Nasional

Putusan MK Larang Jaksa Agung dari Parpol, Kejagung Sambut Baik

Dani Tri Wahyudi — Satu Indonesia
01 Maret 2024 21:30
Putusan MK Larang Jaksa Agung dari Parpol, Kejagung Sambut Baik
Menko Polhukam Hadi Tjahjanto (kanan) berbincang dengan Jaksa Agung St. Burhanuddin (kiri) usai penandatanganan dokumen serah terima jabatan Menko Polhukam di Kantor Kemenko Polhukam, Jakarta, Rabu (21/2/2024).

JAKARTA - Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Kejaksaan Agung, Ketut Sumedana, menyambut baik keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait jabatan Jaksa Agung bukan berasal dari pengurus partai politik (parpol).

"Kami menyambut baik putusan MK ini untuk memperkuat independensi kejaksaan sebagai aparat penegak hukum," ujar Ketut di Jakarta, Jumat. Meskipun demikian, lanjut Ketut, selama kepemimpinan Jaksa Agung Sanitiar Burhanuddin, penegakan hukum dilakukan murni untuk kepentingan hukum.

Ketut menegaskan bahwa penegakan hukum oleh kejaksaan selama kepemimpinan Sanitiar Burhanuddin sebagai Jaksa Agung dilakukan tanpa campur tangan politik. "Seperti yang telah berlangsung selama ini di bawah kepemimpinan Jaksa Agung St. Burhanudin, penegakan hukum yang dilakukan adalah murni untuk kepentingan hukum tanpa adanya campur tangan politik," ujarnya.

Ketut, yang juga menjabat sebagai Kepala Kejaksaan Tinggi Bali, menyatakan bahwa putusan MK tersebut juga memberikan kesempatan lebih luas bagi insan adhyaksa untuk berkarier di posisi lebih tinggi, yaitu sebagai Jaksa Agung. "Harapan dan kesempatan itu semoga akan memberikan motivasi dalam berkinerja lebih baik dan bermanfaat ke depannya untuk kepentingan penegakan hukum," kata Ketut.

Sejak berdirinya pada 12 Agustus 1945 hingga saat ini, jabatan Jaksa Agung yang saat ini dipegang oleh Sanitiar Burhanuddin merupakan Jaksa Agung yang ke-24. Jabatan Jaksa Agung yang berasal dari pengurus partai sempat menuai pro dan kontra sejak Presiden RI Joko Widodo menunjuk Muhammad Prasetyo yang merupakan kader Partai NasDem.

Jabatan Jaksa Agung dari kalangan partai politik pernah dijabat oleh Baharuddin Lopa periode 6 Juni 2001 sampai dengan 3 Juli 2001 dari Partai Golkar, kemudian Marzuki Darusman periode 29 Oktober 1999 s.d. 1 Juni 2001 merupakan seorang jaksa karier dari Partai Persatuan Pembangunan (PPP).

Putusan MK tersebut tertuang dalam putusan nomor 6/PUU-XXII/2024. Gugatan tersebut diajukan oleh seorang jaksa bernama Jovi Andrea Bachtiar, yang menggugat Undang-Undang Kejaksaan. Dalam sidang pendahulu (1/2), pemohon menyebutkan Pasal 20 UU Kejaksaan bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3), Pasal 2 ayat (1), dan Pasal 27 ayat (1) UUD NRI 1945.

Dalam gugatannya, pemohon menyebut keterlibatan aktif penegak hukum dalam pragmatisme politik dengan menjadi anggota politik dianggap merusak independensi kejaksaan secara inkonstitusional, khususnya dalam pemberantasan tindak pidana korupsi. Jaksa Agung yang terlibat dalam partai politik sangat memungkinkan adanya kontrak politik atau tekanan dari kolega politiknya. Terlebih lagi, saat ini belum ada mekanisme checks and balances berupa fit and proper test pada pengangkatan dan pemberhentian Jaksa Agung.

Untuk itu, dalam petitumnya, pemohon meminta agar Mahkamah menambahkan syarat "g. Tidak sedang terdaftar sebagai anggota partai politik atau setidak-tidaknya telah 5 tahun keluar dari keanggotaan partai politik, baik diberhentikan maupun mengundurkan diri" dalam Pasal 20 UU Kejaksaan.

Dalam putusannya, Mahkamah Konstitusi mengabulkan sebagian permohonan pemohon. Mahkamah menyatakan bahwa Pasal 20 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2021 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Selain itu, Pasal 20 UU Kejaksaan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai "untuk dapat diangkat menjadi Jaksa Agung harus memenuhi syarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 huruf a sampai dengan huruf f, termasuk syarat bukan merupakan pengurus partai politik, kecuali telah berhenti sebagai pengurus partai politik sekurang-kurangnya 5 tahun sebelum diangkat sebagai Jaksa Agung. (ant)
 
 
 
 


Berita Lainnya