Internasional

Akhir Junta Myanmar Sudah Dekat?

Redaksi — Satu Indonesia
26 November 2023 11:45
Akhir Junta Myanmar Sudah Dekat?
Pemimpin junta Myanmar, Jenderal Senior Min Aung Hlaing saat menghadiri parade militer memperingati 78 tahun angkatan bersenjata Myanmar di Naypyidaw, Myanmar, pada 27 Maret 2023. (Foto: ANTARA)

JAKARTA - Sebuah pertemuan antara para pemangku kepentingan dalam konflik Myanmar telah digelar di Jakarta dari 20 sampai 22 November 2023.

Pertemuan itu dihadiri wakil-wakil gerakan "Spring Revolution", termasuk Pemerintah Persatuan Nasional (NUG), mitra runding dari otoritas pemerintah Dewan Administrasi Negara (SAC) bentukan junta, Organisasi-organisasi Etnik Bersenjata (EAO) yang menandatangani perjanjian gencatan senjata yang biasa disebut kelompok PPST, dan Laos yang menjadi Ketua ASEAN 2024.

Dengan demikian, wakil-wakil dari tiga aktor utama konflik Myanmar, baik dari kubu junta pimpinan Jenderal Min Aung Hlaing, kubu oposisi, maupun kelompok etnik, sama-sama hadir di Jakarta.

Kantor Utusan Khusus ASEAN untuk Myanmar menyebutkan pertemuan diadakan terpisah berdasarkan tiga kelompok besar itu, dengan tujuan membawa mereka berdialog secara inklusif.

Ini perkembangan yang menggembirakan setelah selama dua tahun ASEAN sulit mempertemukan pihak-pihak bersengketa di Myanmar.

Perkembangan baru itu bukan tanpa sebab. Salah satu sebab adalah situasi perang yang berubah, setelah rangkaian kekalahan besar dialami tentara pemerintah atau Tatmadaw, sejak akhir Oktober lalu.

Pendulum perang yang mulai berubah itu menciptakan titik balik dalam konflik Myanmar di mana militer luas diberitakan sudah tak lagi berada di atas angin.

China, India, dan Thailand yang berbatasan dengan Myanmar telah lama melihat gejala itu.

China, bahkan direpotkan oleh arus pengungsian dan pelanggaran lintas batas akibat eskalasi konflik di Myanmar, sampai belakangan mendorong negara itu menggelar latihan militer dekat perbatasan China-Myanmar.

Awal pembalikan besar itu terjadi pada 27 Oktober 2023, ketika sebuah aliansi kelompok etnik bersenjata bernama "Aliansi Tiga Persaudaraan" secara terkoordinasi menyerang pos-pos militer di negara bagian Shan di Myanmar utara yang berbatasan dengan China.

"Operasi 1027" yang dinamai dari tanggal 27 Oktober itu membuat junta kehilangan sejumlah kota dan basis pertahanan.

​​​​​Naypyidaw terancam

Aliansi Tiga Persaudaraan, terdiri dari Tentara Aliansi Demokratis Nasional Myanmar (MNDAA), Tentara Pembebasan Nasional Ta’ang (TNLA), dan Tentara Arakan (AA).

MNDAA beroperasi di Kokang, sedangkan TNLA beroperasi di Distrik Tawngpeng. Keduanya masuk wilayah Shan.

Sementara AA beroperasi di negara bagian Rakhine di Myanmar barat, yang berbatasan dengan Bangladesh.

Aliansi itu sukses memukul pasukan pemerintah dan menduduki sejumlah kota serta pos militer. Mereka juga menyita alat-alat perang yang ditinggalkan Tatmadaw.

Namun, bagian paling dahsyat dari serangan terkoordinasi itu adalah dampaknya yang berantai terhadap kelompok-kelompok anti-junta yang lain, termasuk sayap militer NUG.

Mereka kini menjadi saling merekatkan diri ketika saat bersamaan pasukan junta mengalami demoralisasi dan semakin tidak populer di mata rakyat Myanmar.

Operasi 1027 itu dilanjutkan dengan serangan pasukan etnis Karen di negara bagian Kayah di Myanmar tenggara yang berbatasan dengan Thailand. Pada 7 November pemberontak Karen melancarkan "Operasi 1107."

Sehari setelah itu, Tentara Arakan menyerang Tatmadaw di Rakhine. Pada hari yang sama kelompok etnis bersenjata di negara bagian Chin yang berbatasan dengan Bangladesh dan India, juga melancarkan operasi militer sampai berhasil menduduki sejumlah wilayah di Chin.

