Pilkada 2024

Ke Depan Harus Ada Sanksi Koalisi Parpol yang Usung Calon Tunggal

Dani Tri Wahyudi — Satu Indonesia
01 September 2024 16:00
Ke Depan Harus Ada Sanksi Koalisi Parpol yang Usung Calon Tunggal
Massa yang tergabung dalam Gabungan Pergerakan Rakyat Amankan Konstitusi membentangkan poster tulisan saat unjuk rasa di Kantor DPRD Kota Solo, Jawa Tengah, Senin (26/8/2024). ANTARA FOTO/Mohammad Ayudha/rwa.

JAKARTA - Ketua The Constitutional Democracy Initiative Kholil Pasaribu, menyatakan keberadaan calon tunggal dalam pemilihan kepala daerah (pilkada) tidak bisa dianggap wajar dan perlu dibenahi ke depannya.

"Meskipun keberadaan calon tunggal sah dan konstitusional, ini bukan cara terbaik dalam menghargai kedaulatan rakyat serta membangun demokrasi yang sehat," ujar Kholil di Jakarta pada Minggu.

Kholil mengusulkan tiga langkah pembenahan yang perlu dilakukan. Pertama, Undang-Undang Pilkada harus mencakup aturan ambang batas maksimal untuk persentase jumlah suara partai atau gabungan partai. Menurut Kholil, Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 60/PUU-XXII/2024 hanya mengatur ambang batas minimal persentase perolehan suara partai atau gabungan partai. Dengan adanya pengaturan ambang batas maksimal, diharapkan akan membatasi terjadinya penumpukan partai dalam satu koalisi pencalonan.

Kedua, perlu adanya sanksi bagi partai atau gabungan partai yang sebenarnya memenuhi syarat untuk mengajukan pasangan calon namun memilih untuk tidak mengajukannya. "Ketentuan ini seharusnya sama seperti dalam pengajuan pasangan calon dalam pemilihan presiden," kata Kholil.

Ketiga, dia menekankan pentingnya penataan ulang soal keuangan politik agar biaya politik yang harus ditanggung oleh calon, partai, atau gabungan partai lebih rasional dan dapat dipertanggungjawabkan.

Kholil mengakui bahwa putusan MK yang menyederhanakan ambang batas pilkada telah berdampak pada penurunan jumlah calon tunggal dalam pilkada serentak tahun ini. Hingga penutupan masa pendaftaran pasangan calon Pilkada 2024 pada 29 Agustus, terdapat 43 daerah dengan calon tunggal dari 545 daerah, atau sekitar 7,89 persen.

Jika dibandingkan dengan pelaksanaan pilkada serentak sejak 2017–2020, yang jumlah daerahnya sama dengan tahun ini, total calon tunggal sebelumnya adalah 50 daerah atau setara 9,17 persen. "Artinya, terjadi penurunan sebesar 1,28 persen dalam jumlah daerah dengan calon tunggal di Pilkada 2024," katanya.

Kholil menyebut penurunan ini sebagai hal positif, karena semakin sedikit daerah yang memiliki calon tunggal, semakin baik bagi masyarakat dan lebih sehat bagi demokrasi. "Hak konstitusional warga untuk mendapatkan banyak alternatif calon pemimpin mereka terpenuhi. Bagaimanapun, masyarakat di daerah tersebutlah yang akan merasakan dampak dari hasil pemilihan setidaknya untuk lima tahun ke depan," jelasnya.

Kholil menambahkan bahwa putusan MK memang mempengaruhi peta pencalonan kepala daerah, meski pengaruhnya belum meluas ke banyak daerah. (ant)
 
 


Berita Lainnya