Opini
Dukungan Nyata Relawan Anies dan Kontrak Politik
BERBICARA soal carut marut perpolitikan di tanah air tentu tidak bisa lepas dari sistem yang ada saat ini. Kita tidak bisa menafikan peran partai politik yang sudah mengangkangi demokrasi, sehingga kedaulatan rakyat seakan sudah beralih menjadi kedaulatan partai politik.
Semua diatur dalam Undang-Undang yang melegitimasi kekuasaan partai, baik kepada anggotanya, terlebih kepada rakyat yang sebenarnya memilih dan memberi amanah untuk menjalankan tuntutan rakyat sebagaimana yang ada dalam konstitusi.
Konstitusi sendiri sudah dipreteli sehingga lebih mengakomodasi kepentingan elite dengan dalih untuk kepentingan rakyat. Pertanyaannya, bagaimana mengubah sistem tersebut? Kita sama-sama maklum bahwa, perubahan tidak mungkin dari atas atau dari para elite negeri yang sudah mapan dan nyaman dengan status quo saat ini. Perubahan hanya bisa terjadi bila dituntut dari bawah, dari rakyat.
Secara konstitusional pilihan yang ada tentu terlebih dahulu mengubah sistemnya, atau memilih pemimpin dahulu, atau malah memilih pemimpin yang akan mendobrak sistem yang ada dan mengganti dengan sistem yang lebih baik.
Pilihan terakhir tentu saja yang sangat ideal. Namun, adakah sosok calon pemimpin yang masuk dalam pilihan terakhir tersebut? Kalaupun ada, apakah calon tersebut mampu melaksanakan amanah setelah terpilih nanti?
Banyak pihak menilai capres Anies Baswedan adalah jawaban dari pilihan tersebut. Anies dianggap sebagai antitesa dari Joko Widodo (Jokowi) yang menjanjikan perubahan setelah terpilih nantinya.
Hal tersebut didukung oleh partai koalisi saat mendeklarasikan calon presiden Anies Baswedan. Bahkan partai koalisi memberi sinyal bahwa Anies diberi mandat dan wewenang untuk memilih calon wakil presidennya, yang dianggap paling pas oleh Anies untuk mendampinginya dalam membawa perubahan.
Poin ketiga dari enam poin piagam deklarasi jelas dan tegas menyatakan bahwa, Partai Nasdem, Partai Demokrat, dan PKS memberi mandat kepada Anies untuk memilih calon wakil presidennya (cawapres). Sampai di sini Anies mendapat jalan dan ruang yang terbuka, sebagai capres yang diberi wewenang penuh dan diharapkan menjadi pemimpin perubahan yang didambakan, tidak saja oleh ketiga partai pengusung tersebut tapi terlebih oleh masyarakat yang sudah tidak sabar dengan adanya perubahan.
Namun belakangan ini ada yang terasa janggal. Setelah batal mengumumkan cawapres setelah kembali menunaikan ibadah haji, suara-suara sumbang mulai muncul dari partai pengusung.
Adalah partai Nasdem melalui wakil ketua umumnya Ahmad Ali yang menyatakan,"Saya bingung juga dengan Mas Anies ini. Tiap hari, berubah dan bertambah kriteria (cawapres) nya." Ini diberitakan CNN Indonesia, Sabtu (22/7/2023).
Ahmad Ali menganggap Anies hanya sedang mencari pembenaran untuk mencari sosok cawapres yang diinginkan. Padahal, kata Ali, kriteria cawapres menjadi kewenangan partai politik pendukung. Tampaknya Ali lupa pada poin ketiga piagam deklarasi partai koalisi. Dan lebih lupa lagi, mungkin karena sudah lebih lama, sewaktu Nasdem pertama kali mendeklarasikan Anies pada 3 Oktober 2022 dimana Partai NasDem menyerahkan kepada Anies untuk memilih sendiri pendampingnya dalam kontestasi Pemilihan Presiden 2024.
Belum lagi pengumuman resmi capres/cawapres 2024, tampaknya Anies sudah mulai tersandera oleh partai-partai yang mendukungnya dan mencoba untuk mengakomodasi kepentingan partai partai tersebut. Kalau memang Anies diberi wewenang dan mandat untuk memilih calon wakilnya, tentu Anies sudah mengumumkannya saat Apel akbar partai NasDem di GBK, pekan lalu.
Kenyataannya tidak ada pengumuman tersebut. Yang ada justru polemik mendiskreditkan Anies karena dianggap inkonsisten dengan selalu menambah persyaratan cawapres yang akan mendampinginya. Tudingannya, Ini sengaja dilakukan Anies untuk mengarah kepada calon tertentu yang sebenarnya tidak direstui oleh partai lainnya. Lantas, apa artinya mandat dan wewenang Anies untuk menentukan wakilnya?
