Opini

Haji dan Rasisme Barat

Shamsi Ali Al-Kajangi

Shamsi Ali — Satu Indonesia
22 Juni 2024 08:00
Haji dan Rasisme Barat

MANHATTAN, 20 Juni 2024 - Jika kita membaca ayat-ayat Al-Qur’an tentang haji akan didapati bahwa perintah melaksanakan ibadah ini tidak memakai kata “Mukmin” atau “Muslim”. Melainkan kata “manusia” (an-naas). Padahal kita tahu bahwa berhaji adalah kewajiban bagi orang-orang Muslim atau Mukmin.

Di antara ayat-ayat itu adalah: “dan umumkan kepada manusia untuk berhaji niscaya mereka akan datang padamu dengan berjalan kaki dan menaiki onta-onta yang jinak. Mereka datang dari tempat-tempat yang jauh”. Di surah lain Allah menegaskan: “dan untuk Allah atas manusia melaksanakan haji ke baitullah bagi siapa yang mampu”.  Tentu ini menunjukkan bahwa ibadah haji merupakan ibadah yang merepresentasi wajah Universal atau wajah global Islam. Bahwa Islam itu adalah agama yang hadir untuk penjuru dunia. Sekaligus mengajarkan bahwa Islam memang dimaksudkan untuk semua manusia tanpa kecuali. Dan semua manusia memiliki akses yang sama kepada Islam tanpa ada perbedaan.

Oleh karena haji merepresentasi tabiat Islam dan umatnya yang universal dan global maka tidak mengherankan jika deklarasi kesetaraan manusia yang universal juga dideklarasikan oleh Rasulullah di saat melaksanakan ibadah haji. Haji Rasulullah yang sangat populer dengan haji wada’ itu menjadi momentum yang sangat tepat untuk beliau menyampaikan ajaran Islam yang menyetarakan manusia dalam khotbah monumental beliau yang dikenal “Khotbah al-wada”.

Beliau dalam kesempatan khotbah al-wada itu menyampaikan pokok-pokok ajaran agama, termasuk dalam hal relasi antar manusia. Satu di antaranya adalah pentingnya menjaga “kehidupan dan kehormatan manusia” (human life and human dignity). Bahwa sesungguhnya darah saudaramu (seagama dan semanusia) itu haram untuk ditumpahkan sebagaimana haramnya tempat ini (kota suci) di hari ini.

Secara khusus beliau mewasiatkan pentingnya menjaga Kehormatan dan kemuliaan kaum wanita. Sebuah pesan yang disampaikan oleh Rasulullah di abad keenam, di saat apa yang disebut Eropa saat ini tidak dikenal dan primitif. Eropa dan Amerika (Barat) yang saat ini mengaku paling menghargai wanita justeru harusnya banyak belajar dari Islam bagaimana sesungguhnya yang disebut “kesehatan jender” itu.

Namun yang ingin saya garis bawahi kali ini adalah bagian khotbah Rasulullah yang secara spesifik menegaskan universalitas kekeluargaan manusia (Universal Human family) sekaligus menegaskan kesetaraan ras (racial equality) manusia. Sebuah deklarasi yang pada masanya mungkin dianggap mimpi dan bahkan khayalan yang tidak realistis. Rasulullah mendeklarasikan ini berabad-abad sebelum Komisi HAM PBB melakukannya pada tahun 1948 lalu.

Dalam khotbah itu dengan sangat rinci dan tegas Rasulullah menyampaikan: “sesungguhnya Rabbmu satu.  Dan ayahmu satu. Semua kalian dari Adam dan Adam itu tercipta dari tanah. Tidak ada kelebihan (keutamaan) orang Arab di atas non Arab dan tidak ada kelebihan non Arab di atas orang Arab kecuali dengan ketakwaan. Tidak ada kelebihan orang putih di atas orang hitam dan tidak ada kelebihan orang hitam di atas orang putih kecuali dengan ketakwaan” (bagian khotbah Wada’).

Pernyataan ini menjadi sangat Istimewa karena ketika itu keangkuhan ras dan warna kulit kala itu menjadi sesuatu yang dianggap normal. Seolah mereka yang memiliki ras dan warna kulit tertentu memang terlahir dengan keistimewaan dan kelebihan itu. Sementara yang lain terlahir dengan ras dan warna kulit yang dianggap tidak memiliki keutamaan yang sama. Akibatnya perbudakan sesama manusia menjadi hal biasa, bahkan dianggap bagian dari privilege bagi kaum tertentu.

