Opini

(Masih) Berharap kepada Prabowo

Catatan  Prof. Ma’mun Murod Al-Barbasy 

Prof. Ma’mun Murod Al-Barbasy  — Satu Indonesia
04 September 2025 22:29
(Masih) Berharap kepada Prabowo
MASIH BERHARAP - Presiden Prabowo Subianto

“KEKUASAAN yang absolut akan menjadi korupsi secara absolut. Kita paham bahwa korupsi adalah masalah besar di bangsa kita. Perilaku korupsi ada di setiap eselon birokrasi kita, ada di setiap institusi dan organisasi pemerintahan. Perilaku korup ada di BUMN-BUMN kita, ada di BUMN-BUMD kita. Ini bukan fakta yang harus kita tutup-tutupi.”

“Saya tidak ragu membela rakyat. Saya akan hadapi mafia-mafia, yang sekuat apapun saya hadapi atas nama rakyat. Saya bertekad memberantas korupsi. Sekuat apapun mereka. Demi Allah saya tidak akan mundur setapak pun. Saya yakin rakyat bersama saya.”

Kutipan di atas merupakan dua pernyataan Presiden Prabowo Subianto yang disampaikan dalam waktu yang berdekatan. Kutipan pertama merupakan penggalan pidato kenegaraan pada Sidang Tahunan MPR (15/8/2025).

Kutipan kedua disampaikan seusai menjenguk anggota Polri yang menjadi korban demontrasi di RS Polri Jakarta Timur (1/9/2025). Kutipan di atas merupakan bentuk komitmen serius dari Prabowo dalam pemberantasan korupsi.

Pernyataan Prabowo bukan kali ini saja, tapi jauh sebelum masa kampanye Pilpres 2025 hingga hampir setahun menjabat sebagai Presiden, komitmen tersebut selalu dijaga dan digaungkan terus menerus.

Dalam kaidah ushul, pengulangan ucapan yang terus menerus, baik bersifat perintah (al-amr) maupun larangan (al-nahy) menunjukan keseriusan dan tuntutan yang pasti untuk melaksanakannya.

Ucapan seorang Presiden (Prabowo) terkait pemberantasan korupsi, termasuk di dalamnya perlawanannya terhadap para mafia yang dilakukan secara terus menerus juga bisa menjadi perintah yang wajib bagi para bawahan Presiden untuk melaksanakannya.

Pernyataan di atas merupakan bentuk otentisitas Prabowo yang selalu ingin tampil apa adanya. Dengan sikap apa adanya ini, Prabowo mencoba menjauhkan diri dari kesan pencitraan (politik).

Bandingkan dengan dua presiden pendahulunya: Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan Joko Widodo (Jokowi) yang gemar membangun pencitraan (politik). Dalam konteks pencitraan politik, Prabowo seolah ingin mengatakan bahwa seorang pemimpin harus tampil apa adanya (natural) di hadapan rakyat yang dipimpinnya.

Prabowo tidak tertarik mengkonstruksi persepsi positif (citra) di mata publik hanya untuk sekedar mendapatkan dukungan politik, mempengaruhi opini publik dengan menggunakan berbagai strategi komunikasi, dan dukungan media massa.

Kalau ingin mengedepankan sisi pencitraan politik, Prabowo tentu akan bicara untuk hal yang sensitif di mata para koruptor dan mafia dengan bahasa yang santun. Prabowo akan lebih berhati-hati dalam “berhadapan” dengan para koruptor dan para mafia. Tapi itu tidak berlaku bagi Prabowo. Prabowo justru menggunakan bahasa yang sarkasme dan bahkan cenderung vis a vis dengan para koruptor dan mafia.

Langkah Politik yang Pro Rakyat

Tampilan natural Prabowo tentu bukan tanpa masalah. Rentetan “gangguan” yang dihadapi Prabowo sejak dilantik sebagai Presiden, termasuk aksi-aksi anarkis yang terjadi beberapa hari yang lalu, sulit untuk dilepaskan dari sikap natural Prabowo.

Bahwa berbagai tuntutan yang muncul dari aksi-aksi tersebut banyak yang perlu mendapat apresiasi dan perhatian dari Prabowo, namun sikap anarkis yang ditunjukan dalam aksi-aksi tersebut juga sulit untuk tidak dikaitkan dengan sikap “apa adanya” dari Prabowo.

Pada awalnya yang disasar memang politisi di Senayan, namun ketika aksi berlangsung secara anarkis, banyak korban berjatuhan, dan sangat mungkin mengakibatkan terjadinya chaos, maka sasaran selanjutnya tentu bukan lagi para politisi di Senayan, tapi Prabowo yang dinilai gagal atau tidak mempunyai kapasitas untuk memimpin Indonesia.

Jadi, politisi Senayan hanya sasaran antara. Sasaran utama sejatinya Prabowo, tentu dengan target pemakzulan terhadap Prabowo.

Membaca secara menyeluruh aspirasi dari aksi-aksi yang terjadi, sejatinya ada pesan dan harapan yang tulus, terutama aspirasi yang disampaikan oleh mahasiswa. Mereka (masih) berharap kepada Prabowo. Berharap Prabowo bisa segera mengambil langkah-langkah politik yang pro rakyat, sebagaimana selama ini kerap diucapkan Prabowo.

