calon wakil presiden (cawapres). 

Para pendukung semakin bersemangat mempromosikan jagoannya. Soal pantas atau tidak pantas, etis atau tidak etis dalam mempromosikan terkadang lupa, lalai atau mungkin sengaja dilupakan. Terpenting jagoannya lah yang terbaik. 

Apakah posisi setiap kandidat capres pasca penampilan debat perdana seperti yang dikira oleh para pendukungnya? 

Capres #1, Anies tampil elegan dan memukau dalam memaparkan dan mengartikulasikan visi misinya. Para pakar komunikasi menilai penampilan Anies dari hasil debat perdana sangat memuaskan. Bahkan Prof. Effendi Gazali, menobatkan Anies sebagai raja debat pada penampilan perdana tersebut.

Kemampuan Anies dalam retorika serta mengartikulasikan pikiran dan gagasannya dinilai sebagai hal yang diperlukan oleh bangsa dan negara saat ini. Pendukung Anies melihat Indonesia harus bisa berperan lebih besar dalam geopolitik global, dan untuk itu diperlukan pemimpin yang intelektual dan punya kemampuan diplomasi. Demikian juga dengan penyelesaian persoalan di dalam negeri, selain menguasai masalah diperlukan pula kemampuan persuasif untuk memimpin sekitar 280 juta penduduk. 

Capres #2, Prabowo berpenampilan santai bahkan tampil dengan gaya joget gemoynya. 

Branding gemoy Prabowo adalah upaya untuk menarik pemilih milenial dan gen Z serta mengimbangi gap yang muncul antara Prabowo dan calon wakil presidennya Gibran, yang masih muda. Sekalipun mungkin akan berakibat menghilangkan image dari Prabowo yang tegas dan keras sebagai mantan prajurit. 

Pengamat politik Rocky Gerung malah menilai rebranding ini bisa berakibat fatal karena pada akhirnya keaslian Prabowo akan muncul dan mengakibatkan hilangnya nilai ke-gemoyan tersebut. Atau sebaliknya ke-gemoyannya akan menghilangkan sifat asli seorang prajurit yang menjadi imej kebanggan pendukung Prabowo selama ini, sebagai aset dalam memimpin negara besar seperti Indonesia. 

Capres #3, Ganjar sejauh ini tidak memperlihatkan branding tertentu dalam kampanye pilpres dan terkesan tidak menghiraukan soal penampilan. Ganjar tampil apa adanya. Sekalipun tidak menonjol, baik dalam branding maupun substansi, Ganjar masih unggul tipis di atas Prabowo dari hasil debat perdana capres sesuai hasil kompilasi beberapa survei yang dilakukan oleh Prof Effendi Gazali dkk. 

Yang menjadi pertanyaan adalah apakah posisi hasil debat dan branding dari para capres saat ini mampu untuk memberikan kemenangan dan membawanya menduduki kursi orang nomor satu di Indonesia? 

Untuk menjawabnya perlu melihat dulu demografi pemilih 2024. Menurut data dari KPU, jumlah Daftar Pemilih Tetap mencapai 204.807.222 atau hampir 205 juta. Sekitar 113 juta pemilih (57%) adalah generasi Z berusia antara 17-26 (23%) dan milenial berusia 27-42 (34%). Adapun persentase pemilih berikutnya adalah generasi X yang berusia antara 43-59 (28%), sisanya berumur 60 tahun keatas (15%) disebut juga Baby Boomer dan pra Boomer. Tidak mengherankan bila para kandidat berlomba untuk menarik suara dari pemilih muda yang menjadi mayoritas dari pemilih 2024. 

Data jumlah pemilih berdasarkan usia tersebut menjadi patokan para kandidat kearah mana target suara mereka. Namun begitu, data demografi lain seperti jumlah pemilih berdasarkan tingkat pendidikan dan wilayah tempat tinggal tentu harus juga diperhitungkan karena erat kaitannya dengan pemilih muda. 

Menurut data dari kementerian Dalam Negeri jumlah penduduk yang tinggal di perkotaan sekitar 51% dan di pedesaan 49%. Artinya setiap kandidat capres harus membagi konsentrasi yang sama besarnya untuk penetrasi ke wilayah pemilih, baik di kota maupun di pedesaan. 

