Opini

Kedaulatan Islam vs Demokrasi Sekuler: Saatnya Kembali ke Piagam Madinah, Bukan Piagam Jakarta

Oleh: Ahmad Khozinudin, S.H.

Ahmad Khozinudin SH — Satu Indonesia
09 April 2025 15:26
Kedaulatan Islam vs Demokrasi Sekuler: Saatnya Kembali ke Piagam Madinah, Bukan Piagam Jakarta
Indonesia dengan bermodal Sila Pertama seharusnya sudah menjadi negara yang berlandaskan Agama karena Pancasila adalah identitas Bangsa Indonesia (Foto: Istimewa)

DITENGAH gonjang-ganjing politik, kerusakan moral elit, dan amburadulnya sistem bernegara, wacana “kembali ke UUD 45 asli” kembali mencuat. Salah satu yang konsisten mengusung narasi ini adalah Bang Hatta Taliwang lewat forum GWA Konstitusi dan Masalah Negara. Diskusi yang digelar pada Rabu, 9 April 2025, bersama sejumlah intelektual seperti Dr. Mulyadi S.Sos., M.Si., menggambarkan keresahan banyak pihak: Indonesia sedang tidak baik-baik saja.

Namun, benarkah solusi krisis multidimensi ini adalah menghidupkan kembali UUD 1945 dalam bentuk aslinya? Atau bahkan menghidupkan kembali Piagam Jakarta yang terkenal dengan frasa: “Ketuhanan, dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya”?

Piagam Jakarta: Solusi Semu yang Gagal Menjawab Akar Masalah
Bagi sebagian umat Islam, Piagam Jakarta seolah menjadi “kitab suci politik” yang wajib diperjuangkan. Namun kita harus jujur: frasa tersebut justru menyempitkan misi Islam sebagai rahmat untuk seluruh alam, bukan hanya agama untuk pemeluknya. Apakah Rasulullah SAW hanya menerapkan Islam kepada para sahabat Muslim di Madinah? Tidak. Syariat Islam diberlakukan bagi seluruh rakyat, tak peduli agamanya.

Sementara dalam sistem demokrasi sekuler warisan kapitalisme, syariat Islam dipaksa untuk dibatasi pada ruang-ruang pribadi: sholat, puasa, haji. Tapi ketika berbicara tentang hukum, ekonomi, politik, dan pendidikan—umat Islam malah dipaksa menunduk pada doktrin-doktrin Barat: Montesquieu, John Locke, hingga Adam Smith.

Demokrasi adalah Penjara Syariat
Demokrasi modern bukanlah netral. Ia lahir dari rahim ideologi sekuler kapitalisme yang menjadikan manusia sebagai sumber hukum, bukan Allah SWT. Demokrasi menjauhkan syariat dari ruang publik, menjadikan Islam agama ritual, bukan sistem hidup. Inilah akar masalah Indonesia, bukan sekadar perubahan redaksi UUD.

Solusi Sejati: Kembali ke Piagam Madinah
Alih-alih menghidupkan kembali Piagam Jakarta atau UUD 45 asli, kita harus menoleh jauh ke belakang—ke era Rasulullah SAW, saat negara dibangun atas fondasi wahyu, bukan suara mayoritas. Piagam Madinah adalah konstitusi tertulis tertua di dunia, mendahului Magna Charta. Ia mengakui pluralisme, tapi menegakkan supremasi hukum Islam sebagai aturan tunggal negara.

Kedaulatan pada Syariat, bukan Rakyat.


Rasulullah sebagai pemimpin tertinggi bukan karena suara terbanyak, tapi karena mandat wahyu.


Seluruh warga negara (Muslim dan non-Muslim) dilindungi dan diatur dengan keadilan Islam.


Waktunya Umat Islam Bangkit
Sudah terlalu lama umat Islam menjadi "Muslim Dzimmi" di negeri sendiri—tunduk pada sistem sekuler yang membelenggu. Waktunya umat Islam bangkit sebagai Muslim Kaffah yang menuntut diterapkannya syariat secara menyeluruh. Dengan ilmu, strategi, dan perjuangan intelektual, arah perubahan bisa dibentuk—bukan dengan nostalgia romantik terhadap UUD 45, tapi dengan visi ke depan: kembali kepada Islam secara total.

Islam dan demokrasi, Piagam Jakarta vs Piagam Madinah, solusi krisis Indonesia, syariat Islam dalam negara, Khilafah Indonesia, kritik demokrasi sekuler, ideologi kapitalisme, umat Islam tertindas

Penulis adalah Advokat, Aktifis Sosial dan Koordinator Tim Advokasi Melawan Oligarki Rakus Perampas Tanah Rakyat (TA-MOR-PTR)


#KembaliKePiagamMadinah #SyariatSolusiKrisis #IslamAdalahSistemHidup #TolakDemokrasiSekuler #BangkitkanKhilafah #UmatIslamBersatu #IndonesiaTanpaKapitalisme #BukanPiagamJakartaTapiPiagamMadinah #GagasanIslamBangkit


Berita Lainnya