Pemilu 2024
Cukupkan sampai di Sini
ADA tiga peristiwa politik terjadi dalam beberapa hari ini, yang menggambarkan situasi pada tiga kekuatan politik negeri ini. Ada apel Akbar Partai Nasdem sebagai salah satu parpol pengusung Anies Baswedan lewat Koalisi Perubahan. Kemudian ada dua politisi senior PDIP yang justru menempatkan Prabowo Subianto di posisi istimewa, bukan jagoan parpolnya, Ganjar Pranowo. Terakhir, ada pelantikan menteri dan wakil menteri Kabinet Indonesia Maju yang sulit dipungkiri tidak bebas dari kepentingan pemenangan pilpres 2024.
Kabar akan dilantiknya Ketua Umum relawan Joko Widodo, Pro Jokowi (Projo), Budi Arie Setiadi agak mengernyitkan dahi. Walau ia sedang menjabat Wakil Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal (Wamendes PDTT). Namun untuk kemudian menjadi Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo) menjadi pertanyaan besar, terkait posisi strategis kementerian itu dalam penguasaan infrastruktur komunikasi, khususnya platform digital.
Bayangkan saja, seorang ketua relawan pemenangan pilpres memegang kendali atas sebuah infrastruktur teknologi resmi negara beserta hak membuat kebijakan atas nama negara, yang dengan kekuasaannya, dapat mengontrol, mengendalikan, bahkan membungkam platform atau channel penghantar sebuah pesan. Sementara platform digital merupakan pilihan utama masyarakat saat ini dalam penyebaran pesan sebagai upaya mengubah perilaku dan sikap, terutama dalam menghadapi pesta demokrasi 2024.
Sementara wakil menterinya adalah Nezar Patria, yang sebelum dilantik, sebagai staf khusus menteri BUMN Bidang Komunikasi. Bahkan Nezar Patria yang juga komisaris independen Pegadaian itu, mewakili bosnya, Erick Thohir, baru saja melaporkan Tempodotco ke Dewan Pers, atas sebuah konten yang dinilai melanggar Kode Etik Jurnalistik (KEJ). Belakangan, Dewan Pers memenangkan Erick Thohir dan menyatakan konten Tempodotco melanggar KEJ.
Presiden Jokowi tentu mendengar obrolan kritis di luar istana atas penunjukan Budi Arie Setiadi dan Nezar Patria memegang kementerian strategis pemenangan pilpres itu, sehingga ia pun kemudian menegaskan bahwa, dibutuhkan gerakan cepat dalam mengatasi urusan proyek Base Transceiver Station (BTS) yang terbengkalai. Sehingga perlu orang yang berpengalaman di bidangnya, khususnya media. Jokowi ingin Budi bersama Nezar Patria mengikuti perkembangan global, khususnya kedaulatan data.
Pelantikan jajaran Kabinet Indonesia Maju kali ini pun disebut-sebut sebagai gerbongnya Erick Thohir. Sehingga menguatkan sinyal ke arah bakal bersandingnya Prabowo Subianto dan Erick Thohir di pilpres 2024. Walau Jokowi adalah petugas partai PDIP, namun Jokowi disebut-sebut membentuk kekuatan baru dengan calon presidennya, Prabowo Subianto. Sebuah kekuatan non PDIP, yang tak ingin kenikmatan selama dua periode ini lepas begitu saja.
Sekretaris Jenderal DPP PDIP Hasto Kristiyanto sebenarnya sudah membantah, dengan menyebutkan Jokowi konsisten dalam mengusung Ganjar Pranowo sebagai capres pada Pilpres 2024. Menurut Hasto, PDI Perjuangan sudah memutuskan apa yang sudah dilakukan oleh Jokowi akan dilanjutkan Ganjar Pranowo. Arahan Jokowi sebagai kader partai pada Rakernas 3 pun tegas, agar mengawal Ganjar untuk memenangkan Pilpres 2024.
Entahlah, tampaknya bantahan Hasto belum cukup meyakinkan publik tentang sikap patuh Jokowi pada PDIP. Karena sejumlah langkah dan sikap Jokowi tetap dibaca publik bahwa Jokowi mengarahkan dukungannya kepada Prabowo, yang diyakini akan memasangkannya dengan Erick Thohir. Salah satunya adalah sikap Budi Arie Setiadi. Sebagai penanggung jawab Musyawarah Rakyat (Musra), ia dengan tegas mendukung Prabowo.
Di PDIP yang sejauh ini baru berkoalisi dengan Partai Persatuan Pembangunan (PPP), drama politiknya diwarnai dengan aksi dua kader seniornya, yakni Budiman Sudjatmiko dan Effendi Simbolon yang memberi panggung bagi Prabowo, bukan Ganjar. Memberi sinyal dukungan kepada Prabowo, bukan Ganjar.