Adapun tingkat pendidikan dari pemilih, informasi dari Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC), membaginya menjadi tingkat pendidikan SLTP ke bawah (hingga tidak bersekolah)  sekitar 53% dan SLTA keatas 47%. 

Dari hasil survei SMRC, masing masing kandidat capres meraih suara di kategori SLTA ke atas adalah sebagai berikut ; Ganjar 31%, Prabowo 28% dan Anies 27%. Sementara untuk tingkat pendidikan SLTP ke bawah Prabowo meraih suara terbesar yaitu 36% disusul Ganjar dengan 26% sementara Anies di kisaran 20%. Data tersebut menunjukkan capres #2 unggul pada pemilih yang berpendidikan lebih rendah dan capres #3 berada diatas untuk pemilih berpendidikan lebih tinggi. 

Mari kita lihat faktor faktor apa saja yang berpengaruh dalam survei hasil debat perdana. Dari hasil survey Katadata Insight Center (KIC), mayoritas atau 69,1% responden menyatakan aspek yang paling mempengaruhi mereka adalah kejelasan gagasan para calon pemimpin. Kemudian 63,8% responden lebih terpengaruh oleh sikap capres-cawapres terhadap lawan debatnya, dan 62,8% lebih menilai aspek penguasaan materi debat. 

Sementara penilaian lainnya yang sifatnya tidak substansi hanyalah sedikit seperti, pakaian (13,8%), gemuruh pendukung (7,5%), gimmick seperti pantun atau joget (7,3%), dan atribut seperti peci, pin, atau gelang (6,3%). 

Hasil ini menunjukkan gaya "Gemoy" tidak menjadi perhatian pemilih. Padahal mayoritas responden survei KIC berasal dari kelompok milenial usia 27-42 tahun (46,9%), diikuti responden gen Z usia 17-26 tahun (35,7%), dan gen X usia 43-58 tahun (14,3%). 

Bagaimana dengan capres #1 Anies-Muhaimin? Sejauh mana upaya untuk mendapatkan porsi suara pemilih muda yang mencapai 57%?. Kalau melihat data dari SMRC dan KIC, tim pemenangan capres #1 harus bekerja extra. Image Anies yang elegan, artikulatif dan intelektual nampaknya belum tercermin dari hasil survey di pemilih dengan tingkat pendidikan SLTA ke atas. Anies yang meraih angka 27% masih berada dibawah Ganjar dan Prabowo. Sementara untuk tingkat pendidikan SLTP ke bawah, Anies dengan perolehan 20% harus lebih jauh penetrasi ke wilayah pedesaan untuk bisa mengejar angka Prabowo yang mencapai 36%. 

Langkah capres #2 yang mencoba mengakumulasi dukungan dari aparat kepala desa melalui organisasi seperti APDESI dan lainnya nampaknya merupakan langkah lanjutan dari perolehan angka yang tinggi di pemilih yang tingkat pendidikannya rendah. Biasanya tingkat pendidikan yang rendah inheren dengan masyarakat di pedesaan. Langkah ini dinilai menyalahi aturan karena pada dasarnya aparat desa tidak bisa ikut berkampanye. Bawaslu sudah mengindikasikan adanya potensi pelanggaran dari acara silaturahmi perangkat desa yang dihadiri oleh cawapres Gibran, sekalipun dilakukan sebelum masa kampanye. 

Sesuai data dari kemendagri, persentase jumlah penduduk yang tinggal di pedesaan mencapai 49%. Memanfaatkan aparat desa tentu merupakan cara yang paling efektif untuk meraih suara dari pemilih di pedesaan. Datangnya dukungan aparat desa tentu tidak datang begitu saja.  Dukungan tersebut disertai tuntutan, yang salah satunya menaikkan dana desa yang bersifat afirmatif menjadi Rp. 5 milyar per tahun. Gibran dalam acara tersebut mengatakan telah menerima masukan perangkat desa dan akan menyiapkan solusi. 

