Nasional

KPK Sebut Kerugian Negara oleh Karen Agustiawan Bukan akibat Bisnis, tapi Penyimpangan

Dani Tri Wahyudi — Satu Indonesia
13 Juni 2024 19:30
KPK Sebut Kerugian Negara oleh Karen Agustiawan Bukan akibat Bisnis, tapi Penyimpangan
Sidang pembacaan tuntutan terhadap mantan Dirut Pertamina Karen Agustiawan di Pengadilan Tipikor Jakarta, Kamis (30/5/2024).

JAKARTA - Jaksa Penuntut Umum (JPU) dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menegaskan kerugian negara dalam kasus yang melibatkan Direktur Utama (Dirut) PT Pertamina (Persero) periode 2009-2014, Galaila Karen Kardinah alias Karen Agustiawan, bukanlah akibat proses bisnis biasa, melainkan hasil dari penyimpangan.

"Kerugian negara yang terjadi merupakan perbuatan melawan hukum karena adanya konflik kepentingan, tidak adanya kajian teknis dan ekonomi, serta tidak ada mitigasi risiko atau perjanjian back to back," kata JPU KPK, Wawan Yunarwanto, dalam pembacaan replik atau tanggapan penuntut umum terhadap nota pembelaan terdakwa di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta, Kamis.

Wawan menjelaskan hal tersebut telah terungkap melalui laporan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) maupun penyidikan dan telah disebutkan dalam dakwaan. Oleh karena itu, keterangan saksi meringankan (a de charge) Karen, termasuk Wakil Presiden ke-10 dan ke-12 Jusuf Kalla (JK), dinilai tidak relevan.

Sebelumnya, JK menilai dakwaan kerugian negara terhadap Karen merupakan masalah bisnis yang bisa membawa kerugian atau keuntungan. Namun, Wawan menegaskan bahwa penyidikan dan penuntutan KPK bersama BPK murni merupakan penegakan hukum berdasarkan alat bukti yang sah, yaitu keterangan saksi, surat petunjuk, dan keterangan terdakwa, serta diperkuat oleh alat dan barang bukti lainnya.

Dengan demikian, JPU bersikukuh pada surat tuntutan pidana dan meminta Majelis Hakim menolak nota pembelaan Karen. "Kami juga meminta Majelis Hakim untuk menjatuhkan putusan sesuai tuntutan," ujar Wawan. Karen sebelumnya dituntut hukuman 11 tahun penjara serta denda Rp1 miliar terkait dugaan korupsi pengadaan gas alam cair (LNG) di Pertamina pada periode 2011-2014. Selain hukuman utama, Karen juga dituntut membayar uang pengganti sebesar Rp1,09 miliar dan 104 ribu dolar Amerika Serikat (AS) dengan subsider 2 tahun penjara.

Jaksa KPK juga menuntut agar Majelis Hakim membebankan pembayaran uang pengganti kepada perusahaan AS, Corpus Christi Liquefaction LLC (CCL), sebesar 113,83 juta dolar AS. Karen didakwa merugikan negara sebesar 113,84 juta dolar AS atau setara dengan Rp1,77 triliun akibat dugaan korupsi pengadaan LNG di Pertamina pada 2011-2014. Mantan Dirut PT Pertamina tersebut diduga memperkaya diri sebesar Rp1,09 miliar dan 104.016 dolar AS atau setara dengan Rp1,62 miliar, serta memperkaya perusahaan CCL senilai 113,84 juta dolar AS atau setara dengan Rp1,77 triliun, yang mengakibatkan kerugian negara.

Karen juga diduga memberikan persetujuan pengembangan bisnis gas pada beberapa kilang LNG potensial di AS tanpa adanya pedoman pengadaan yang jelas dan hanya memberikan izin prinsip tanpa didukung dasar justifikasi, analisis teknis dan ekonomis, serta analisis risiko. Ia juga tidak meminta tanggapan tertulis dari Dewan Komisaris Pertamina dan persetujuan Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) sebelum menandatangani perjanjian jual beli LNG CCL Train 1 dan Train 2.

Karen memberi kuasa kepada Yenni Andayani, Senior Vice President (SVP) Gas and Power Pertamina 2013-2014, dan Hari Karyuliarto, Direktur Gas Pertamina 2012-2014, untuk masing-masing menandatangani LNG Sales and Purchase Agreement (SPA) CCL Train 1 dan Train 2, meskipun belum semua Direksi Pertamina menandatangani Risalah Rapat Direksi (RRD) untuk LNG SPA CCL Train 1 dan tanpa persetujuan direksi untuk LNG SPA CCL Train 2.

Karen juga didakwa melakukan komunikasi dengan pihak Blackstone, salah satu pemegang saham di Cheniere Energy, Inc., dengan tujuan mendapatkan jabatan sebagai Senior Advisor di Grup Ekuitas Swasta Blackstone karena Pertamina telah mengambil proyek CCL. Atas perbuatannya, Karen didakwa melanggar Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 juncto Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP jo. Pasal 64 ayat (1) KUHP. (ant)
 
 
4o


Berita Lainnya