Opini
Begal Konstitusi Gagal, Apa Dampak bagi PDIP, Anies, dan Kaesang?
Oleh: Musni Umar, Sosiolog
JAKARTA - Gelombang demonstrasi yang terjadi di sejumlah tempat di Indonesia pada Kamis (22/8/2024), sangat luar biasa. Hanya melalui media sosial, bisa menggalang massa besar dari berbagai elemen mahasiswa, buruh, dan kelompok aktivis lainnya turun ke jalan.
Semua pihak kompak memprotes DPR untuk menganulir Putusan MK yang menurunkan ambang batas syarat pencalonan kepala daerah. Yakni, batas umur sekurang-kurangnya 30 tahun pada saat pendaftaran menjadi calon kepala daerah atau calon wakil daerah.
Demonstrasi besar tidak hanya terjadi di depan gedung parlemen Indonesia, Senayan Jakarta, tetapi juga di hampir semua daerah di seluruh Indonesia. Para aktivis '98 dan tokoh dari berbagai elemen masyarakat berkumpul di gedung Mahkamah konstitusi (MK) untuk menyampaikan dukungan serta pernyataan keprihatinan atas kondisi bangsa dan negara. Berbagai penelitian yang dilakukan para ilmuwan memberi kesimpulan bahwa demokrasi Indonesia mengalami kemunduran, bahkan sendi-sendi demokrasi telah dirobek-robek oleh kekuasaan.
Dewan Guru Besar Universitas Indonesia Universitas Indonesia (UI) pada saat yang sama mengemukakan adanya krisis konstitusi akibat sikap Badan Legislasi DPR yang menganulir putusan Mahkamah Konstitusi (MK) soal syarat usia dan ambang batas pencalonan kepala daerah.
Ketua Dewan Guru Besar UI Prof. Harkristuti Harkrisnowo mengatakan, hal itu menyebabkan Indonesia mengalami krisis konstitusi. "Tengah terjadi krisis konstitusi di Negara Kesatuan Republik Indonesia akibat dari pembangkangan Dewan Perwakilan Rakyat R.I. yang secara arogan dan vulgar telah mempertontonkan pengkhianatan mereka terhadap konstitusi," kata Prof. Harkristuti melalui keterangan tertulis, Kamis (22/8/2024).
Selain itu, di media sosial seperti di X (Twitter) menggema Gerakan Garuda Pancasila berlatar warna biru bertuliskan “Peringatan Darurat" yang menjadi simbol perlawanan. Gerakan mengawal konstitusi digaungkan warganet bersamaan dengan viralnya Garuda Biru di X.
Buahkan Hasil
Demonstrasi yang membara di Jakarta dan berbagai daerah di seluruh Indonesia yang dilancarkan mahasiswa, buruh, sejumlah elemen gerakan masyarakat (civil society) yang digerakkan dengan menggunakan platform media sosial, telah menggetarkan para bandit antidemokrasi. Sehingga DPR dan Pemerintah membatalkan pengesahan RUU Pilkada yang ingin menganulir Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 60/PUU-XXII/2024 dan Nomor 70/PUU-XXII/2024.
Putusan MK Nomor 60 memutuskan setiap partai politik bisa mengusulkan calonnya sendiri meski tak punya kursi di DPRD. Sedangkan putusan MK Nomor 70 memutuskan usia pencalonan seorang kepala daerah terhitung pada saat ditetapkan, bukan saat dilantik.
Menurut Pembina Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini, keputusan MK merupakan putusan dari lembaga kekuasaan kehakiman yang bersifat final dan mengikat yang berlaku serta-merta bagi semua pihak. Karena itu, semua pihak harus patut menghormati dan mengikuti apa yang sudah diputuskan dalam putusan MK.
Ia menegaskan, Mahkamah Konstitusi adalah institusi yang diberi wewenang oleh undang-undang dasar untuk menguji undang-undang terhadap undang-undang dasar. Karena itu, DPR seharusnya patuh pada keputusan MK.
Dampak PDIP, Anies, dan Kaesang
Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) tersebut gagal dibegal memberi dampak positif bagi PDIP. Pertama, partai banteng yang nyaris tidak bisa mencalonkannya kepala daerah di Jakarta setelah Koalisi Indonesia Maju (KIM) Plus, terbuka lebar untuk mencalonkan pasangan calon Gubernur-calon Wakil Gubernur Jakarta setelah diturunkan ambang batas syarat pencalonan kepala daerah.
Kedua, PDIP bisa berkoalisi dengan partai politik nonparlemen untuk mencalonkan pasangan kepala daerah setelah diturunkan ambang batas syarat pencalonan kepala daerah. Karena partai politik nonparlemen bisa mencalonkan pasangan calon kepala daerah.
Adapun dampak positifnya bagi Anies Baswedan yang merupakan calon independen (tidak punya partai politik), terbuka peluang untuk dicalonkan sebagai calon Gubernur Jakarta oleh PDIP yang merupakan satu-satunya partai parlemen yang belum mencalonkan pasangan calon Gubernur-calon Wakil Gubernur Jakarta.
Peluang lain yang dimiliki Anies untuk bisa mencalonkan diri sebagai calon Gubernur Jakarta, jika satu dan lain hal PDIP memilih mencalonkan kadernya sendiri menjadi calon Gubernur-Wakil Gubernur Jakarta, maka Anies masih tetap bisa mencalonkan diri menjadi calon Gubernur Jakarta melalui Partai Buruh, Partai Ummat, dan partai politik non parlemen lain.
Sementara Kaesang Pangarep, Ketua Umum PSI sudah tertutup pintu untuk menjadi calon Gubernur atau calon Wakil Gubernur karena umurnya baru 29 tahun, pada hal syarat menjadi calon Gubernur atau calon wakil gubernur menurut putusan MK harus berumur 30 tahun pada saat pendaftaran menjadi calon kepala daerah. (*)