Hal-hal yang sudah diuraikan diatas menunjukkan bahwa oligarki politik setengah hati dalam memberikan mandat dan wewenang kepada Anies. Bagaimana Anies bisa memimpin perubahan bila partai partai pendukung ternyata belum berubah, masih kental nuansa otokrasi dalam kekuasaannya.
Ini baru dari sisi oligarki politik. Bagaimana dengan oligarki ekonomi, bohir bohir yang mendanai tentu tidak memberikan dukungannya dengan gratis. Akan banyak deal-deal di belakang layar yang pada akhirnya akan menyandera Anies dan agenda perubahannya seperti yang menjadi harapan rakyat.
Apakah Anies mampu seorang diri menghadapi semua benturan kepentingan ini? Sebenarnya Anies bisa menghadapi semua ini bila ada dukungan yang nyata dari para relawannya. Anis perlu dukungan yang solid dan tertulis dari pendukungnya untuk menghadapi oligarki politik dan oligarki ekonomi. Itulah “kartu truf” Anies sebagai capres dari rakyat yang menuntut perubahan. Tanpa itu seorang Anies, tidak bisa apa apa.
Relawan Anies harus mengubah strategi untuk lebih konsen membangun dukungan yang memberi Anies kekuatan dalam menghadapi oligarki, daripada sekedar euforia yang tidak bisa dijadikan bargaining power oleh Anies. Relawan harus membuat kontrak sosial tertulis dengan Anies untuk membawa agenda perubahan bila terpilih nantinya. Kontrak inilah yang jadi pegangan Anies bergerak menuju RI 1.
Kalau memang tuntutan relawan sesuai dengan visi misi perubahan Anies, tentu tidak sulit untuk merealisasikan dalam kontrak sosial tertulis. Dilain pihak kalau memang jumlah relawan dan pendukung Anies cukup signifikan. Katakanlah 55% atau lebih dari total pemilih, dan bisa dikonsolidasikan atau dikondisikan untuk membuat kontrak sosial tertulis, tentu akan menjadi senjata ampuh bagi Anies sebagai calon presiden rakyat yang mendambakan perubahan. Ini adalah PR dari relawan Anies untuk membuktikan bahwa jargon perubahan oleh Anies mendapat dukungan dari 55% atau lebih pemilih.
Model kontrak sosial tertulis sudah jauh jauh hari digaungkan oleh komunitas gagasan masa depan Indonesia, yang lebih dikenal dengan Forum Tanah Air (FTA). Siapa saja calon pemimpin yang membuat janji janji politik sebaiknya dibuat dalam suatu kontrak sosial tertulis antara pemilih dan calon pemimpin tersebut.
Hal ini perlu mengingat sistem demokrasi yang ada saat ini tidak berjalan sebagaimana mestinya. Tidak ada check and balance yang baik dalam pengelolaan negara. Kedaulatan rakyat tidak disertai dengan perangkat untuk bisa mengeksekusi kedaulatan tersebut bila ada penyimpangan.
Hak recall yang mestinya bisa dijadikan alat untuk mengoreksi anggota legislatif ternyata menjadi alat petinggi partai untuk menyandera anggotanya agar taat pada pimpinan partai. Rakyat tidak punya akses untuk mengoreksi anggota legislatif apalagi pimpinan daerah yang menyimpang dari dari kepentingan rakyat. Demikian pula dengan memakzulkan atau meng impeachment Presiden yang dibuat sedemikian sulit, sehingga hampir mustahil melaksanakannya dengan sistem yang ada saat ini.
Forum Tanah Air sudah membuat Manifesto Politik yang menuntut 10 perubahan sangat mendasar untuk memperbaiki sistem politik dan ekonomi, yang bisa menjadi acuan ataupun referensi dalam membuat kontrak sosial tertulis, antara pemilih dan yang dipilih dalam pemilu di tanah air. Kontrak sosial tertulis bukan saja untuk kepentingan pemilih agar ada pegangan untuk meminta pertanggung jawaban politik kepada pemimpin setelah terpilih, tapi hal ini juga memberikan amunisi bagi para calon pemimpin untuk berhadapan dengan oligarki politik dan oligarki ekonomi yang semakin menggurita belakangan ini. Salam perjuangan dari New York. (penulis adalah wartawan, koordinator liputan luar negeri satuindonesia.co dan ketua Forum Tanah Air)