Features

Anomali Dugaan Korupsi SYL, Musibah Uang Haram yang Mengalir hingga ke Anak Cucu

Dani Tri Wahyudi — Satu Indonesia
07 Juni 2024 15:00
Anomali Dugaan Korupsi SYL,  Musibah Uang Haram yang Mengalir hingga ke Anak Cucu
Menteri Pertanian periode 2019 -- 2023 Syahrul Yasin Limpo (SYL) menunggu sidang pemeriksaan saksi di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, Rabu (22/5/2024). ANTARA/Agatha Olivia Victoria

JAKARTA - Pada September 2023, masyarakat dihebohkan dengan penggeledahan rumah Menteri Pertanian periode 2019-2023, Syahrul Yasin Limpo (SYL), oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Saat penggeledahan, SYL sempat menghilang setelah perjalanan dinas di Eropa. Namun, ia akhirnya kembali ke Indonesia dan mengundurkan diri dari jabatannya sebagai menteri. Tak lama setelah pengunduran dirinya, KPK menetapkan SYL sebagai tersangka dan menahannya. Proses penyelidikan, penyidikan, hingga penahanan SYL memakan waktu sekitar 10 bulan.

Setelah beberapa bulan ditahan di Rumah Tahanan KPK, sidang perdana SYL digelar pada 28 Februari 2024 di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta. Dalam sidang tersebut, SYL didakwa melakukan pemerasan dan menerima gratifikasi dengan total Rp44,5 miliar terkait kasus dugaan korupsi di Kementerian Pertanian (Kementan) dari tahun 2020 hingga 2023.

Pemerasan ini dilakukan bersama Sekretaris Jenderal Kementan periode 2021-2023, Kasdi Subagyono, serta Direktur Alat dan Mesin Pertanian Kementan tahun 2023, Muhammad Hatta, yang juga menjadi terdakwa. Keduanya bertindak sebagai koordinator pengumpulan uang dari pejabat Eselon I dan jajarannya, yang digunakan untuk membiayai kebutuhan pribadi dan keluarga SYL.

SYL didakwa melanggar Pasal 12 huruf e dan Pasal 12 huruf B juncto Pasal 18 UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP jo. Pasal 64 ayat (1) KUHP. Setelah sidang dakwaan, sidang berlanjut dengan pemeriksaan saksi-saksi, yang masih berlangsung hingga Rabu (5/6). Selama pemeriksaan saksi, terungkap banyak fakta yang mengungkap kejahatan SYL, termasuk kemungkinan tindak pidana pencucian uang (TPPU).

Beberapa aset SYL yang terungkap menggunakan nama orang lain, antara lain, mobil Toyota Innova Venturer yang dibelikan SYL untuk putrinya, Indira Chuna Thita. Fakta ini diungkapkan oleh pengurus rumah SYL, Nur Habibah Al Majid, yang namanya digunakan tanpa sepengetahuannya untuk pembelian mobil tersebut.

Dalam sidang pemeriksaan saksi berikutnya, Thita mengaku mobil tersebut adalah pemberian ayahnya dan menggunakan nama Habibah untuk menghindari pajak progresif. Selain mobil, aset lain SYL yang menggunakan nama orang lain adalah rumah di Jalan Limo Nomor 42C, Kebayoran Lama, Jakarta, yang dibeli dengan harga Rp11,5 miliar menggunakan nama General Manager Media Radio Prambors, Dhirgaraya Santo.

Dengan nilai kredit sebesar Rp6,5 miliar dan cicilan bulanan Rp80,6 juta, rumah tersebut selalu dibayarkan terlebih dahulu oleh Dhirga sebelum diganti oleh istri SYL. KPK memperkirakan nilai dugaan TPPU SYL mencapai Rp60 miliar, termasuk gratifikasi baru yang juga akan disidangkan. Beberapa aset yang telah disita KPK antara lain, satu unit Toyota Innova Venturer, Mercedes Benz Sprinter 315 CD, dan rumah senilai Rp4,5 miliar di Kelurahan Pandang, Kecamatan Panakukang, Makassar.

Aset lainnya yang disita mencakup rumah di Jalan Jalur Dua, Kecamatan Bacukiki Barat, Kota Parepare, Sulawesi Selatan, Mercedes Benz Sprinter, New Jimny, motor Honda X-ADV 750 CC, dan Mitsubishi Pajero. Total dugaan korupsi SYL mencapai Rp104,5 miliar. Dalam sidang pada Senin (10/6/2024) mendatang, sidang kasus SYL beragendakan pemeriksaan saksi meringankan (a de charge). Tim penasihat hukum berencana mengajukan Presiden Joko Widodo, Wakil Presiden Ma'ruf Amin, dan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto sebagai saksi meringankan.

Dalam sidang pada Senin (3/6/2024), SYL meminta agar proses perkara TPPU dipercepat mengingat usianya yang sudah 70 tahun dan kondisi kesehatannya yang mengidap penyakit paru-paru. Namun, permohonan tersebut tidak dapat dikabulkan oleh Ketua Majelis Hakim Rianto Adam Pontoh karena masih bergantung pada penuntut umum.

Pakar hukum pidana Abdul Fickar Hadjar berpendapat jika perbuatan SYL terbukti dilakukan secara sengaja, hukuman maksimal TPPU bisa mencapai 20 tahun penjara dan denda maksimal Rp10 miliar. Namun, menurut UU Nomor 1 Tahun 2023 tentang KUHP, hukuman maksimal TPPU adalah 15 tahun penjara dan denda Rp5 miliar.

Majelis Hakim diharapkan dapat memutuskan secara adil, baik bagi terdakwa maupun masyarakat, dan memberikan efek jera bagi siapa pun yang berencana melakukan korupsi. (ant) 
 


Berita Lainnya