Opini

Dialog Antaragama dan Gerakan Zionisme

Oleh: Shamsi Ali Al-Kajangi*

Shamsi Ali — Satu Indonesia
20 Juli 2024 22:13
Dialog Antaragama dan Gerakan Zionisme

BELLEVUE HOSPITAL, 19 Juli 2024 - Ketika saya mendarat pertama kali di Amerika, saya tidak mengenal dan tidak paham tentang apa itu interfaith dialogue atau dialog antar-(pemeluk)agama. Hanya secara alami menjadi tuntutan dakwah, di mana realitas sebagai kami sebagai minoritas, S mengharuskan adanya aktivitas-aktivitas  “outreach” atau  pendekatan keluar dengan tetangga-tetangga. Saat itu umumnya kepada komunitas Kristiani di sekitaran Masjid.

Namun peristiwa 9/11 di tahun 2001 menjadikan segalanya berubah. Upaya pendekatan keluar dengan tetangga-tetangga tidak lagi hal biasa dan bersifat  alami. Tapi menjadi luar biasa (extraordinary) dan memerlukan wawasan dan perencanaan yang inovatif. Islam dan umat saat itu dihadapkan kepada sebuah realitas yang juga extraordinary (tidak biasa) dan cukup mengkhawatirkan.

Pada saat yang sama saya mulai tersadarkan akan makna “keragaman” masyarakat (diverse society) di Amerika. Di samping kiri dan kanan, depan belakang, dan dari semua penjuru ada tetangga-tetangga dengan afiliasi yang berbeda-beda. Karenanya kesadaran akan “the otherness” (tentang orang lain) semakin terbuka sekaligus menggugah cara pAndang lama saya. Realitas itu menyadarkan bahwa kehidupan ini bukan hanya milik kita dan tentang kita. Tapi ada orang lain (the others) dengan segala mindset dan karakternya. Salah satunya adalah tentang agama dan keyakinan mereka sendiri.

Hal di atas semakin mendorong saya untuk “revisiting” (kembali mendalami) berbagai ayat Al-Quran maupun hadis-hadis yang terkait dengan “the other” (orang lain), khususnya dua Komunitas agama yang mengaku sebagai pelanjut keimanan Ibrahim (Abrahamic faith); Yahudi dan Kristen. Saya menemukan begitu banyak ayat maupun hadis, bahkan sejarah panjang interaksi Umat dengan mereka. Interaksi panjang itu sejak zaman Rasulullah, Khulafa Rasyidun, hingga ke zaman ekspansi Islam ke dunia Barat khususnya. Sejarah Islam di Madinah tidak dapat dilepaskan dengan interaksi Rasulullah dengan komunitas Yahudi secara dominan. Dan sejarah Islam di Spanyol tidak bisa dilepaskan dari interaksi umat dengan komunitas Kristen secara dominan.

Artinya kedua Komunitas itu dalam sejarahnya masing-masing memiliki sisi negatif atau positif yang dominan sesuai keadaan dan konteksnya. Sehingga faktanya keduanya susah dipisahkan dan dibanding-bandingkan. Ayat-ayat yang misalnya menguatkan “enimositas” (kebencian dan permusuhan) kaum Yahudi kepada umat ini juga tidak terlepas dari konteks dan berbagai hal yang terkait. Saat ini misalnya yang dominan  di depan mata sebagai musuh adalah Yahudi. Hal itu karena konteks kejahatan Israel terhadap bangsa Palestina yang melampaui semua batas-batas pertimbangan kemanusiaan dan akal sehat.

Tapi jangan lupa ada masa dengan konteks lain di mana umat Kristiani justru yang lebih dominan memusuhi Islam. Ada kalanya umat Hindu menjadi sangat jahat. Bahkan umat Buddha yang kental diidentikkan dengan kelembutan dan kasih sayang juga bisa berbalik menjadi orang-orang yang bengis dan beringas. Dalam sejarah banyak contoh-contoh yang dapat kita temukan. Pembantaian umat Islam Bosnia oleh umat Kristiani. Pembantaian umat Islam di Srilanka dan India oleh umat Hindu. Demikian pula pembantaian umat Islam Rohingyah oleh Umat Buddha.

Realitas di atas mengingatkan saya sebuah percakapan yang terjadi antara saya dengan Sheikh Mustafa Ceric. Beliau adalah Grand Mufti Bosnia yang cukup ilmuan dan kharismatik. Suatu ketika beliau hadir di PBB New York untuk menjadi pembicara dalam sebuah seminar tentang genosida. Saya Kebetulan hadir sebagai Imam mewakili Islamic Center New York.