Segera disahkannya UU Perampasan Aset, memotong fasilitas-fasilitas pejabat negara maupun BUMN yang dinilai sangat berlebihan, memangkas pajak yang memberatkan rakyat, mahalnya uang kuliah, pembebasan mahasiswa yang ditahan Kepolisian dalam aksi beberapa hari lalu maupun saat memperingati Hari Buruh Internasional (MayDay) Mei 2025, menuntut Polri untuk bertanggung jawab atas penangkapan, kekerasan hingga pembunuhan. Itulah di antara tuntutan yang disampaikan mahasiswa dalam aksi-aksinya.

Tuntutan lain yang berkembang yaitu menginginkan Prabowo agar lebih serius dan tegas dalam pemberantasan korupsi. Masyarakat menginginkan Prabowo untuk lebih konkret dalam mengambil langkah-langkah hukum terhadap para koruptor.

Masyarakat sangat mengapresiasi keberhasilan Prabowo menjadikan Riza Chalid sebagai tersangka. Bayangkan, Riza Chalid, mafia minyak yang sejak era SBY dan Jokowi seolah menjadi orang yang tak bisa tersentuh oleh hukum, di era Prabowo berhasil ditetapkan sebagai tersangka.

Masyarakat juga mendesak Prabowo untuk melakukan perombakan Kabinet dengan mengganti menteri-menteri atau pejabat lainnya yang dinilai tidak cakap dalam bekerja dan masih mempunyai kedekatan emosional dengan Jokowi. Beberapa nama yang sering muncul untuk diusulkan dicopot adalah Luhut Binsar Panjaitan, Pratikno, Tito Karnavian, Budi Arie Setiadi, dan Listyo Sigit Prabowo

Reformasi kepolisian juga disuarakan secara keras oleh masyarakat. Kepolisian dinilai sebagai institusi yang gagal melakukan reformasi. Alih-alih mereformasi diri, yang ada justru sebaliknya, kepolisian memilih mengambil sikap yang cenderung bergerak mundur.

Saat ini, Kepolisian masih menghadapi masalah-masalah terkait lemahnya pengawasan baik internal maupun eksternal, dominasi dalam penegakan hukum yang nyaris tanpa kontrol efektif dari kejaksaan maupun pengadilan, soal rangkap jabatan perwira yang semakin menggurita, dan seolah merasa diri sebagai lembaga yang mempunyai impunitas.

Masalah-masalah tersebut merupakan pekerjaan rumah yang harus diselesaikan. Kalau di internal Kepolisian tak ada kemauan politik untuk menyelesaikannya, maka kasus-kasus besar yang melibatkan kepolisian akan terus terjadi.

Kasus Ferdy Sambo, Tragedi Stadion Kanjuruhan yang menewaskan 132 suporter, Kasus Teddy Minahasa, Unlawfull Killing KM 50 yang memakan korban tewas 6 orang dari anggota Laskar Front Pembela Islam (FPI), dan kerja-kerja BNPT dan Densus 88 yang selama ini dinilai berlebihan dalam pemberantasan terorisme, menggambarkan bahwa institusi Kepolisian sebenarnya sedang diliputi beragam masalah besar.

Begitupun reformasi partai politik disuarakan secara lantang, terlebih oleh kalangan kampus. Partai politik juga dinilai sebagai institusi yang emoh diajak untuk mereformasi diri. Ada harapan, ketika reformasi partai politik dilakukan, maka kualitas demokrasi di Indonesia akan semakin meningkat.

Begitu pun politik berbiaya mahal yang selama tiga kali pemilu terakhir terbukti berhasil meningkatkan angka korupsi di Indonesia, bisa ditekan. Personalisasi partai politik juga bisa dicegah. Saat ini hampir kebanyakan partai politik identik dengan personal elit.

Revisi UU Pemilu dan UU Partai Politik yang hampir setiap pemilu selalu dilakukan, harapannya bisa menjadi pintu masuk untuk mereformasi partai politik. Namun yang terjadi sebaliknya, revisi kedua undang-undang tersebut semakin membuat partai politik sebagai institusi yang korup, melanggengkan oligarki politik, dan menguatkan praktik politik berbiaya mahal.

Sebagai Presiden dengan kuasa politik mayoritas di parlemen, sebenarnya bukan hal sulit bagi Prabowo untuk merealisasi harapan-harapan tersebut. Sebagai Presiden, secara teori dalam diri Prabowo mempunyai sifat memaksa (coercive nature), yaitu memaksakan kehendaknya, tentu saja kehendak untuk menghadirkan kebaikan, ketertiban, mencegah anarki, dan memastikan kepatuhan warga negara.

Dengan kuasa memaksa ini, Prabowo setidaknya bisa melakukan dua hal. Pertama, membuat kebijakan-kebijakan yang melekat pada dirinya sebagai penguasa eksekutif dengan tanpa perlu melibatkan institusi lain.

Kedua, dalam kerangka distribution of power, Prabowo bisa membuat kebijakan-kebijakan dengan melibatkan atau bersama-sama pihak lain, seperti DPR. Apalagi sekarang kuasa politik atas mayoritas partai-partai yang mempunyai perwakilan di DPR sudah berada di bawah kendali Prabowo.

Tentu tidak sulit bagi Prabowo untuk misalnya memaksa pengesahan UU Perampasan Aset dan memaksa partai politik dan Kepolisian mereformasi diri melalui revisi undang-undang yang dibuatnya bersama DPR RI.

Yakinlah, kalau Prabowo secara serius mempunyai political will dan berhasil merealisasikan harapan-harapan rakyat, dipastikan rakyat akan berada dan mendukung sepenuhnya Prabowo, sebagaimana kutipan pernyataannya di atas. Semoga. (penulis adalah Ketua Umum Forum Rektor Perguruan Tinggi Muhammadiyah-Aisyiyah)


Berita Lainnya