Opini
Reshuffle Prabowo: Tiga Pilar Jokowi-Mega-Barat Runtuh!

RESHUFFLE perdana Presiden Prabowo Subianto akhirnya pecah telur. Lima kursi menteri diganti sekaligus. Juga ada tambahan lahir satu kementerian baru: Menteri Haji. Bagi sebagian kalangan, bisa jadi reshuffle ini dianggap sekadar bongkar pasang biasa. Namun, bagi yang membaca tanda-tanda zaman, langkah ini sarat makna politik. Publik pun bertanya: apakah ini sekadar kosmetik, atau awal dari bersih-bersih besar-besaran?
Dari enam perubahan itu, ada tiga nama yang paling menyita perhatian: Budi Gunawan, Sri Mulyani, dan Budi Arie Setiadi. Mengapa? Karena mereka bukan sekadar menteri teknis. Mereka adalah simbol kekuatan besar: Jokowi, IMF/Bank Dunia, dan Megawati. Dicopotnya mereka berarti Prabowo menggoyang pilar-pilar utama rezim sebelumnya.
Tiga Pilar yang Tumbang
Budi Gunawan (BG) bukan pejabat biasa. Jejaknya panjang: pernah calon Kapolri, lalu dipercaya memimpin BIN, hingga terakhir menjabat Menkopolhukam. Dia dikenal sangat dekat dengan Ketum PDIP Megawati Soekarnoputri. Dicopotnya BG jelas bukan langkah remeh. Apakah ini sinyal kuat, bahwa Prabowo tak mau lagi ada pengendali dari luar dirinya? Prabowo ingin Menkopolhukam benar-benar jadi kepanjangan tangannya, bukan “rumah singgah” kepentingan partai besar.
Sri Mulyani punya posisi lebih rumit. Perempuan ini bukan hanya menteri keuangan. Ani, begitu dia biasa disapa, adalah ikon global: IMF dan Bank Dunia. Di jagat keuangan dunia, namanya sangat mentereng. Berkali-kali dia diganjar penghargaan sebagai Menteri Keuangan Terbaik Asia, bahkan dunia. Maklum, hobi ngutangnya dengan bunga super-tinggi banyak memberi keuntungan bagi investor global.
Ani di luar negeri memang dipuja-puji. Ditambah fungsinya sebagai sales promotion girl IMF dan Bank Dunia, perempuan ini benar-benar "angker". Namun di dalam negeri, dia sering dipandang sebagai wajah neoliberalisme: rajin menekan rakyat dengan pajak, tapi longgar pada utang dan rente. Apakah dicopotnya Sri Mulyani bisa dibaca sebagai keberanian Prabowo menghadapi Barat? Namun ini bukan tanpa risiko. Pasar bisa gelisah, utang bisa dipakai sebagai senjata tekan, bahkan nilai rupiah pun bisa diguncang.
Budi Arie Setiadi adalah “anak emas” Jokowi. Dia pemuja Jokowi garis keras. Kesetiaannya kepada finalis koruptor dunia versi OCCRP berbuah jabatan menteri. Dia jadi komandan pasukan digital istana, Menkominfo. Di tangannya, Kominfo lebih sering tampil sebagai benteng propaganda ketimbang institusi yang melayani publik. Dicopotnya Budi Arie ibarat tamparan keras ke Jokowi. Prabowo seperti hendak berkata: era laskar buzzer sudah selesai, Kominfo harus kembali ke fungsinya yang asli.
Heroik Tapi Riski?
Tiga figur ini jelas mewakili kekuatan besar. Budi Gunawan mewakili PDIP dan Megawati. Budi Arie mewakili Jokowi dan mesin politik digitalnya. Sri Mulyani merepresentasikan kepentingan Barat dengan IMF dan Bank Dunia di belakangnya. Menggeser mereka dalam satu paket reshuffle adalah langkah berani. Heroik. Jarang ada presiden yang berani sekaligus melawan Jokowi, Mega, dan Barat.
Namun keberanian itu tentu penuh risiko. Jokowi jelas tidak senang lingkarannya dipinggirkan. Megawati bisa membaca ini sebagai pelecehan politik. IMF dan Bank Dunia pun tak akan tinggal diam jika kepentingan mereka terusik. Tekanan bisa datang lewat kanal finansial, diplomatik, maupun jaringan opini global.
Selain itu, publik pun menaruh ekspektasi tinggi. Kalau reshuffle ini sekadar “show of force” untuk menegaskan Prabowo berdaulat, maka dia akan kehilangan momentum. Publik menuntut lebih: bukan hanya ganti orang, tapi juga ganti arah kebijakan. Dari ekonomi rente ke ekonomi kerakyatan. Dari diplomasi basa-basi ke diplomasi berdaulat. Dari politik transaksional ke politik pembebasan.
Reshuffle kali ini adalah reshuffle perdana. Langkah pertama dalam maraton panjang. Heroik, tapi riski. Semua bergantung pada konsistensi langkah berikutnya. Apakah ini akan berlanjut menjadi pembersihan total kabinet dari titipan asing dan oligarki? Ataukah berhenti di tengah jalan karena kompromi?
Prabowo kini berada di persimpangan sejarah. Jika konsisten, dia bisa dikenang sebagai presiden yang mengembalikan kedaulatan Indonesia. Tapi jika setengah hati, Prabowo akan dicatat hanya sebagai pewaris Jokowi dengan gaya berbeda.
Harapannya, reshuffle ini bukan klimaks. Ini adalah prolog. Bangsa ini terlalu lama dikendalikan asing dan oligarki. Saatnya presiden hadir sebagai pemimpin berdaulat, bukan boneka kompromi. Publik sudah menunggu. Sejarah tidak memberi banyak kesempatan kedua.
*Penulis adalah jurnalis senior dan aktivis sosial dan politik
#ReshufflePrabowo #SriMulyaniDicopot #BGLengser #BudiArieOut #KabinetMerahPutih #PrabowoVsBarat #PrabowoVsMega #EraBaruPrabowo #IndonesiaBerdaulat #SejarahPrabowo