Opini
Empat Capres di 2024, Siapa yang Diuntungkan?
APAKAH masih dimungkinkan munculnya capres X sebagai alternatif dari 3 capres yang sudah banyak beredar saat ini? Jawabnya, "anything possible"...semua bisa terjadi. Sehebat-hebatnya penguasa saat ini untuk mengatur bakal capres hanyalah 2 orang, yang keduanya dari kubu penguasa saja, namun kepentingan pragmatis partai akan selalu bisa muncul di injury time (detik-detik terakhir), yang akan menghapus mimpi-mimpi penguasa.
Pemerintahan Jokowi ibarat perjalanan sebuah kereta menuju pemberhentian terakhir. Para penumpang sedang bersiap siap untuk turun karena sudah sampai di tujuan dan ada yang menyambung naik kereta lainnya untuk sampai ke tujuan akhirnya. Demikian pula dengan partai-partai politik dan pendukungnya, semua bersiap untuk meninggalkan kereta Jokowi dan pindah kereta lain yang akan membawa mereka ke tujuan masing-masing.
Hingga saat ini, calon presiden yang sudah dideklarasikan oleh partai pengusungnya dan memenuhi syarat Presidential Threshold (PT)20% atau 115 kursi di DPR adalah Anies Baswedan, yang diusung oleh partai Nasdem, partai Demokrat dan PKS dengan total 163 kursi. PDIP dan PPP bersama sama mendukung Ganjar Pranowo dengan jumlah kursi 147.
Partai Gerindra sudah menetapkan Prabowo Subianto sebagai capres dan menggandeng PKB sehingga mempunyai jumlah kursi 136 untuk mencukupkan syarat PT tersebut. Tetapi, sekalipun koalisi ini sudah membentuk Sekretariat Bersama (SekBer), namun hingga kini belum juga mendeklarasikan secara bersama-sama untuk mencalonkan Prabowo Subianto.
Dua partai lainnya yaitu partai Golkar dan PAN, masih belum menentukan sikap kemana arahnya. Setelah PPP bergabung dengan PDIP praktis Koalisi Indonesia Bersatu sudah tidak bersatu lagi. Namun demikian partai Golkar dan PAN bisa saja berkoalisi dan memberi dukungannya kepada Capres X karena gabungan kursi kedua partai tersebut berjumlah 128 kursi, melampaui ketentuan syarat presiden.
Pertanyaannya, siapakah kandidat koalisi Golkar dan PAN? Nama yang kuat muncul di permukaan adalah Airlangga Hartarto, Ketua Umum Golkar, Menko Ekonomi di pemerintahan Jokowi. Apakah mungkin muncul kejutan nama lainnya? Tentu saja semua kemungkinan tersebut bisa terjadi. Bila Golkar dan PAN yang termasuk koalisi besar penguasa mau membuat new branding sebagai koalisi yang terlepas dari pemerintahan saat ini, bukan mustahil akan menawarkan nama yang menjadi antitesa dari penguasa.
Gatot Nurmantyo misalnya, bisa jadi alternatif sebagai antitesa penguasa. Setelah orasi kebangsaannya baru baru ini, yang dengan tajam mengkritik pemerintahan Jokowi dan menghimbau agar TNI dan Ulama bergerak bersama-sama melawan kedzoliman, nama Gatot Nurmantyo semakin menarik perhatian publik.
Ada juga Rizal Ramli, yang terus gencar mengkritik kebijakan kebijakan ekonomi pemerintah. Rekam jejaknya dalam menangani krisis ekonomi di era Gus Dur dijadikan bukti kemampuannya untuk bisa menyelesaikan isu-isu ekonomi saat ini. Alternatif Capres ini bisa terjadi bila rakyat menunjukkan keinginan yang besar akan perubahan arah kebijakan yang sejauh ini lebih berorientasi pada kepentingan pengusaha daripada kepentingan rakyat. Hadirnya 4 calon presiden tentu saja mengubah konstelasi perpolitikan nasional kedepannya.
Apakah hadirnya 4 calon presiden tersebut lebih menguntungkan rakyat? Bisa iya, bisa tidak. Selama rakyat/pemilih hanya dijadikan objek dalam pemilu, atau lebih tepatnya selama rakyat/pemilih belum menempatkan posisinya sebagai pemegang kedaulatan tertinggi dalam negara, siapapun yang menjadi pemimpin tidak akan merubah status pemilih sebagai penggembira dalam setiap pemilu.