Pada masa itu memang isunya ada pada ras dan warna kulit. Di Mekah mereka yang berkulit putih (diekspresikan dengan warna merah) memiliki privilej-privilej yang tidak dimiliki oleh masyarakat yang berbeda. Selain itu tentunya juga karena ras; Arab dan non Arab. Sehingga wajar jika penekanan Rasul itu ada pada dua hal ini.

Tapi sesungguhnya Ketika Rasulullah memulai dengan “Satu Tuhan” dan “Satu Ayah” menggambarkan ekspresi yang all-inclusive. Artinya pernyataan beliau menekankan jika semua manusia dengan segala belakangnya adalah setara. Setara walau tidak harus sama. Ada kesatuan dan kesetaraan di tengah perbedaan-perbedaan dan keragaman yang ada.

Hal yang kemudian ditegaskan dan direalisasikan dalam kehidupan nyata Rasulullah dan umatnya. Berbagai ayat Al-Qur’an dan hadits, maupun catatan sirah (sejarah hidup) Rasulullah SAW membuktikan apa yang pernah beliau sampaikan itu.

“Wahai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kalian dari seorang lelaki dan seorang wanita lalu menjadikan kalian berbangsa-bangsa dan bersuku-suku. Sesungguhnya yang paling mulia di antara kalian di sisi Allah adalah yang paling bertakwa” (Al-Hujurat:13).

Bahkan di ayat pertama Surah an-Nisa Allah menegaskan: “Wahai manusia bertakwalah kalian kepada Allah yang telah menciptakan  kalian dari satu jiwa/orang (Adam). Berbagai ayat lainnya menegaskan hal yang sama. Ayat tentang Allah yang membentuk (termasuk ras dan warna kulit) manusia menunjukkan bahwa warna kulit dan ras adalah karunia yang Allah berikan. Bukan karena manusia yang menghendaki. “Dialah (Allah) yang membentuk kalian sesuai kehendak-Nya” (Al-Imran: 3).

Bahkan lebih jauh Al-Quran menegaskan jika perbedaan dan keragaman itu adalah bagian dari sunnatullah dan tanda kebesaran-Nya: “Dan di antara tanda-tanda kebesaran-Nya adalah perbedaan bahasa dan warna kalian” (Ar-Rum).

Dalam sejarah Islam pun kita kenal secara dekat bagaimana Rasulullah tegas dalam hal menjamin kesetaraan ini. Pengikut beliau pun sejak awal memiliki keragaman yang luas. Ada Bilal (Afrika), Salman (Persia), Suhaeb (Roma/Putih). Tentunya bersama mereka para kaum Arab Quraish.

Saya mungkin akhiri dengan mengingatkan kembali cerita perselisihan dua sahabat yang tidak saja berbeda ras dan warna kulit. Tapi juga berbeda strata atau tingkatan sosialnya. Antara Bilal yang berkulit hitam dan mantan budak yang miskin dan  Abdurrahman bin Auf yang Arab terhormat dan kaya.

Intinya perselisihan dua sahabat ini melibatkan perilaku rasis. Di mana sahabat Arab yang kaya itu merendahkan Bilal dengan menyebutnya “anak seorang Ibu hitam”. Rasulullah yang mengetahui itu dengan tegas menyatakan kepada sahabat terhormat itu: “sesungguhnya kamu adalah orang yang masih memiliki sifat jahiliah”.

Semoga dengan memahami makna globalisasi kekeluargaan kemanusiaan melalui ibadah haji umat Islam semakin tersadarkan akan tanggung jawab globalnya untuk kemanusiaan itu. Termasuk Urgensinya bagi umat ini sadar jika keislaman kita itu Universal. Tidak ada keutamaan Islam seseorang karena ras, warna kulit dan kebangsaan.

Maka tak perlu angkuh menyebut diri “Islam Nusantara” atau “Islam Arab”. Benahi saja ketakwaan kita. Itulah kemuliaan sejati. Yakin!

(Ditulis untuk mengingat Juneteenth atau hari pembebasan perbudakan warga hitam di Amerika).


Berita Lainnya