Internasional
KTT BRICS 2024, Vladimir Putin DKK Mulai Gerakan "Berantas" Dolar AS
JAKARTA - Presiden Rusia Vladimir Putin, bersama sejumlah negara memulai langkah untuk mengurangi ketergantungan pada dolar AS. Hal ini terlihat dari pelaksanaan Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) BRICS 2024 di Kazan, Rusia. KTT yang dimulai pada Selasa, dihadiri oleh beberapa sekutu utama Rusia. Kremlin berharap pertemuan ini menunjukkan kepada Barat upaya mengisolasi Rusia akibat perang di Ukraina telah gagal.
Sebanyak 20 pemimpin dunia hadir dalam KTT ini, termasuk Presiden China Xi Jinping, Perdana Menteri India Narendra Modi, Presiden Afrika Selatan Cyril Ramaphosa, Presiden Uni Emirat Arab Mohamed bin Zayed Al Nahyan, Presiden Iran Masoud Pezeshkian, dan Presiden Mesir Abdel Fattah el-Sisi. Selain itu, beberapa pengamat, seperti Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan dan Perdana Menteri Vietnam Pham Minh Chinh, turut hadir, bersama dengan Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres.
Sejak Rusia menginvasi Ukraina pada Februari 2022, negara itu terkena isolasi internasional. Negara-negara seperti Kanada, Uni Eropa, Jepang, dan Amerika Serikat memberlakukan sanksi ekonomi yang menargetkan bank, kilang minyak, dan ekspor militer Rusia. Putin juga mendapat surat perintah penangkapan dari Mahkamah Pidana Internasional (ICC), yang membatasi pergerakannya di negara-negara yang menandatangani Statuta Roma.
Pada 2023, Putin bahkan melewatkan KTT BRICS di Afrika Selatan karena tekanan untuk menahannya. Namun, pada KTT 2024 ini, Putin ingin menantang Barat dan mempromosikan konsep dunia multipolar sebagai tandingan hegemoni AS.
Sejak didirikan pada 2009, BRICS beranggotakan Brazil, Rusia, India, China, dan Afrika Selatan. Pada 2023, kelompok ini memperluas keanggotaan dengan masuknya Mesir, Ethiopia, Iran, Arab Saudi, dan UEA. Kini, BRICS mewakili sekitar 45% populasi dunia dan 25% PDB global, dengan potensi mengalahkan G20 dalam ramalan IMF.
Pertemuan ini mencerminkan kekecewaan banyak negara terhadap tata kelola global yang didominasi Barat, terutama dalam bidang ekonomi. Sanksi terhadap Rusia menimbulkan kekhawatiran di negara-negara berkembang bahwa AS dan sekutunya dapat menggunakan alat keuangan global untuk kepentingan geopolitik.
Ahli kebijakan luar negeri Turki, Asli Aydintasbas, mengatakan bahwa setelah perang di Gaza, Rusia dan China semakin efektif memanfaatkan sentimen anti-Barat dan memanfaatkan frustrasi negara-negara berkembang terhadap standar ganda Barat. Meskipun kekuatan menengah tidak ingin menggantikan dominasi AS dengan China, mereka terbuka untuk bersekutu dengan Rusia dan China demi membentuk dunia yang lebih terfragmentasi dan otonom.
Untuk mewujudkan hal ini, negara-negara BRICS berupaya mengurangi ketergantungan pada dolar AS dan sistem pembayaran SWIFT. Sejak 2023, muncul usulan untuk menciptakan mata uang BRICS, namun tren saat ini lebih condong ke penggunaan mata uang nasional masing-masing dalam perdagangan bilateral guna melindungi dari fluktuasi mata uang dan mengurangi ketergantungan pada dolar AS. Negara-negara seperti China, Turki, dan Brasil semakin berupaya merestrukturisasi cadangan dolar mereka dan beralih ke emas, sebagai langkah menuju kemandirian finansial yang lebih besar. (dan)