Bagaimana dengan oligarki politik dan ekonomi yang semakin menggurita belakangan ini? Empat calon presiden tentu saja memecah fokus mereka, sehingga sulit bagi oligarki untuk melanggeng dengan mudah menguasai salah satu calon tersebut. Oligarki ekonomi akan terbebani dengan biaya yang semakin besar, karena dalam politik tidak ada "makan siang gratis". Oligarki ekonomi akan all out, mengerahkan segala daya dan upaya, yang bahkan menghalalkan segala cara demi melindungi kepentingan usahanya. Bisa jadi oligarki bermain di semua capres melalui proxy-nya masing masing, sehingga siapapun yang menjadi Presiden kepentingan mereka tetap terlindungi. Ini adalah hal normal dalam perpolitikan.
Untuk itulah dirasa penting adanya sistem yang bisa melindungi hak konstitusional rakyat dan meredam kekuatan kekuatan oligarki tersebut, khususnya yang jahat, untuk dimintai pertanggungjawabannya oleh rakyat sebagai pemilik kedaulatan, baik langsung maupun melalui perwakilannya di DPR. Forum Tanah Air (FTA), suatu komunitas diskusi yang mewadahi aktivis-aktivis di luar negeri (diaspora) dan juga aktivis-aktivis di dalam negeri dari 38 provinsi dan sekitar 200 kabupaten/kota (data per Juni 2023), terus memperjuangkan hal ini melalui 10 tuntutan perubahan politik dan ekonomi dalam Manifesto Politik FTA.
Keadaan perpolitikan semakin mengkhawatirkan bila politisi dan partai politik kehilangan kepercayaan dari rakyat/pemilih untuk menjadi wakil wakil rakyat yang memperjuangkan kepentingan rakyat, baik di legislatif maupun eksekutif. Ini tidak terlepas dari peran para elite sendiri yang tidak memperlakukan rakyat/pemilih sebagai pemegang kedaulatan. Rakyat hanya diperlukan suaranya sekali dalam 5 tahun, sebagai syarat dalam setiap pemilu.
Faktor lainnya masih banyak rakyat yang belum sadar bahwa rakyatlah yang menjadi penentu arah dari bangsa dan negara ini kedepan, dengan cara memilih wakil wakilnya yang punya integritas, moralitas dan intelektualitas, bukan hanya mengandalkan elektabilitas saja, yang kadang hanya berupa dukungan semu. Minimnya literasi politik rakyat seakan dibiarkan oleh para elite agar mudah bagi mereka untuk menjadikan rakyat sebagai objek dalam perpolitikan nasional, cukup dengan membagikan sembako dan uang, suara rakyat akan menjadi milik mereka.
Untuk itu pemilih dituntut berpikir dengan cara cara yang extra ordinary, out of the box, di luar kebiasaan yang ada selama ini. Membuat kontrak sosial tertulis antara pemilih dan yang dipilih menjadi alternatif yang harus ditempuh oleh rakyat agar bisa mengeksekusi hak hak politiknya. Dukungan rakyat/pemilih yang tertuang dalam kontrak sosial tertulis akan memberikan deterrent effect (efek jera) kepada para elite dan oligarki yang hanya punya agenda tersendiri bagi kelompoknya. Suka atau tidak, kontrak sosial tertulis tentu punya konsekuensi politik dan bahkan hukum bagi para elite politik.
Kalaulah rakyat menyadari posisinya sebagai pemegang kedaulatan tertinggi dalam negara demokrasi tentu para elite, politisi dan oligarki akan berpikir berkali kali untuk mengkadalin rakyatnya sendiri. Rakyat dan pemilih yang cerdas akan otomatis mengubah kualifikasi kandidat yang akan duduk di DPR, atau kandidat calon kepala daerah, hingga kandidat calon presiden.
Calon calon pemimpin tersebut akan tersaring dengan sendirinya dan terpilih sesuai kebutuhan rakyatnya. Pemimpin-pemimpin berkualitas lahir dari pemilih yang cerdas, sehingga diharapkan mampu mengemban tugas dan amanah yang dibebankan di pundak mereka. Salam perjuangan dari New York. (penulis adalah Aktivis Forum Tanah Air - FTA)