Nasional
Pengusaha dan Buruh Kompak Tolak Iuran Tapera, Begini Alasannya
JAKARTA - Dewan Pimpinan Provinsi (DPP) Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) DKI Jakarta bersama serikat pekerja dan buruh dengan tegas menolak implementasi kebijakan potongan gaji untuk iuran Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera).
Penolakan ini ditandai dengan penandatanganan pernyataan bersama di Kantor DPP Apindo DKI Jakarta, Cikini, Jakarta Pusat, pada hari Senin. "Saat ini ada delapan serikat yang bersama saya sebagai Ketua Umum DPP Apindo telah menandatangani," kata Ketua DPP Apindo DKI Jakarta, Solihin, dalam konferensi pers.
Penandatanganan dilakukan oleh perwakilan DPP Apindo DKI Jakarta, Federasi Serikat Pekerja (FSP) Logam Elektronik dan Mesin (LEM/SPSI), FSP Kebangkitan Buruh Indonesia (FKUI KSBSI), dan FSP Serikat Pekerja Nasional (SPN/KSPI). Selain itu, FSP Asosiasi Serikat Pekerja Indonesia (ASPEK Indonesia), FSB Kimia Industri Umum, Farmasi, Kesehatan (KIKES), FSP Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (PAREKRAF), serta FSP Kimia Energi Pertambangan (KEP) juga turut menandatangani.
Iuran Tapera ini diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 21 Tahun 2024 yang merupakan perubahan atas PP Nomor 25 Tahun 2020 tentang Penyelenggaraan Tapera. Aturan ini diteken pada akhir Mei lalu. Melalui aturan tersebut, gaji pekerja, baik swasta maupun PNS, akan dipotong sebesar 2,5 persen setiap bulannya, dengan 0,5 persen ditanggung oleh perusahaan, mulai berlaku tahun 2027.
Menurut Solihin, iuran Tapera ini menjadi beban tambahan bagi pemberi kerja dan pekerja. Keberadaan aturan tersebut mengejutkan dunia usaha dan pekerja di DKI Jakarta. "Meskipun sudah diberikan beberapa narasi yang sama sebelumnya, bahkan beberapa draf sebelumnya, kita sudah sampaikan penolakan, tapi pada 20 Mei ditandatangani," ujar Solihin.
Solihin menegaskan pengusaha dan pekerja di DKI Jakarta menolak implementasi iuran Tapera tersebut karena beban tambahan yang ditimbulkannya. Menurut Solihin, secara keseluruhan, pekerja dan pengusaha sudah dibebankan potongan hingga 18,24 persen sampai 19,74 persen, termasuk BPJS Ketenagakerjaan, Jaminan Hari Tua (JHT), dan Jaminan Kesehatan.
"Beban wajib pengusaha dan pekerja berpotensi membuat potongan meningkat hingga 20 persen ke atas," kata Solihin. Solihin menjelaskan iuran Tapera seharusnya bersifat sukarela, karena berperan sebagai tabungan pribadi. Selain itu, iuran Tapera mirip dengan program BPJS Ketenagakerjaan yang sudah ada, yaitu Manfaat Layanan Tambahan (MLT).
Pihaknya tidak mengharapkan aturan ini hanya ditunda, seperti narasi yang sebelumnya diumumkan. Solihin menegaskan bahwa pengusaha dan pekerja sepakat menolak implementasi iuran Tapera secara keseluruhan. "Sebagai asosiasi yang menaungi dunia usaha dan pekerja yang terdampak, kami menuntut untuk membatalkan implementasi Tapera sebagai kewajiban," tegas Solihin.
Sebelumnya, Apindo dan KSBSI berharap pemerintah dapat lebih mengoptimalkan dana BPJS Ketenagakerjaan yang sesuai PP adalah sebesar maksimal 30 persen (Rp138 triliun). Aset JHT sebesar Rp460 triliun dianggap bisa digunakan untuk program MLT perumahan bagi pekerja, mengingat ketersediaan dana MLT yang sangat besar dan dinilai belum maksimal pemanfaatannya. (ant)