Kader sekelas Effendi Simbolon dan Budiman Sudjatmiko, bukanlah kader kaleng-kaleng, baik dalam perannya sebagai politisi maupun kedekatan dengan Megawati Soekarnoputri, ketua umumnya. Mereka taklah sehari dua baru jadi politisi moncong putih, yang setiap tindakannya tentu penuh perhitungan politik, khususnya terhadap Ibu ketum, Megawati.
Effendi sempat menyatakan keinginan agar Indonesia dinakhodai pemimpin yang andal. Dia menilai kriteria itu ada pada Prabowo Subianto. Menurut Effendi, Indonesia memerlukan pengganti Presiden Jokowi yang mampu berkompetisi di dunia internasional dan menjalin keharmonian dari Aceh hingga Papua. Jujur, secara pribadi, kata Effendi, ia berharap Indonesia dinakhodai pemimpin yang punya keandalan, dan melihat figur itu ada di Prabowo.
Walau belakangan Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto sekonyong-konyong meradang dan memanggil Effendi, toh hanya berakhir dengan pengumuman bahwa Effendi telah memberikan klarifikasi. Menurut Hasto, sebagai sosok kader yang taat terhadap keputusan Megawati, Effendi, berkomitmen akan berjuang memenangkan calon presiden dari partai mereka, Ganjar Pranowo. Done!
Terhadap Budiman Sudjatmiko pun tampaknya juga akan berakhir demikian. Sehingga tak salah jika kemudian publik menilai, langkah kedua kader senior PDIP ini telah mendapat restu dari Megawati.
Kemudian muncul pertanyaan, restu dengan tujuan apa? Namanya juga politik, siyasah, bersiasat, adalah lazim membangun komunikasi, menciptakan peluang, untuk memperoleh yang terbaik sesuai kepentingan. Terlebih di tengah ancaman elektabilitas Anies Baswedan yang terus menguat, begitu juga Prabowo. PDIP tentu harus berpikir keras, bermanuver, mengerahkan segala jurusnya untuk mempertahankan kekuasaannya.
Jadi, untuk pendukung Ganjar Pranowo, jangan bersenang hati dulu. Ganjar bukanlah harga mati. Harga mati itu adalah elektabilitas. Siapa di posisi tertinggi pilihan rakyat dengan sebutan elektabilitas, dialah yang berpeluang mendapat dukungan partai politik.
Maka, bisa saja pada akhirnya Megawati memutuskan Prabowo-Ganjar, atau bahkan sama sekali tanpa Ganjar. Kalau Ganjar-Prabowo rasanya tidak mungkin. Kecuali Prabowo mau menurunkan lagi posisi dirinya setelah sempat ‘mengalah’ atas nama kepentingan bangsa dan negara, menjadi menteri Jokowi, lawan politiknya di Pilpres 2019 lalu.
PDIP tengah gerah menghadapi keadaan karena calonnya kurang ‘menggigit’, sementara elektabilitas Anies dan Prabowo terus melambung tinggi. Sehingga masih harus mencari kemungkinan-kemungkinan lain untuk tetap menjadi pemenang’.
Itu tadi situasi di genk Jokowi dan PDIP. Lantas, bagaimana yang terjadi di koalisi perubahan?
Apel akbar Partai Nasdem di GBK akhirnya pekan lalu menjawabnya. Anies yang disebut-sebut bakal mengumumkan nama calon wakil presidennya pada apel akbar tersebut, ternyata hanya menyampaikan pesan politik lewat doa. Apel akbar pun terasa hambar. Padahal publik menunggu-nunggu pengumuman nama cawapres Anies.
Sebenarnya Anies sudah mengantongi nama cawapres. Kabarnya, ia adalah seorang ketua partai yang berasal dari sebuah organisasi Islam besar. Namun karena khawatir akan “di-Johnny G Plate-kan”, pengumuman pun ditunda hingga jelang pendaftaran ke Komisi Pemilihan Umum (KPU).
Drama politik, bongkar pasang strategi menuju 2024 masih terus akan kita saksikan. Sah-sah saja, sepanjang tak melanggar etika dan hukum. Sebagai rakyat, kewajiban kita mengawal Pemilu ini untuk menjadi pesta demokrasi yang bersih. Jangan sampai aparat negara memanfaatkan kekuasaan dan fasilitas negara untuk kepentingan kelompoknya. Jangan sampai kecurangan dan kekotoran kembali terjadi. Cukupkan sampai di sini! (penulis adalah pemimpin redaksi satuindonesia.co)