Di sela-sela acara saya ketemu beliau dan bertanya tentang ayat dalam Al-Quran:

لَتَجِدَنَّ أَشَدَّ ٱلنَّاسِ عَدَٰوَةً لِّلَّذِينَ ءَامَنُواْ ٱلۡيَهُودَ وَٱلَّذِينَ أَشۡرَكُواْ  ۖ وَلَتَجِدَنَّ أَقۡرَبَهُم مَّوَدَّةً لِّلَّذِينَ ءَامَنُواْ ٱلَّذِينَ قَالُوٓاْ إِنَّا نَصَٰرَىٰ  ۚ ذَٰلِكَ بِأَنَّ مِنۡهُمۡ قِسِّيسِينَ وَرُهۡبَانًا وَأَنَّهُمۡ لَا يَسۡتَكۡبِرُونَ

(Sesungguhnya Engkau akan dapati orang yang benci kepada orang-orang beriman adalah orang Yahudi dan mereka yang musyrik. Dan sesungguhnya Engkau akan dapati yang paling dekat kepada kecintaan kepada orang-orang beriman adalah mereka yang mengaku sebagai nashora. Hal itu karena di antara  mereka ada Pendeta-Pendeta dan mereka tidak sombong” (Al-Maidah: 82).

Jawaban beliau: “Al-Quran itu benar 100 persen. Tapi ingat, Al-Quran dalam menyampaikan suatu hal pasti dengan  konteksnya masing-masing. Karenanya dalam konteks kami justru yang paling memusuhi kami adalah Kristiani. Mereka membantai kami, membunuh anak-anak kami, dan memperkosa wanita-wanita kami. Saya tidak menolak Al-Quran. Tapi kami memahaminya dengan konteks yang proporsional”.

 

Dalam perjalanan kegiatan Dialog antar agama yang selama ini saya tekuni saya tetap pada pandangan itu. Bahwa pada semua komunitas, ada yang baik dan ada yang buruk. Termasuk di komunitas Islam kita sendiri, ada segmen-segmen tertentu yang mengaku bagian dari umat tapi sesungguhnya antitesis dari keyakinan itu. Islam misalnya mengajarkan “rahmah” atau cinta kasih, “salaam” atau perdamaian. Tapi ada elemen-elemen umat yang memiliki wawasan dan perilaku sebaliknya.

Karenanya generalisasi terhadap kelompok tertentu tidak bisa dibenarkan dan bertentangan dengan nilai “fairness” kepada orang lain. Sebagaimana kita umat Islam tidak ingin dituduh teroris karena adanya orang-orang tertentu dari kalangan umat ini yang melakukan itu. Juga orang lain pastinya tidak ingin dituduh jahat karena adanya perilaku jahat sebagian orang yang berafiliasi dengan agama mereka.

Jika kita mengamati pembantaian bangsa Palestina di Gaza oleh penjajah Israel kita pastinya tergoda untuk memukul rata orang Yahudi sebagai penjahat. Realitasnya banyak juga orang Yahudi di berbagai belahan dunia, bahkan di Israel sendiri, yang menentang kejahatan Israel itu. Demikian pula di Amerika, Eropa, dan lain-lain. Di Amerika mungkin sosok Senator Barnie Sanders adalah sosok yang paling tersohor.

Lalu siapa pelaku kejahatan yang terjadi kepada bangsa Palestina?

Jawabannya adalah Yahudi yang berideologi Zionisme. Tidak semua orang Yahudi adalah zionis. Akan terapi semua zionis mengaku Yahudi. Walau realitasnya gerakan Zionisme justru diinisiasi oleh seseorang yang tidak percaya Tuhan dan agama. Mungkin mirip-mirip dengan kelompok-kelompok teroris yang pernah diafiliasikan ke agama Islam. Mereka semua mengaku Muslim. Bahkan merasa lebih Islami dibanding orang-orang Islam pada umumnya.

