Gaya Hidup
Peduli Kesehatan Penting agar Hidup Lebih Produktif
JAKARTA - Orang-orang yang tinggal di kota besar sering mengalami peningkatan tekanan mental akibat kemacetan, kepadatan penduduk, kebisingan, polusi, serta efek pandemi covid-19 yang memicu depresi dan kecemasan.
Kehidupan di kota besar dikaitkan dengan risiko depresi hampir 40 persen lebih tinggi dibandingkan mereka yang tinggal di perdesaan, sehingga penduduk kota lebih rentan mengalami gangguan jiwa, dari tingkat ringan hingga berat. Dampak buruk kehidupan perkotaan terhadap kesehatan fisik tidak hanya menyebabkan tingginya angka penyakit degeneratif, tetapi juga berdampak buruk pada kesehatan mental.
Risiko terkena gangguan mental seperti stres, kecemasan, dan depresi lebih umum terjadi di kota. Persentasenya 20 persen lebih tinggi pada penduduk kota dibandingkan mereka yang tinggal di luar kota. Risiko terkena gangguan kejiwaan berat seperti psikosis, yang melibatkan halusinasi, delusi, dan pikiran tidak teratur, 77 persen lebih tinggi pada penduduk kota dibandingkan penduduk desa. Risiko gangguan kecemasan umum, yang mencakup perasaan cemas dan khawatir, juga 21 persen lebih tinggi pada penduduk kota.
Selama pandemi covid-19 pada 2020, prevalensi kecemasan dan depresi global meningkat hingga 25 persen, menurut laporan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO). Laporan ini juga menyoroti dampak pandemi terhadap ketersediaan layanan kesehatan mental dan perubahan selama pandemi. Kekhawatiran tentang peningkatan kondisi kesehatan mental mendorong 90 persen negara yang disurvei untuk memasukkan dukungan kesehatan mental dan psikososial dalam respons covid-19, meskipun kesenjangan dan kekhawatiran masih ada.
“Informasi yang kami miliki saat ini tentang dampak covid-19 terhadap kesehatan mental dunia hanyalah puncak gunung es. Ini adalah seruan bagi semua negara untuk memberikan perhatian lebih terhadap kesehatan mental dan melakukan upaya yang lebih baik dalam mendukung kesehatan mental masyarakatnya," kata Direktur Jenderal WHO Dr. Tedros Adhanom Ghebreyesus.
Salah satu penyebab utama peningkatan masalah kesehatan mental adalah stres akibat isolasi sosial selama pandemi, yang menghambat kemampuan orang untuk bekerja, mencari dukungan dari orang yang dicintai, dan terlibat dalam komunitas mereka. Kesepian, ketakutan akan infeksi, penderitaan dan kematian diri sendiri dan orang yang dicintai, kesedihan setelah berkabung, serta kekhawatiran finansial juga disebut-sebut sebagai pemicu stres yang menyebabkan kecemasan dan depresi. Di kalangan petugas kesehatan, kelelahan menjadi pemicu utama pemikiran untuk bunuh diri.
Gangguan mental dari tingkat ringan hingga berat terjadi secara global, termasuk di Indonesia yang juga merasakan dampak pada sektor ketenagakerjaan akibat pemutusan hubungan kerja (PHK). Data dari Kementerian Ketenagakerjaan RI menunjukkan hingga 2,8 juta korban PHK di era pandemi covid-19, bahkan Kementerian Keuangan menyebutkan PHK mencapai angka hingga 5 juta orang.
Keseimbangan
Kesehatan fisik harus diimbangi dengan kesehatan jiwa yang baik agar hidup menjadi lebih tenang, tenteram, dan produktif. Namun, banyak masyarakat yang masih enggan menyadari dan peduli terhadap kesehatan jiwa mereka karena stigma dan atribut yang diberikan pada berbagai perilaku yang terkait dengan kesehatan mental.
Dr. Warih Andan Puspitosari, M.Sc., Sp.Kj. (K), dosen Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (FKIK UMY) yang juga praktisi kesehatan jiwa dan mental, mengingatkan dibandingkan dengan masalah kesehatan fisik, masalah kesehatan jiwa dan mental di Indonesia masih memiliki kesenjangan yang besar.
Layanan kesehatan jiwa atau masalah mental di Indonesia belum merata. Data menunjukkan 90 persen orang di Indonesia belum mendapatkan penanganan yang tepat untuk masalah mental mereka dalam enam bulan pertama, sehingga perlu peningkatan layanan kesehatan mental yang merata dan setara di Indonesia.
Penyakit mental belum diperlakukan selayaknya penyakit fisik yang secara normatif dianggap biasa untuk dibicarakan, dikeluhkan, dan diatasi dengan dukungan dari orang sekitar. Ketika seseorang merasa tidak nyaman secara fisik, mereka bisa mengeluh tentang badan pegal, kepala pusing, atau perut mulas tanpa merasa canggung atau malu. Namun, berbeda dengan keluhan kesehatan mental. Individu yang mengalami kecemasan berlebihan, perasaan sedih terus-menerus, atau bersikap temperamental hanya mengungkapkannya kepada orang yang sudah dipercaya.
Masyarakat umumnya mudah memvonis seseorang yang mengalami perubahan mental tanpa mencari tahu akar permasalahannya. Istilah-istilah terkait kesehatan mental yang sering muncul di kalangan generasi muda di media sosial sering kali disalahgunakan dan menyesatkan. Media sosial memiliki peran besar dalam membentuk persepsi masyarakat tentang penyakit mental, sering kali mengaburkan batas antara depresi berat dengan stres ringan atau kepanikan, hanya sebagai julukan untuk memberi kesan keren. Istilah-istilah seperti "toxic", "gaslight", "narcissist" sering digunakan secara tidak tepat oleh netizen.
Kesadaran masyarakat Indonesia terkait kesehatan mental cukup baik, terlihat dari banyaknya platform digital, organisasi, dan LSM yang bergerak di bidang kesehatan mental di kota-kota besar yang mengampanyekan "mental awareness". Kampanye dan sosialisasi tentang kesadaran dan kepedulian terhadap penyakit mental perlu digencarkan, khususnya di masyarakat perkotaan yang rentan terhadap tekanan kehidupan sehari-hari.
Masalah kesehatan jiwa atau mental adalah permasalahan serius yang harus menjadi perhatian dan kepedulian bersama, terutama setelah pandemi covid-19 yang berdampak besar terhadap kesehatan mental masyarakat. Hal ini menjadi pelajaran berharga untuk menyayangi, tidak hanya kesehatan fisik, tetapi juga kesehatan mental. (ant)