Nasional
Tak Hanya di Indonesia, Ini Penindasan Kebebasan Pers di Berbagai Negara

JAKARTA - Kasus pencabutan identitas wartawan liputan istana kepresidenan yang dialami jurnalis CNN Indonesia Diana Valencia pada 28 September 2025 kemarin, juga terjadi di beberapa negara yang menjunjung nilai-nilai demokrasi. Langkah administratif ini dikritik tajam oleh pakar pers sebagai praktik mirip Orde Baru yang membungkam kritikus. Secara praktis, tanpa kartu itu wartawan tak diizinkan masuk Istana untuk meliput, menghambat akses ke informasi publik. Kasus ini menjadi contoh terbaru bagaimana kekuasaan eksekutif di negara demokrasi sekuler pun masih bisa menekan independensi media melalui mekanisme administratif. Kebebasan pers sebagai pilar demokrasi terancam.
Dalam 10 tahun terakhir banyak pemerintahan di dunia, bahkan yang menyebut diri demokrasi, menghambat kerja media. Bentuknya beragam: pencabutan izin dan kartu pers, tekanan administrasi/hukum, hingga kekerasan fisik oleh aparat. Berikut beberapa contoh nyata persekusi wartawan di berbagai negara, beserta pelaku, bentuk penindasan, dan waktu kejadian. Negara mana saja yang pemerintahannya pernah melakukan praktik pembungkaman kebebasan pers? Berikut datanya yang dihimpun dari berbagai sumber.
Bangladesh (2024)
Antara 29 Oktober–7 November 2024, pemerintahan transisi Bangladesh mencabut kartu pers (akreditasi pemerintah) bagi 167 wartawan, termasuk koresponden AP. Keputusan sepihak ini dinilai sebagai ancaman terhadap kebebasan pers dan memutus akses wartawan ke konferensi resmi. Kebijakan ini dilakukan oleh Departemen Informasi (Press Information Department) yang dipimpin pemerintahan sementara (dipimpin oleh Muhammad Yunus), tanpa tuduhan konkret. Pengamat menilai langkah ini mirip rezim otoriter karena membatasi akses media terhadap informasi pemerintahan.

India (2023)
Pemerintah India di bawah PM Narendra Modi melakukan penggerebekan dan penyitaan peralatan jurnalistik. Pada 3 Oktober 2023 polisi Delhi (di bawah Kementerian Dalam Negeri) merazia rumah 46 wartawan dan kantor portal berita NewsClick, menyita laptop/telepon, serta menahan pendiri dan editor dengan dakwaan terorisme (UU UAPA). Operasi ini mengikuti narasi isu pendanaan asing (Tiongkok) terhadap media independen. Tindakan tersebut dikecam sebagai usaha membungkam media kritis oleh aparat negara. Sebelumnya, Februari 2023, kantor BBC di India juga pernah digeledah setelah merilis dokumenter kritis, menambah kekhawatiran crackdown terhadap media merdeka.

Australia (2019)
Pada Juni 2019 Kepolisian Federal Australia (AFP) menyerbu rumah reporter Daily Telegraph, Annika Smethurst dan markas besar stasiun TV publik ABC di Sydney. Lembaga tersebut mencari sumber kebocoran dokumen intelijen rahasia. Pengadilan Tinggi Australia kemudian menyatakan surat izin penggeledahan rumah Smethurst tidak sah karena terlalu kabur. Meski begitu, operasi ini mengundang protes luas dari wartawan dan masyarakat sipil, dan memicu penyelidikan parlemen tentang kebebasan pers di Australia.

Amerika Serikat (2019–2025)
Pemerintahan AS juga kerap membatasi media. Misalnya akses kantor kepresidenan, pada 14 Februari 2025 pemerintahan Trump secara mendadak melarang wartawan AP memasuki Ruang Oval dan kabin Presiden sebagai hukuman karena AP menolak mengganti nama "Teluk Meksiko" atas permintaan Trump. Reuters, HuffPost dan beberapa media lain juga dikeluarkan dari jalur liputan resmi Gedung Putih. Selain itu, selama protes Black Lives Matter 2020, polisi AS tercatat banyak menyerang fisik wartawan yang meliput demonstrasi. Seorang fotografer terluka parah oleh tembakan karet hingga kehilangan penglihatan. Jurnalis didorong dan dipukuli walau sudah mengenakan rompi “press”. Fakta ini menunjukkan polisi sering menggunakan kekerasan langsung untuk mengusir atau mengintimidasi pewarta yang memberitakan kegiatan pemerintah atau protes publik.

Filipina (2018–2020)
Di era Presiden Rodrigo Duterte, kritik terhadap pemerintah dibalas dengan represi media. Pendiri situs Rappler, Maria Ressa, pada Juni 2020 dijatuhi vonis bersalah atas tuduhan pencemaran nama baik sebagai kasus pidana, yang dianggap bermotif politik. Duterte bahkan sempat melarang wartawan Rappler meliput Istana Kepresidenan. Selain itu, pada Mei 2020 pemerintah Duterte mencabut izin siar ABS-CBN – jaringan TV terbesar yang kritis – sehingga dipaksa tutup. Tindakan-tindakan hukum dan administratif tersebut (penjara, denda, pencabutan izin) adalah bentuk eksplisit “membungkam” media oleh rezim Filipina.
Hungaria (2025)
Pemerintah populis Viktor Orbán terus memperketat kontrol media. Mei 2025 partai berkuasa Fidesz mengusulkan UU baru yang memungkinkan pemerintah memantau dan melarang lembaga media maupun LSM yang menerima dana asing (donasi atau hibah Uni Eropa). RUU ini dikecam luas karena bisa dipakai menutup hampir semua media independen, serupa dengan Undang-Undang “agen asing” Rusia. Selama dekade terakhir, Orbán rutin memberikan subsidi negara kepada media pro-pemerintah dan merebut outlet kritis lewat konglomerasi sekutu, sehingga kini loyalis Fidesz menguasai sekitar 80% media di Hungaria. Secara keseluruhan langkah-langkah ini bertujuan meniadakan suara kritis dalam ruang publik.
Polandia (2015–2023)
Di Polandia, partai konservatif PiS (Berkuasa 2015–2023) melakukan “pengambilalihan media publik”. Mereka mencopot pengurus stasiun TV dan radio pemerintah yang independen lalu menggantinya dengan kader partai, mengubah liputan media publik menjadi propaganda pemerintah. Setelah kekuasaan PiS berakhir akhir 2023, pemerintahan baru segera memberhentikan seluruh manajemen media pemerintah yang berafiliasi dengan Pi. Kasus ini menunjukkan rezim sebelumnya menggunakan media negara sebagai alat politik, melanggar prinsip pluralisme dan independensi pers.
Prancis (2023)
Meskipun demokrasi mapan, aparat Prancis juga melakukan kekerasan terhadap jurnalis. Pada 10 September 2023 terjadi demonstrasi “Bloquons tout” di beberapa kota besar. Laporan RSF mendokumentasi setidaknya tujuh kasus serangan polisi terhadap wartawan yang meliput, berupa pemukulan dengan pentungan, semprotan gas air mata langsung ke wajah, hingga menjepit leher dengan chokehold, meski korban sudah jelas mengenakan tanda pers. Peralatan jurnalis (kamera, lampu kilat) banyak yang rusak dalam bentrokan tersebut. Serangan ini merupakan pelanggaran terbuka hak wartawan, menunjukkan aparat keamanan sekalipun dapat menggunakan kekerasan fisik untuk membungkam peliputan. (sa)