Nasional

Mafia Tanah Diduga Caplok 464 Hektar Tanah Negara

Redaksi — Satu Indonesia
18 Juli 2023 19:35
Mafia Tanah Diduga Caplok 464 Hektar Tanah Negara
MAFIA TANAH - Mahfud MD saat jumpa pers usai bedah kasus di Kantor Menkopolhukam

JAKARTA - Pemerintah Indonesia tengah mengusut dugaan pencaplokan tanah negara seluas 464 hektar di Deli Serdang, Sumatera Utara. Tanah PTPN II itu tiba-tiba diajukan eksekusi oleh 234 orang yang mengaku pemilik lahan, karena telah memenangkan perkara di pengadilan.  Padahal sejak awal tanah tersebut diketahui sebagai tanah milik negara.

Hal ini diungkapkan Menkopolhukam Mahfud MD usai bedah temuan tersebut bersama Jampidum Dr. Fadil Zumhana, Kepala Kejaksaan Tinggi Sumatera Utara Idianto, hingga akademisi universitas, Selasa (18/7/2023).

"Kami bedah kasus atas putusan pengadilan mengenai tanah negara di Tanjung Morawa, Sumut seluas 464 hektar itu aslinya milik PTPN II, tiba-tiba di pengadilan dikalahkan dalam kasus perdata," kata Mahfud di Kemenko Polhukam, Jakarta.

Dikatakan, negara baru tahu pada tahun 2019, setelah para penggugat yang berjumlah 234 orang itu minta eksekusi. “Ketika dia minta eksekusi barulah kita nanya ke BPN bahwa tanah itu sejak dulu milik PTPN. Dan belum pernah ada perubahan, kok tiba-tiba menang di pengadilan?"ujar Mahfud.

Menurut hasil temuan, 234 penggugat diduga menggunakan surat keterangan palsu terkait kepemilikan tanah hingga bisa menang di pengadilan. Ini terlihat dari keanehan tanda tangan pelimpahan lahan, hingga penulisan nama daerah Tanjung Morawa.

"Kita menolak dulu eksekusi karena menemukan indikasi tindak pidana. Para penggugat itu diduga kuat menggunakan surat keterangan palsu, antara lain karena surat keterangan kepemilikan itu, kepemilikan atas nama orang yang menumpang di atas tanah PTPN HGU resmi," ungkap Mahfud.

Ditambahkan, surat keterangan kepemilikannya atau pelimpahan dan pemberian lahannya itu dibuat tahun 1953. Dari situlah mulai tampak keanehannya Pertama, ungkap Mahfud, tanda tangan pemberi pelimpahan tanah itu yang atas nama gubernur itu tidak identik. Yang satu miring ke kiri, yang satu miring ke kanan.

Dari segi penulisan nama daerah, ditemukan ejaan yang aneh. Sebab nama daerah Tanjung Morawa pada tahun 1953 masih ejaan lama, yakni Tandjoeng Murawa. Namun dalam surat keterangan yang diduga palsu itu, ditulis Tanjung dengan ejaan baru.

"Tanjung yang dikenal sekarang, ejaannya sudah seperti itu sejak tahun 73, ejaan yang disempurnakan. Itu sangat jauh. Dan di depan pengadilan, para saksi atau terdakwa sekali pun mengakui bahwa dia tidak pernah punya tanah itu, tidak pernah melihat aslinya. Katanya, hanya dibisiki oleh temannya," terang dia.

Para penggugat pun menurut Mahfud, merasa tidak tahu lokasi tanah miliknya itu di mana”Yang 234 orang itu tidak tahu tanahnya di mana, dia tahu apa tidak. Sehingga kita terus merasa ini harus dipersoalkan sampai final ke putusan pengadilan di tingkat kasasi untuk menyelamatkan harta negara," ujar Mahfud.

