Opini
Donald Trump: I Am Back!
Oleh: Shamsi Ali Al-Kajangi*
NYC SUBWAY, 16 Juli 2024 - Rencana pilpres di Amerika hari-hari ini telah ada pada tataran puncaknya. Suasana kampanye untuk mendukung dan memilih calon presiden dan calon wakil presiden negara adidaya ini semakin panas. Serang menyerang antara kandidat dan para pendukungnya, sebagaimana juga lazimmya pilpres di Indonesia, semakin tajam. Masing-masing memosisikan diri pada posisi yang terbaik dan yang lainnya kurang bahkan tidak sesuai dengan harapan Amerika.
Walaupun keduanya memiliki pengalaman yang sama sebagai mantan dan (incumbent) presiden, kedua kandidat memiliki latar belakang yang sangat kontras. Kita mengenal Presiden Biden adalah politisi ulung dengan pengalaman panjang di senat. Bahkan ketika terpilih pertama kali dia terpilih sebagai senator termuda pada masanya. Pernah menjadi Wakil Presiden Obama dua periode dan kini sebagai presiden satu periode.
Sementara itu Donald Trump walau memiliki latar belakang politik sebagai presiden satu periode, dia sama sekali tidak memiliki latar politik yang solid. Modal terbesar yang dimiliki oleh Donald Trump adalah popularitas sebagai pebisnis yang artis. Artinya secara finansial bisnis Donald Trump tidak ada apa-apanya dibanding dengan pebisnis besar lainnya, seperti Ellon Musk, Bill Gate, Warren Buffet, Jeff Bezos, bahkan Michael Bloomberg. Modal terbesar Donald Trump adalah akses media sebagai artis dengan beberapa show. Apprentice dan Miss Universe misalnya adalah dua acara TV Donald Trump yang paling populer.
Tapi sebenarnya yang paling menguatkan Donald Trump dalam pencalonan ini adalah sentimen kaum putih (white supremacy) yang semakin benci kepada warga nonputih di Amerika Serikat. Dengan kata lain, modal terutama Donald Trump untuk memenangkan pertarungan ini adalah rasisme warga putih. Hal ini dimungkinkan karena Donald Trump memang berani menyampaikan secara terbuka penolakannya kepada immigran dari dunia nonputih.
Sebenarnya jika kita lihat lebih dekat kemenangan Donald Trump pada pilpres di saat melawan Hillary Clinton merupakan gambaran kemarahan warga Amerika atas kemenangan Barack Obama sebelumnya. Dia seorang warga hitam yang dianggap terlalu identik dengan immigran dan minoritas. Bahkan dituduh sebagai muslim terselubung karena ayahnya seorang muslim (dari Kenya) dan pernah tinggal di Indonesia. Semua ini menjadi dorongan bagi menaiknya rasisme yang menjadi faktor kemenangan Donald Trump pada pilllres ketika itu.
Secara umum memang bagi masyarakat immigran minoritas, khususnya komunitas muslim, rasisme Donald Trump ini yang menjadi “biggest concern”. Tidak saja pak kebijakan publik yang pernah (atau akan) diambil sebagai Presiden. Kita masih ingat “presidential decree” (keputusan presiden) tentang “muslims ban” atau pelarangan orang Islam masuk Amerika ketika itu. Tapi lebih dari itu, juga karena pribadinya yang memang rasis dan anti Immigran dan muslim khususnya.
Saya mengenal dan pernah bertemu dengan beberapa presiden Amerika. Satu di antaranya adalah GW Bush Jr di tahun 2001 pasca tragedi 9/11 ketika itu. Saya berani mengatakan bahwa Bush adalah anti Islam dan islamophobic. Kita kenal Bush memang adalah pengikut Kristen Evangelical yang ekstrim. Sehingga serangan ke Afghanistan dan Irak, Walau dibungkus dengan slogan “freedom dan demokrasi”, sesungguhnya adalah bagian dari perang suci Kristiani (Crusade) sebagai balas dendam lama kepada umat ini.
Namun hal yang membedakan antara Bush dan Trump adalah bahwa Bush dalam mengekspresikan kebenciannya (hatred) masih sopan dan civilized (beretika). Masih mengatakan misalnya “Islam is a peaceful religion” (Islam adalah agama damai). Walau banyak orang Islam yang tidak damai. Sebaliknya Trump justeru yang disebutkan sebagai sumber dari kejahatan (evil) adalah Islam itu sendiri.
Ke semua itulah yang menjadikan komunitas muslim di Amerika sangat waswas untuk menerima apalagi mendukung Donald Trump. Belum lagi berbagai immoralitas, khususnya dalam hal “womanizer” yang memalukan. Ditambah lagi dengan kasus 6 Januari di Amerika yang semuanya menggambarkan jika Donald Trump memiliki karakter dan kepribadian yang antitesis dengan nilai-nilai Amerika sebagai bangsa.
I Am Back!
Akan tetapi di sisi lain dukungan Komunitas Muslim kepada Biden di pilpres lalu kini terasa sebuah penyesalan yang nyata. Pembunuhan massal dan genosida yang dilakukan oleh Israel ke penduduk Gaza memungkinkan terjadi karena bantuan militer dan keuangan Amerika dan sekutunya. Dan Biden dalam hal ini menjadi orang pertama yang harus bertanggung jawab. Apa pun justifikasi yang disampaikan ke publik, tangan Biden berlumuran darah anak-anak dan warga sipil Palestina.
Biden di mata Komunitas Muslim adalah sosok hypocrit (munafik) yang tidak bisa dipercaya. Kata-katanya tidak sejalan dengan kenyataan kebijakan yang diambilnya dalam menyikapi genosida dan pembantaian anak-anak Palestina. Karenanya dukungan yang komunitas muslim pernah berikan kepadanya pada pilpres lalu tidak akan lagi terjadi. Komunitas muslim telah kehilangan trust dan tidak lagi melihatnya sebagai kandidat yang punya integritas untuk memimpin negara adidaya ini.
Lalu kepada siapa dukungan komunitas muslim diberikan pada pilpres mendatang?
Jawabannya komunitas muslim tidak akan mendukung keduanya (Trump atau Biden). Dan jika ada kandidat ketiga kemungkinan komunitas muslim akan memberikan dukungannya kepada third candidate itu. Tentu dukungan ini bukan bertujuan electoral (terpilih dan menang). Tapi sebagai bentuk pertanggung jawaban sebagai warga negara. Sekaligus pertanggung jawaban ukhrawi kelak bahwa dukungan Komunitas Muslim tidak diberikan kepada kandidat rasis atau kandidat yang tangannya berlumuran darah.
Dengan hilangnya dukungan dari komunitas muslim, semakin jelas bahwa Donald Trump akan memenangkan pertarungan ini. Jika saya mempresentasikan kemungkinan saat ini sekitar 65% kemenangan itu ada di tangan Donald Trump. Apalagi dengan perkiraan kemampuan fisik Biden karena faktor umur, ditambah lagi dengan performa yang sangat buruk di debat lalu, semakin meyakinkan jika Trump akan memenangkan pilpres ini.
Runyamnya lagi, upaya asasinasi Trump minggu kemarin semakin menambah semangat pendukungnya sekaligus menambah simpati masyarakat Amerika kepadanya. Berbagai masalah yang dihadapi Trump di pengadilan tidak berdampak pada pilpres di Amerika.
Karenanya saya seolah sayup-sayup mendengar suara Arnold Schwazenegger: I am back!
Ternyata suara itu adalah suara Donald Trump. So, welcome back Sir! (*Presiden Nusantara Foundation)