Internasional

Siap Jadi Diaspora? Jerman Butuh 288.000 Pekerja Asing

Dani Tri Wahyudi — Satu Indonesia
27 November 2024 15:00
Siap Jadi Diaspora? Jerman Butuh 288.000 Pekerja Asing
Pekerja migran Indonesia di Jerman

JAKARTA - Angkatan kerja Jerman berisiko menyusut hingga 10% pada 2040 jika tidak ada langkah substansial untuk meningkatkan imigrasi tenaga kerja terampil. Studi yang dilakukan atas permintaan Bertelsmann Foundation ini mengungkapkan tanpa adanya sekitar 288.000 pekerja asing terampil yang masuk setiap tahun, jumlah angkatan kerja Jerman dapat menurun dari 46,4 juta saat ini menjadi 41,9 juta pada 2040. Angka ini diproyeksikan semakin anjlok menjadi 35,1 juta pada 2060.

Dampak Pergeseran Demografis

Menurut Susanne Schultz, pakar migrasi dari Bertelsmann, pergeseran demografis menjadi tantangan besar, terutama dengan hilangnya generasi baby boomer dari pasar tenaga kerja. Schultz menekankan bahwa meskipun optimalisasi potensi tenaga kerja lokal adalah solusi, imigrasi tetap menjadi kebutuhan utama untuk mengatasi krisis ini.

Dalam skenario pesimistis, studi memproyeksikan Jerman membutuhkan hingga 368.000 imigran terampil setiap tahun hingga 2040, sebelum menurun menjadi 270.000 per tahun hingga 2060. Schultz menyoroti bahwa hambatan administratif harus dihapus, dan Jerman perlu menawarkan insentif yang lebih menarik bagi para imigran.

Reformasi Hukum Migrasi

Pada 2023, Jerman telah mereformasi undang-undang migrasi tenaga kerja untuk mempermudah kedatangan pekerja asing terampil. Menteri Dalam Negeri Nancy Faeser menyebut kebijakan ini sebagai "undang-undang imigrasi paling modern di dunia."

Namun, laporan Bertelsmann Foundation menunjukkan reformasi hukum saja tidak cukup. Diperlukan budaya yang lebih inklusif dari otoritas lokal dan dunia usaha, serta adanya prospek tinggal jangka panjang bagi para imigran.

Diskriminasi 

Laporan ini juga mengutip pengalaman seorang pengungsi Suriah yang tiba di Jerman pada 2016. Setelah menyelesaikan pendidikan hingga tingkat magister dan bekerja di bidang IT, ia memutuskan pindah ke Swiss karena merasa mengalami diskriminasi sosial dan profesional di Jerman.

“Saya sudah memberikan yang terbaik agar diperlakukan setara, tetapi saya masih menghadapi penghinaan dan penolakan,” ujarnya. Ia menambahkan, "Saya ingin kesetaraan, tetapi saya tidak akan memohon untuk itu."

Menurut Schultz, kasus seperti ini mencerminkan kegagalan Jerman dalam mempertahankan tenaga kerja terampil yang sudah ada, yang dapat merugikan negara secara signifikan.

Dampak Penyusutan

Studi ini juga memprediksi dampak penyusutan angkatan kerja yang bervariasi antar wilayah. Negara bagian seperti Nordrhein-Westfalen diperkirakan mengalami penurunan hingga 10%. Wilayah dengan populasi lebih kecil seperti Thüringen, Sachsen-Anhalt, dan Saarland diprediksi akan lebih terdampak, sementara daerah kaya seperti Bayern dan Baden-Württemberg mungkin menghadapi dampak yang lebih ringan.

Namun, kota-kota besar seperti Hamburg dan Berlin, yang sudah memiliki populasi imigran cukup tinggi, diperkirakan lebih tahan terhadap krisis tenaga kerja ini.

Penelitian ini menegaskan Jerman perlu meningkatkan daya tariknya bagi tenaga kerja asing, bukan hanya dengan kebijakan, tetapi juga dengan menciptakan lingkungan yang lebih inklusif dan ramah. (dan)


Berita Lainnya