Mahfud mengungkap pesan Presiden Jokowi, jika negara punya kewajiban utang kepada warga negara, maka berdasarkan keputusan inkrah pengadilan negara wajib membayar. Tetapi harus dipastikan apakah ada temuan pelanggaran hukum atas gugatan masyarakat.

"Karena hukum pidananya belum inkrah, kita melakukan bedah kasus dan memang ada kejanggalan yang nanti akan disampaikan dan telah sebagiannya disampaikan di dalam memori kasasi. Kami menduga berdasar temuan-temuan surat perjanjian yang di situ memang ada sponsornya yaitu pebisnis perusahaan," papar dia.

Menurut Mahfud, sponsor tersebut menjanjikan kalau warga menang, nanti masing-masing orang yang dianggap punya tanah, masing-masing akan mendapatkan uang sebesar Rp 1,5 miliar. 

Mahfud menerangkan, dugaan ini berdasarkan bukti di lapangan. Adapun terkait pihak yang sudah terindikasi pidana pemalsuan surat kepemilikan bernama Murachman. "Iya, ada buktinya ini, bahwa dia akan diberi uang sekian kalau nanti sudah menang.(Kasus pidana) namanya Murachman, dia dulu yang mengaku punya tanah itu, dengan menggunakan surat pelimpahan dan sebagainya dan setelah diperiksa itu tadi," kata dia.

Menurut Mahfud, modusnya Murachman, terungkap dalam pengakuannya di pengadilan. Ia mengaku tidak tahu kalau ayahnya punya tanah, tapi kemudian diberitahu oleh temannya, bahwa itu dulu punya ayahnya. Makanya kemudian ia mengajukan gugatan ke pengadilan dengan memanfaatkan 234 warga. Saat ini, pemerintah menunggu putusan kasasi atas masalah tersebut.

"Pemerintah harus berupaya semaksimal mungkin dalam upaya hukum kasasi terkait proses hukum pidana, karena apabila tindak pidana pemalsuan surat (Surat Keterangan Tentang Pembagian Dan Penerimaan Tanah Sawah/Ladang) terbukti, akan menjadi novum yang diharapkan dapat mengubah putusan dalam proses hukum perdata," ucap Mahfud.

Berikut keterangan lengkap Menko Polhukam terkait temuan kasus tersebut, yang disajikan satuindonesia.co secara lengkap;