Menurut The Eurasian Times, total luas wilayah yang diduduki kelompok-kelompok etnik bersenjata di seantero Myanmar, sudah mencapai 8.000 km per segi. Pasukan anti-junta kini mengincar kota-kota besar, seperti Yangon dan Mandalay.

Mereka bergerak demikian leluasa karena didukung luas oleh rakyat yang sudah muak terhadap junta, termasuk penduduk etnis mayoritas Bamar.

Junta Myanmar pun cemas, sampai merasa sudah tak aman lagi berada di Naypyidaw, sehingga ibu kota Myanmar itu dijaga lebih ketat lagi.

Menurut laman berita Myanmar, The Irrawaddy, pertempuran sengit di ibu kota negara bagian Kayah di Loikaw yang berjarak hanya lima jam dari Naypyidaw, mendorong junta menambah kekuatan di Ibu Kota Myanmar itu dengan 14.000 tentara tambahan.

Pasukan tambahan itu didatangkan dari Mandalay, Bago, dan Yangon, yang juga terancam pasukan pemberontak. Penduduk tiga kota ini kabarnya sudah diminta tetap di rumah oleh pasukan pemberontak.

Aparat keamanan Myanmar sendiri diam-diam membangun bunker di Naypyidaw, sedangkan pos-pos polisi dipasangi barikade beton, kantong pasir dan material lain guna menangkal kemungkinan serangan pasukan oposisi ke Ibu Kota Myanmar itu.

The Irrawaddy juga menyebutkan junta berencana memobilisasi pegawai negeri dan purnawirawan sebagai kekuatan tambahan. Junta membantah keras semua itu, kendati sudah menyebar luas secara online.

Demiliterisasi tatanan sipil

Situasi Myanmar semakin kritis, sampai Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) pun mengungkapkan eskalasi konflik Myanmar sejak "Operasi 1127" sangat besar, baik dari skala maupun cakupan geografinya.

Mengutip laporan The Guardian, PBB menyimpulkan junta kini kesulitan menghadapi perlawanan bersenjata yang semakin luas dan terkoordinasi di seluruh Myanmar. Presiden Myanmar Myint Swe sendiri menyatakan negaranya terancam terpecah belah, jika aparat tidak segera bertindak.

Situasi-situasi ini mungkin menjadi faktor yang memaksa pihak-pihak yang bertikai, termasuk junta, masuk meja perundingan. Lain hal, kubu oposisi semakin percaya diri, sehingga bisa menjadi pihak yang mengendalikan syarat-syarat perundingan.

Situasi Myanmar itu sendiri tak lepas dari faktor China. Sejumlah kalangan menilai pendulum perang yang berubah itu tak akan terjadi tanpa lampu hijau China kepada pemberontak.

China yang juga menyokong junta, disebut-sebut sudah tak sabar melihat ketidakberhasilan junta menciptakan stabilitas di Myanmar, padahal faktor ini penting karena membuat China bisa memastikan keamanan kepentingan-kepentingannya di Myanmar, termasuk jalur pipa minyak yang membentang dari China selatan hingga perairan Myanmar di tepi Samudera Hindia.

Di sisi lain, momentum yang sedang berpihak kepada kekuatan-kekuatan anti-junta, bisa menciptakan masalah baru di Myanmar.

Mereka bersatu saat ini, namun begitu junta tumbang, bisa jadi persaingan antarkelompok kembali muncul ke permukaan.

Situasi seperti itu bisa membuat Myanmar dihadapkan kepada disintegrasi, yang tak hanya merugikan Myanmar, tapi juga kawasan, khususnya masalah pengungsi.

Saat ini saja, China, Thailand, dan India menghadapi masalah arus pengungsi dari Myanmar yang meninggalkan negaranya demi menghindari perang yang kian ganas.

Untuk itu, ASEAN perlu mencegah kecenderungan itu dengan menyiapkan skenario pascaperang untuk memastikan Myanmar tetap bersatu dan inklusif.

Diharapkan dengan cara begitu Myanmar bisa stabil yang pada gilirannya mendorong ASEAN stabil, sehingga bisa menyikapi segala situasi global yang semakin rumit saja dengan baik dan solid.

Myanmar yang memiliki wilayah terluas kedua di Asia Tenggara setelah Indonesia harus dihindarkan dari disintegrasi, dengan membunuh bibit-bibit perpecahan sejak dini.

Salah satu bibit perpecahan itu adalah militerisasi politik di sana. Untuk itu, membarikade militer untuk tak lagi mengurusi politik dan tatanan sipil di Myanmar seperti diinginkan bagian terbesar rakyat Myanmar, adalah keniscayaan. (ant)

 


Berita Lainnya