Otomotif
Mobil Baru Sulit Laku di NKRI, Riset LPEM UI Ungkap Penyebabnya
JAKARTA - Hasil riset Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (LPEM FEB UI) menunjukkan stagnasi pasar mobil baru disebabkan oleh dua faktor utama: kenaikan harga mobil dan kondisi pendapatan per kapita.
"Temuannya sudah jelas. Pertama, pendapatan per kapitanya tidak naik cukup besar, hanya tiga persen dalam 10 tahun terakhir, sementara harga mobil naik di atas inflasi, yaitu 5-6 persen. Inflasi kita sekarang empat persen," kata peneliti senior dari LPEM FEB UI, Riyanto, di Jakarta, Selasa (9/7/2024) malam.
Riyanto menjelaskan bahwa penjualan mobil berkaitan erat dengan faktor ekonomi seperti harga mobil, suku bunga kredit, kurs, harga bahan bakar, dan ketersediaan stok mobil. Namun, faktor yang paling signifikan adalah harga mobil dan pendapatan per kapita. Menurut riset LPEM FEB UI yang bekerja sama dengan Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (GAIKINDO), pendapatan per kapita hanya naik rata-rata 3,65 persen per tahun dari 2013 hingga 2022, sementara pertumbuhan penjualan mobil menurun rata-rata 1,64 persen per tahun.
Sebagai perbandingan, dari 2000 hingga 2013, pendapatan per kapita naik rata-rata 28,26 persen per tahun dan penjualan mobil meningkat 21,23 persen per tahun. Peningkatan penjualan mobil bekas, terutama di Jawa, juga mempengaruhi pertumbuhan penjualan mobil baru. Pada 2022, sekitar 65 persen pembeli mobil di Jawa memilih mobil bekas karena perbedaan harga yang semakin besar antara mobil baru dan bekas.
Ketika harga mobil baru semakin tinggi dan pendapatan per kapita tidak sebanding, mobil bekas menjadi pilihan bagi yang menginginkan kendaraan dengan harga terjangkau. "Pilihannya itu mungkin karena pendapatannya tidak naik tinggi, harga mobil barunya juga cukup besar naiknya, akhirnya pilihannya mobil bekas," kata Riyanto.
"Apalagi, pasar mobil bekas sekarang relatif transparan. Cacatnya dikasih tahu dan digaransi. Jadi, tidak seperti membeli kucing dalam karung," tambahnya. Riyanto menyarankan pendekatan jangka panjang dan jangka pendek untuk mengatasi stagnasi penjualan mobil baru. Dalam jangka panjang, peningkatan pendapatan per kapita dapat dicapai melalui re-industrialisasi untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi.
"Meningkatkan nilai tambah dalam perekonomian dan pertumbuhan ekonomi minimal enam persen dengan re-industrialisasi agar porsi sektor manufaktur terhadap PDB bisa mencapai 25 persen hingga 30 persen, mendorong pendapatan per kapita kelompok menengah ke atas naik ke kelas makmur," jelas Riyanto.
Untuk solusi jangka pendek, Riyanto menyarankan penurunan komponen pajak pada harga mobil, yang saat ini mencapai 40 persen dari harga off the road. Penurunan pajak bisa membuat harga mobil lebih terjangkau bagi konsumen. Keberhasilan relaksasi pajak penjualan atas barang mewah (PPnBM) tahun 2021 dalam mendorong penjualan mobil adalah contoh bagaimana kebijakan fiskal yang tepat dapat mendorong pertumbuhan pasar. Riyanto juga mengusulkan stimulus fiskal agar kelompok menengah ke atas yang hampir masuk kategori makmur dapat membeli mobil baru, misalnya dengan insentif pajak untuk kendaraan ramah lingkungan (Low Cost Green Car/LCGC) dan 4x2 low.
Selain itu, Riyanto menyarankan penyegaran program mobil murah pemerintah, mendorong efisiensi produksi mobil, dan pemberian diskon dalam pembelian mobil. "Untuk produsen, sudah seberapa efisien dalam produksi? Apakah mungkin memberikan diskon? Pameran dan pemberian diskon adalah program untuk mendorong pasar," katanya. (ant)