  1. Terdapat Putusan Perdata PK MA RI Nomor: 508 PK/Pdt/2015 jo. Putusan PN Lubuk Pakam 05/Pdt.G/2011 yang menyatakan bahwa bagian HGU Nomor 62/Penara seluas 464 Ha merupakan milik masyarakat sebanyak 234 Orang selaku Penggugat dengan alas hak berupa Surat Keterangan tentang Pembagian dan Penerimaan Tanah Sawah/Ladang Tg| 20 Desember 1953 yang merupakan aset PTPN II berdasarkan Sertipikat HGU Nomor 62/Penara seluas 533,02 Hektar
  2. PTPN II menemukan bukti pemalsuan terkait Surat Keterangan tentang Pembagian dan Penerimaan Tanah Sawah/Ladang Tgl 20 Desember 1953 yang digunakan masyarakat sebagai alas hak atas tanah dan diajukan sebagai bukti pada proses gugatan perdata tersebut.
  3. Pada Tanggal 27 Juni 2023, terbit Putusan PN Lubuk Pakam Nomor: 471/Pid.B/2023/PN.Lbp yang menyatakan bahwa terdakwa Sdr. Murachman tidak terbukti melakukan tindak pidana pemalsuan Surat Keterangan tentang Pembagian dan Penerimaan Tanah Sawah/Ladang Tgl 20 Desember 1953.
  4. Atas Putusan PN Lubuk Pakam tersebut Jaksa Penuntut Umum telah mengajukan kasasi pada 6 Juli 2023, karena terbuktinya tindak pidana pemalsuan surat yang menjadi alas hak Sdr. Rokani, dkk akan berpengaruh pada upaya hukum perdata yang sedang ditempuh oleh PTPN II.
  5. Pada Putusan Pidana tersebut, 2 Anggota Majelis Hakim menyatakan dissenting opinion dengan pertimbangan antara lain:
  6. Lahan perkebunan seharusnya disebutkan sebagai komoditi karet, namun dalam Surat Keterangan tentang Pembagian dan Penerimaan Tanah Sawah/Ladang Tg| 20 Desember 1953 dituliskan sebagai komoditi tembakau.
  7. Terdapat Kesalahan penulisan lokasi perkebunan di Kecamatan "Tanjung Merawa", seharusnya penulisan pada Tahun 1953 adalah "Tandjong Morawa", sekarang penulisannya menjadi "Tanjung Morawa" dan tidak pernah "Tanjung Merawa".
  8. Terdapat kesalahan penulisan Tanggal 20 Desember 1953, sedangkan tulisan yang seharusnya ditulis 20 Desember 1953.
  9. Surat Keterangan Tentang Pembagian dan Penerimaan Tanah Sawah/Ladang dibuat dan ditandatangani oleh Gubernur Kepala Daerah Provinsi Sumatera Utara u.b Residen/Kepala Kantor Penjelenggaraan Pembagian Tanah u.b Bupati DP pada tanggal 20 Desember 1953, yang jatuh pada hari Minggu dan dibubuhi materai. Surat Dinas tidak pernah dikeluarkan pada Hari Libur dan tidak pernah dibubuhi materai.
  10. Terdakwa mengakui mengetahui orang tuanya tidak memiliki/menguasai tanah di Desa Penara Kecamatan Tanjung Morawa, sehingga tidak pernah juga memiliki Surat Keterangan Tentang Pembagian dan Penerimaan Tanah Sawah/Ladang, tetapi hanya diberitahu oleh teman terdakwa, namun Terdakwa menggunakan surat yang namanya mirip dengan nama bapak tiri
  11. Terdakwa, dengan mengubah nama orang tuanya supaya sesuai dengan Surat Keterangan Tentang Pembagian Dan Penerimaan Tanah Sawah/Ladang dimaksud.
  12. Dalam proses gugatan perdata, terdapat bukti bahwa masyarakat yang mengklaim sebagai pemilik tanah masing-masing seluas 2 hektar pada HGU 62/Penara atas nama PTPN Il, telah dimanfaatkan sebagai alat oleh pihak lain (pemilik podal). Hal ini terbukti dari adanya Akta Peralihan Hak Tahun 2014 antara anggota Masyarakat dengan pemilik modal yang dijanjikan akan mendapatkan kompensasi sebesar Rp1,5 Miliar/per orang, apabila gugatannya berhasil.
  13. Meskipun dengan fakta-fakta tersebut, mayoritas anggota Majelis Hakim memberikan putusan yang membebaskan Terdakwa.
  14. Implikasi dari proses pidana tersebut, akan berdampak pada upaya hukum luar biasa yang sedang dilakukan oleh PTPN II dalam proses perdata serta negara berpotensi kehilangan 17% aset yang dikelola PTPN II, setara dengan Rp 1,7 Triliun.
  15. Pemerintah harus berupaya semaksimal mungkin dalam upaya hukum kasasi terkait proses hukum pidana, karena apabila tindak pidana pemalsuan surat (Surat Keterangan Tentang Pembagian Dan Penerimaan Tanah Sawah/Ladang) terbukti, akan menjadi novum yang diharapkan dapat mengubah putusan dalam proses hukum perdata.

Hal ini sejalan dengan arahan Presiden agar dilakukan segala upaya untuk mempertahankan aset negara, apabila masih terdapat upaya/langkah hukum yang dapat dilakukan. Namun apabila seluruh upaya hukum sudah ditempuh, maka apapun hasilnya harus tetap dipatuhi. (sa)


Berita Lainnya