Bisnis
Akhir Cerita Sritex, Raksa Tekstil Indonesia yang Tenggelam karena Utang
JAKARTA - PT Sri Rejeki Isman Tbk (Sritex), raksasa tekstil Indonesia, dinyatakan pailit oleh Pengadilan Negeri Semarang setelah gagal memenuhi kewajiban pembayaran kepada kreditur. Sritex, yang pernah berjaya sebagai pemasok seragam militer untuk NATO dan militer Jerman, kini menghadapi masalah keuangan serius. Hingga Juni 2024, perusahaan ini memiliki utang sebesar USD 1,6 miliar atau sekitar Rp 25,1 triliun, sebagian besar berupa utang berbunga seperti pinjaman bank dan obligasi.
Sritex telah berdiri lebih dari 50 tahun, didirikan oleh Haji Muhammad Lukminto pada 1968 di Sukoharjo, Jawa Tengah, setelah sebelumnya menjalankan usaha tekstil di Pasar Kelewer, Solo. Sejak awal, Sritex tumbuh pesat, memperluas lini produksinya, dan pada 1994 mulai mengerjakan seragam untuk pasukan NATO berkat sertifikasi resmi yang diterimanya. Perusahaan ini telah memproduksi pakaian militer untuk lebih dari 33 negara.
Saat krisis moneter 1998, Sritex mampu bertahan dan mengalami pertumbuhan delapan kali lipat sejak 1992. Pada 2013, Sritex resmi melantai di Bursa Efek Indonesia (BEI) dengan kode saham SRIL, dengan laba mencapai Rp 229 miliar pada 2012. Namun, saham Sritex disuspensi oleh BEI sejak 18 Mei 2021 akibat gagal membayar pokok dan bunga medium term note (MTN) tahap III tahun 2018.
Selain suspensi, BEI juga beberapa kali mengeluarkan surat peringatan potensi delisting untuk Sritex. Dalam kondisi sulit, Sritex mengklaim masih beroperasi dengan mengandalkan kas internal meski terdampak oleh krisis global seperti perang Rusia-Ukraina dan Israel-Palestina serta banjir produk tekstil murah dari China. Hal ini mengakibatkan dumping harga, yang berdampak pada permintaan ekspor dan penjualan domestik.
Pada Senin (21/10/2024), Pengadilan Negeri Semarang memutuskan pailit atas Sritex melalui Putusan Homologasi karena gagal memenuhi kewajibannya. Meski dinyatakan pailit, Sritex tidak tinggal diam dan segera mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung. GM HRD Sritex Group, Haryo Ngadiyono, mengonfirmasi bahwa perusahaan masih beroperasi dan telah mengajukan kasasi pada Jumat (25/10), dengan harapan dapat membatalkan putusan pailit tersebut. (dan)