Opini Redaksi
MBG Jangan sampai Jadi ‘Makan Bakteri Gratis’

PROGRAM Makan Bergizi Gratis (MBG) makin hari makin terdengar seperti “Makan Berisiko Gawat”. Data kasus keracunan yang berseliweran di berbagai daerah seharusnya sudah cukup untuk menyalakan sirene bahaya, bukan malah dianggap sekadar gangguan kecil.
Mari kita lihat daftar “prestasi” MBG, yang, lokasi kejadiannya tersebar di banyak daerah dengan jumlah korban tak sedikit. Bahkan, seorang siswa di SMK Negeri 1 Cihampelas, Kabupaten Bandung Barat meninggal dunia, diduga akibat keracunan MBG.
Di Kabupaten Bandung Barat, MBG memakan korban 1.333 siswa. Laboratorium Kesehatan Daerah (Labkesda) Jawa Barat mengungkapkan, penyebab siswa keracunan ini yakni bakteri Salmonella dan Bacillus cereus. Salah satu penyebab utama kontaminasi adalah rentang waktu penyiapan hingga penyajian makanan yang terlalu lama.
Di Kota Bekasi, kejadian yang sama pada 2 Oktober 2025, 6 siswa kelas 6 SDN Kota Baru III (Bekasi Barat) dilarikan ke RS Ananda akibat sakit perut dan muntah setelah jam istirahat pagi MBG. Menu pagi saat itu adalah macaroni, pasta, jagung, semangka. Terasa asam saat dicicipi. Siswa tetap makan sedikit hingga keracunan. Hasil lab menemukan bakteri.
Di Kecamatan Kadungora, Kabupaten Garut, pada 16 September 2025 sebanyak 657 siswa dari 5 sekolah: SD Mandalasari 1 & 2, SMP/SMA Siti Aisyah, dan MA Ma’arif, juga keracunan MBG. Menu yang disajikan nasi uduk, ayam woku, tempe orek, sayur, stroberi, dimasak dini hari dan diduga sudah terkontaminasi karena waktu tunggu terlalu lama.
Di Kabupaten Sumedang, 25 September 2025 sebanyak 164 siswa dari 3 sekolah, SMK Win Ujungjaya, SMK Kehutanan Rimba Situraja, SMAN Tomo, mengalami gejala keracunan MBG. Bupati Sumedang Dony Ahmad Munir menghentikan sementara di wilayah tersebut.
Di Jakarta, pada 23 September 2025, sebanyak tujuh siswa SMAN 15 Jakarta Utara mengalami mual dan sakit perut setelah makan MBG. Sementara pada 25 September 2025, sebanyak enam siswa SDN 07 Pulogebang, Cakung, Jaktim, dilaporkan muntah usai makan siang MBG.
Kemudian, pada 30 September 2025, sebanyak 20 siswa SDN 01 Gedong, Pasar Rebo, Jaktim, diduga keracunan MBG pagi harinya. Sekolah menghentikan sementara pembagian MBG. Selain itu, laporan JPPI menyebut ada 79 siswa di Kelurahan Lagoa, Jakarta Utara yang juga terpapar MBG pada pertengahan September 2025.
Kok bisa kasus ini terus terjadi? Jawabannya sederhana: dapur dipaksa melayani ribuan porsi setiap hari, dikerjakan tenaga yang tak cukup terlatih, dengan dana minim yang justru rawan “disunat” oknum berpengaruh.
Ironisnya, Menteri Kesehatan malah ingin menangani kasus ini dengan pola ala pandemi Covid-19: bikin dashboard, update angka tiap hari, lalu bertepuk tangan karena data transparan. Padahal, ini bukan soal virus misterius. Sumber masalahnya jelas: makanan dikelola serampangan, prosedur dapur amburadul. Kalau resepnya salah, seberapa sering pun laporan dibuat, hasilnya tetap saja, racun di piring anak sekolah.
Lebih getir lagi, Wakil Kepala BGN sempat mengakui ada politikus yang ikut “titip jatah” dapur MBG. Ya wajar, siapa yang tak tergoda oleh kue triliunan rupiah? Dana pendidikan pun ikut tergerus, demi membiayai proyek ambisius yang lebih mirip etalase politik ketimbang solusi gizi.
Mari jujur sejenak, MBG bukan harga mati. Presiden memang ingin memenuhi janji kampanye. Tapi kalau pelaksanaannya justru mencetak korban, mengapa harus dipaksa jalan? Jangan sampai demi menyuapi ego politik, murid-murid malah disuapi bakteri. Sekolah mestinya jadi ruang belajar, bukan medan uji nyali melawan bakteri.
Kalau pemerintah serius ingin mencetak generasi unggul, lebih baik alihkan dana jumbo itu ke hal yang lebih strategis: pendidikan gratis dari SD sampai perguruan tinggi, peningkatan kualitas guru, kurikulum yang relevan, serta metode belajar yang mendorong daya pikir kritis. Dengan begitu, 20 tahun ke depan, kita punya sumber daya manusia sehat, cerdas, dan mampu menggerakkan ekonomi.
Karena apa gunanya program makan bergizi gratis, jika yang tersaji justru “menu kematian murah meriah”? MBG Jangan sampai Jadi ‘Makan Bakteri Gratis’ (*)