Nasional

Kejagung Sebut Tak Ada Politisasi Ciduk Tom Lembong

Dani Tri Wahyudi — Satu Indonesia
30 Oktober 2024 15:00
Kejagung Sebut Tak Ada Politisasi Ciduk Tom Lembong
Tom Lembong mengenakan rompi tersangka Kejagung

JAKARTA - Kejaksaan Agung (Kejagung) menyatakan penanganan kasus dugaan korupsi impor gula yang menjerat mantan Menteri Perdagangan periode 2015-2016, Thomas Trikasih Lembong atau Tom Lembong, telah dilakukan sejak 2023. Kejagung mengungkapkan alasan mengapa Tom Lembong baru dijadikan tersangka sekarang.

"Terkait pertanyaan mengapa baru sekarang, saya jelaskan bahwa penyidikan ini sudah dimulai sejak Oktober 2023, jadi sudah berjalan tepat satu tahun. Namun, setiap penanganan kasus memiliki karakteristik dan tingkat kesulitan yang berbeda, sehingga tidak bisa disamakan satu kasus dengan kasus lainnya," kata Kapuspenkum Kejagung, Harli Siregar, kepada wartawan pada Rabu (30/10/2024).

Menurut Harli, selama setahun terakhir, penyidik Kejagung terus mendalami kasus ini dengan mengumpulkan dan menganalisis bukti-bukti yang ada. "Sehingga bisa disimpulkan bahwa telah ada bukti permulaan yang cukup dalam kasus ini," ujarnya. Harli juga menegaskan bahwa tidak ada unsur politisasi dalam penanganan kasus ini dan bahwa proses hukum berjalan secara murni.

Dalam kasus dugaan korupsi impor gula periode 2015-2016 ini, dua tersangka telah ditetapkan, yaitu:

Thomas Trikasih Lembong atau Tom Lembong sebagai Menteri Perdagangan periode 2015-2016
Charles Sitorus, mantan Direktur Pengembangan Bisnis PT Perusahaan Perdagangan Indonesia (PT PPI)
Kasus ini melibatkan beberapa istilah terkait jenis gula, yaitu Gula Kristal Mentah (GKM) dan Gula Kristal Putih (GKP). GKM dan GKR (Gula Kristal Rafinasi) biasanya digunakan untuk produksi, sementara GKP bisa langsung dikonsumsi.

Berdasarkan peraturan yang ditandatangani Tom Lembong saat menjadi menteri Perdagangan, impor GKP hanya boleh dilakukan oleh BUMN dan harus sesuai dengan kebutuhan dalam negeri yang disepakati melalui rapat koordinasi antar-kementerian untuk menjaga ketersediaan dan stabilitas harga. Namun, pada tahun 2016, ketika stok GKP di Indonesia mengalami kekurangan, Tom Lembong diduga memberikan izin kepada perusahaan swasta untuk mengimpor GKM yang kemudian diolah menjadi GKP.

Tom Lembong disebut menandatangani surat penugasan kepada PT PPI untuk bekerja sama dengan pihak swasta dalam mengolah GKM impor tersebut menjadi GKP. Sebanyak sembilan perusahaan swasta terlibat dalam impor dan pengolahan ini, yaitu PT PDSU, PT AF, PT AP, PT MT, PT BMM, PT SUJ, PT DSI, PT MSI, dan PT KTM.

"Atas sepengetahuan dan persetujuan tersangka TTL (Thomas Trikasih Lembong), persetujuan impor GKM diberikan kepada sembilan perusahaan swasta. Seharusnya, untuk memenuhi stok dan menstabilkan harga, impor langsung dilakukan untuk GKP," kata Abdul Qohar, Direktur Penyidikan pada Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus.

Setelah GKM diolah menjadi GKP oleh perusahaan swasta, PT PPI seolah-olah membelinya. Namun, menurut jaksa, gula ini sebenarnya langsung dijual oleh perusahaan-perusahaan swasta kepada masyarakat melalui distributor dengan harga yang lebih tinggi dari Harga Eceran Tertinggi (HET), yaitu sekitar Rp3.000 lebih tinggi.

"Dari pengadaan dan penjualan GKM yang diolah menjadi GKP, PT PPI menerima fee sebesar Rp 105/kg. Kerugian negara akibat praktik ini diperkirakan mencapai sekitar Rp 400 miliar, yaitu keuntungan yang diperoleh perusahaan swasta yang seharusnya menjadi hak negara," jelas Abdul Qohar. (dan)


Berita Lainnya