Opini

Tagar “Kabur Aja Dulu” dan keangkuhan para elit.

Oleh: Shamsi Ali

Shamsi Ali — Satu Indonesia
5 hours ago
Tagar “Kabur Aja Dulu” dan keangkuhan para elit.
Trend #kaburajadulu yang viral dan menjadi kontroversi serta polemik (Foto: Istimewa)

AKHIR-AKHIR ini lagi ramai dibicarakan tentang tagar “kabur aja dulu”. Konon kabarnya ada seorang anak muda yang memutuskan keluar dari Indonesia dan pergi ke negara lain untuk bekerja dan menuliskan ekspresi populer itu. Expresi itu pun menjadi trending atau viral dan banyak diperbincangkan, baik di media sosial maupun di masyarakat luas.


Jika kita melihat dengan kacamata positif (positive mind) sebenarnya ungkapan seperti itu tidak perlu dinilai negatif. Sebaliknya justeru diambil sebagai sesuatu yang bisa mendorong kepada hal-hal positif. Namun masih ada saja yang kemudian melihatnya dengan pandangan negatif. Bahkan direspon dengan respon yang tidak wajar bahkan tidak logis. 


Ada seorang Menteri misalnya yang melihat tagar “kabur aja dulu” ini, bahkan secara umum menilai mereka yang tinggal dan bekerja di luar negeri sebagai sikap yang menggambarkan kurangnya nasionalisme. Seolah seorang anak bangsa yang tinggal dan bekerja di luar negeri itu kurang cinta dan kurang loyal kepada bangsa dan negaranya. 


Pandangan seperti ini sangat sempit dan jelas menggambarkan pandangan seseorang yang kurang pengalaman, khususnya pengalaman luar negeri. Mungkin perlu lebih banyak jalan, asal pakai uang sendiri dan bukan uang negara. Biar banyak membuka mata dan merasakan apa makna dan rasa seorang anak bangsa di luar negeri. Jangan kayak katak di bawah tempurung. Belum pernah merasakan sebagai anak bangsa di luar negeri tapi memberikan penghakiman yang tidak pantas.


Ungkapan tidak nasionalisme terhadap mereka yang tinggal dan bekerja di luar negeri menimbulkan pertanyaan mendasar tentang apa Itu nasionalisme? Apakah nasionalisme itu terdefinisikan dengan tempat tinggal seseorang atau cara pandang dan sikap kepada bangsa dan negara? Apakah seseorang yang tinggal dan bekerja dalam negeri namun penuh dengan kejengkelan karena menghadapi sistem bernegara yang buruk itu nasionalisme? Atau tinggal dalam negeri sebagai pejabat,  menyelewengkan jabatan dan korupsi dengan merugikan bangsa dan negara disebut nasionalisme?


Intinya tuduhan tidak nasionalis kepada warga yang tinggal dan bekerja di luar negeri itu bodoh dan konyol. Saya termasuk yang sudah lama tinggal di luar negeri. Dalam hidup saya yang 58 tahun saat ini saya hanya 18 tahun tinggal di Indonesia. Itu pun semuanya hanya sebagai pelajar (SD-SMA). Belum pernah menikmati fasilitas negara, kecuali pernah bekerja sebagai staf di PTRI New York dengan gaji yang tidak cukup memenuhi kebutuhan sehari-hari. Namun saya selalu sampaikan di mana-mana sekiranya dada ini dibuka anda akan melihat “merah putih” di dalamnya.


Ada juga seorang (mantan) Menteri yang mengatakan bahwa tinggal di luar negeri hanya akan menjadi budak orang lain. Bahkan disebutkan secara khusus dengan penyebutan “budak kapitalis”. Tuduhan seperti ini juga menggambarkan kebodohan dan kepongahan dari seorang elit atau pejabat negara. Sungguh anak-anak bangsa bekerja di luar negeri sangat tidak benar berada pada posisi rendah dan hina seperti yang disebutkan itu. 


Saya berani mengambil contoh di Amerika saja karena di sinilah saya tinggal dan bekerja hampir tiga puluh tahun hingga saat ini. Di Amerika anda bekerja bahkan hanya sebagai pekerja restoran, anda dijamin UU untuk digaji minimal dengan gaji minimum $15 per jam. Jika anda bekerja 8 jam per hari, berapa penghasilannya dalam sehari? Selain itu hak-hak sipil terjaga, asuransi kesehatan dan hak-hak lainnya diatur dengan jelas di perundang-undangan.


Jika anda bekerja sebagai bawahan di Amerika anda tidak akan diperlakukan seenaknya oleh atasan dan institusi di mana anda bekerja. Apalagi jika anda menjadi bagian Union (Organisasi buruh). Atasan anda tidak seenaknya memperlakukan anda dan tidak “bossy” (berlagak bos) yang seringkali cenderung merendahkan pegawai. Atasan dan bawahan di Amerika tidak terlalu mencolok. Mental memperbudak dan diperbudak tidak terasa sebagaimana di tempat/negara lain.


Karenanya ungkapan kepada anak-anak bangsa yang bekerja dan tinggal di luar negeri itu “budak-budak” adalah kebodohan dan keangkuhan. Bahkan boleh jadi menggambarkan jika orang tersebut memiliki mentalitas memperbudak para pekerja dan bawahan. Terkadang ekspresi kata-kata merupakan cerminan kejiwaan. 

Intinya adalah jangan merendahkan nilai dan martabat anak-anak bangsa, bahkan yang sudah ganti paspor sekalipun, dengan tuduhan kurang nasionalisme dan memiliki mental budak. Khawatirnya justeru mereka yang berada dalam negeri yang tidak punya nasionalisme dengan berbagai korupsi dan pengangkangan kepentingan bangsa dan negara. Atau justeru mereka yang bekerja di dalam negeri seringkali diposisikan bagaikan budak oleh sesama. Sementara pekerja asing biasanya lebih dihormati dan dihargai.


Saudara-Saudara sesama putra-putrì bangsa di luar negeri memiliki jasa yang sangat penting. Bukan hanya sebagai pahlawan devisa seperti yang sering kita dengarkan. Tapi mereka sehari-hari adalah diplomat-diplomat bangsa dan negara yang tidak digaji. Mereka mempromosikan Indonesia dengan cara dan kapasitas masing-masing. Dan kecintaan kepada bangsa dan negara Indonesia tidak pernah pudar. Percaya! 


Kalau anda? 

Penulis adalah  Direktur Jamaica Muslim Center dan Presiden Nusantara Foundation


Berita Lainnya