Aparat Kepala desa ini mempunyai hubungan yang paling dekat dengan masyarakat. Menggunakan perangkat RT/RW akan mudah untuk mengorganisir dukungan pada salah satu calon. Oleh karenanya dalam UU tentang Desa, aparat desa tidak diperkenankan ikut berkampanye. 

Capres #3 Ganjar- Mahfud sekalipun tidak membuat gebrakan gebrakan, tapi tetap diperhitungkan karena dari hasil hasil survei tetap menempatkan capres #3 tidak jauh dari kandidat lainnya, khususnya terhadap capres #1. Tampil apa adanya dan pendukung yang militan dari PDIP tetap memberi peluang untuk survive dan masuk dalam putaran berikutnya. 

Satu lagi hasil dari survei dari KIC yang menarik pasca debat perdana adalah bagaimana sikap publik terhadap para kandidat capres setelah debat perdana usai?

Ada beberapa hasil yang perlu menjadi catatan tim sukses para kandidat capres, yaitu 16,6% responden yang tadinya belum menentukan pilihan atau golput, lantas berubah jadi punya pilihan. 10,5% responden yang jadi ragu dengan pilihan awalnya dan mempertimbangkan untuk pindah ke pasangan lain. 3,7% responden yang memutuskan pindah pilihan, dan 5,8% lainnya tidak tahu atau tidak jawab. 

Data tersebut menunjukkan bahwa adanya 30,8% responden (swing voter) yang memutuskan untuk memilih capresnya setelah debat perdana, dan masih ada target suara sebesar 6% yang masih belum tau memilih siapa. 

Oleh karena banyak kalangan menilai penampilan Anies di debat perdana sangat memuaskan, maka bisa kita asumsikan bahwa 30,8% swing voter yang menonton acara debat dan akhirnya memutuskan pilihannya, tentu porsi terbesarnya cenderung ke Anies. Hasil survei Kompas.com yang menanyakan kepada responden "Gagasan siapa yang paling oke? Mulai dari performa hingga retorika dalam menyampaikan dan menjawab setiap pertanyaan, menunjukkan Anies meraih 45%, Prabowo 32%, dan Ganjar 14%.

Hasil tersebut tentu menaikkan semangat tim capres #1, dan bila trendnya terus seperti ini setelah pasca debat akan memberi angin segar bagi Anies-Muhaimin yang sampai saat ini masih terus berada di angka 24%-25% dalam elektabilitasnya. Kerja keras tim sukses harusnya fokus ke pemilih di pedesaan agar persentase pemilih yang naik pasca debat bisa memberi efek positif juga di wilayah pedesaan. 

Perolehan hasil survei Kompas.com bahwa Prabowo hanya meraih 32% jauh dibawah Anies, memperjelas hasil survei KIC bahwa goyang gemoy tidak mendapat perhatian dari responden pada acara debat perdana. Tim sukses capres #2 harusnya bisa menganalisa kembali rebranding Prabowo dengan ke-gemoyannya. Kalau trend survei pasca debat terus seperti ini, bukan tidak mungkin elektabilitas capres #2 yang saat ini diatas kedua kandidat bisa terus merosot. 

Tim dari capres #3 mungkin harus lebih mempersiapkan Ganjar untuk debat selanjutnya. Dengan hanya memperoleh hasil 14% dari debat perdana, Ganjar harus tampil lebih menonjol dalam debat, bukan hanya sekedar menjadi pelengkap dalam debat Anies dan Prabowo. 

Harapan lainnya tentu dalam debat Cawapres tanggal 22 Desember nanti. Mahfud yang jauh lebih senior dan berpengalaman dari kedua cawapres lainnya, diharapkan bisa mendongkrak perolehan survei pasca debat, dengan kemampuan intelektual dan artikulasi yang dimilikinya. Kalau ini terjadi bukan tidak mungkin Ganjar-Mahfud bisa menjadi kuda hitam dalam kontestasi pilpres 2024. Bukankah mayoritas pemilih kita punya sentimen besar terhadap orang yang tidak dianggap/diperhitungkan dan tampil apa adanya? (penulis adalah Koordinator Liputan Luar Negeri Satuindonesia.id, tinggal di New York)


Berita Lainnya