Pilkada 2024

Putusan Ambang Batas, Ahli Tegaskan Hukum MK Sama dengan Amar Putusan

Dani Tri Wahyudi — Satu Indonesia
21 Agustus 2024 19:00
Putusan Ambang Batas, Ahli Tegaskan Hukum MK Sama dengan Amar Putusan
Tangkapan layar - Anggota Dewan Pembina Perludem Titi Anggraini saat memaparkan materi dalam webinar yang disaksikan dari Jakarta, Minggu (4/8/2024).

JAKARTA - Titi Anggraini, pengajar pemilu di Fakultas Hukum Universitas Indonesia, menjelaskan pertimbangan hukum Mahkamah Konstitusi (MK) memiliki kekuatan hukum yang sama dengan amar putusan, sehingga bersifat final dan mengikat serta berlaku untuk semua pihak secara langsung (erga omnes).

"Pertimbangan hukum MK sama mengikatnya dengan amar putusan. Jika DPR mengatur hal yang berbeda dari pertimbangan hukum MK, maka norma tersebut bisa dianggap inkonstitusional dan dapat dibatalkan melalui pengujian di MK," ujar Titi di Jakarta, Rabu.

Titi menegaskan putusan MK harus diikuti oleh semua pihak. "Jika tidak diikuti, akan terjadi pembangkangan konstitusi. Jika dibiarkan, Pilkada 2024 bisa dianggap inkonstitusional dan tidak sah," katanya. Pernyataan ini disampaikan Titi sebagai tanggapan terhadap Revisi Undang-Undang (RUU) Pilkada yang sedang dibahas di Badan Legislasi (Baleg) DPR RI.

Titi menjelaskan bahwa RUU Pilkada sebenarnya adalah naskah lama yang telah disahkan pada Rapat Paripurna DPR RI pada November 2023 sebagai inisiatif DPR. RUU ini bertujuan untuk memajukan jadwal pilkada dari November ke September 2024, tetapi rencana ini terhambat oleh Putusan MK Nomor 12/PUU-XXII/2024 yang menetapkan bahwa jadwal pilkada tidak boleh diubah dari yang telah diatur dalam UU Pilkada, yaitu November 2024.

Dia menekankan putusan-putusan MK terkait pilkada perlu diakomodasi dalam RUU tersebut. Oleh karena itu, Titi mengingatkan agar revisi terbatas ini tidak menyimpangi putusan MK, termasuk putusan terbaru pada 20 Agustus 2024 mengenai syarat usia calon kepala daerah dan ambang batas pencalonan.

"Jika revisi ini menyimpang dari putusan MK yang baru, itu merupakan pembangkangan konstitusi yang dapat merusak pelaksanaan pilkada," kata Titi. Jika RUU Pilkada benar-benar menyimpang dari putusan MK, Titi menyebutkan bahwa publik atau pihak-pihak terkait bisa menggugat ke MK, yang bisa menyebabkan pilkada menjadi kacau dan merusak citra DPR serta Pemerintah.

Titi menambahkan bahwa ketidakpuasan publik bisa menyebabkan perlawanan, bahkan boikot terhadap pilkada yang tidak mengikuti putusan MK, yang sebenarnya mengandung prinsip-prinsip baik untuk praktik demokrasi lokal di Indonesia.

Sebelumnya, MK dalam Putusan Nomor 70/PUU-XXII/2024 memutuskan syarat usia calon kepala daerah dihitung sejak penetapan pasangan calon oleh KPU, bukan sejak pelantikan pasangan calon terpilih. MK juga memberikan ultimatum kepada KPU untuk mematuhi pertimbangan ini. Jika KPU tidak mematuhi, calon kepala daerah yang tidak memenuhi syarat bisa dinyatakan tidak sah oleh MK jika ada sengketa hasil pilkada.

MK juga memutuskan dalam Putusan Nomor 60/PUU-XXII/2024 untuk mengubah ambang batas pencalonan kepala daerah, membatalkan Pasal 40 ayat (3) UU Pilkada, dan menyatakan Pasal 40 ayat (1) UU Pilkada inkonstitusional bersyarat. Keputusan ini membolehkan partai politik tanpa kursi di DPRD untuk mencalonkan pasangan calon kepala daerah, dengan syarat pengusulan berdasarkan hasil perolehan suara sah dalam pemilu di daerah tersebut, berkisar antara 6,5 hingga 10 persen. (ant)
 
 


Berita Lainnya