Masalahnya memang, masyarakat Yahudi yang hanya 16 juta di seluruh dunia itu pada umumnya mengimani Israel sebagai rumahnya. Bahkan semua orang Yahudi konon kabarnya berhak memiliki kapling tanah di Israel. Karena Israel dianggap bagian dari keimanan dan diyakini sebagai tempat perlindungan terakhir bagi umat Yahudi sebelum datangnya kehancuran (Kiamat). Sehingga sangat wajar jika eksistensi Israel didukung oleh umat Yahudi walau tidak harus setuju dengan apa yang dilakukan oleh penjajah zionis kepada bangsa Palestina.

Di sinilah runyamnya sebagian besar umat Yahudi. Mereka complicit (bersekongkol) dalam keyakinan bahwa  Israel selalu benar dan wajib dibela. Bahkan mereka yang mengaku bukan zionis dan dengan slogan perdamaian. Kelompok-kelompok Yahudi yang di mana-mana mempromosikan Dialog dan kerja sama antar komunitas agama, pada umumnya jika bukan Zionis, ada pada golongan ini (persekongkolan). Salah satunya adalah AJC yang akhir-akhir ini sedang dihebohkan di tanah air.  

Saya hanya ingin mengatakan bahwa mari tetap melanjutkan upaya Dialog dan kerja sama antar umat beragama, bahkan dengan komunitas Yahudi. Tentu dengan tetap konsisten dengan akidah yang diyakini masing-masing. Tapi semua itu harus dilakukan para konteks yang proporsional. Melakukan Dialog dengan bermanis-manis bisa jadi penyakit. Penyakit insensitifitas dan kebal muka dan rasa. Di saat saudara-saudara kita dibantai tanpa rasa kemanusiaan dan Anda bermuka manis dengan mereka?

Dan yang lebih penting lagi harus jeli dan berhati-hati jangan sampai dialog antar agama hanya jadi stempelan. Jangan-jangan di balik dari Dialog itu ada misi besar. Khusus untuk Komunitas Yahudi, pastinya misi zionis Israel jadi misi utama untuk membela dan memenangkan Israel dalam dialog-dialog yang mereka lakukan.

Dan AJC adalah salah satu organisasi Yahudi yang misinya adalah mendukung dan mempromosikan Zionis Israel ke dunia internasional, khususnya dunia Islam. Tujuannya agar negara-negara Islam luluh dan mengakui Israel sebagai negara dengan membangun hubungan diplomatik. Itu yang terjadi dengan beberapa negara Timur Tengah, termasuk Emirates, Bahrain, Sudah, Mesir, Jordan, dan lain-lain. Semua bermula dengan dialog-dialog antar agama yang dibumbui dengan janji solusi dua negara (two states solution) sesuai dengan “Abrahamic Accord”.

Setelah sukses di beberapa negara Timur Tengah, minus Saudi yang akan menjadi gongnya, kini Indonesia menjadi target utama. Ada beberapa alasan kenapa Indonesia menjadi target utama. Selain karena Indonesia adalah negara Muslim besar dengan pengaruh global yang cukup besar. Juga karena Indonesia adalah salah satu negara yang masih terus bertahan dan konsistensi untuk tidak membangun hubungan diplomasi dengan Israel selama Palestina belum merdeka.

Kehebohan kunjungan 5 orang Indonesia ke Israel dan ketemu Presiden Israel bukan sesuatu yang baru. Juga kunjungan tokoh-tokoh Islam ke Israel dan/atau negara-negara pendukung utama Israel, seperti Amerika, bukan sesuatu yang mengejutkan. Itu hanya penampakan kecil dari berbagai upaya yang mereka lakukan untuk menaklukkan konsistensi Indonesia dalam menolak hubungan diplomasi dengan Israel. Berbagai seminar dan dialog antar agama di berbagai institusi Islam, termasuk UIN, hingga ke acara yang dibatalkan di Istiqlal. Semua itu adalah bagian dari upaya mereka yang sangat agresif untuk mencapai tujuan mereka; terjalinnya hubungan diplomasi dengan Israel.

Ingat, bagi bangsa Indonesia khususnya umat Islam, kunjungan persahabatan ke Israel dan pertemuan dengan tokoh-tokoh politik zionis penjajah adalah bentuk pengkhianatan. Pengkhianatan terhadap rasa kemanusiaan dan ukhuwah islamiyah. Bahkan juga pengkhianatan kepada Konstitusi negara yang dengan tegas menentang penjajahan karena bertentangan dengan prinsip keadilan dan rasa kemanusiaan.

Hentikan pengkhianatan Anda!  

*Interfaith Activist in New York (former Member of Muslim-Jewish Advisory Council)


Berita Lainnya