Laporan Haji 2024

Pahami Hakikat Haji sebelum ke Tanah Suci

Dani Tri Wahyudi — Satu Indonesia
17 Juni 2024 13:30
Pahami Hakikat Haji sebelum ke Tanah Suci
Anak-anak sekolah tengah memperagakan thawaf dalam latihan manasik haji. Di Indonesia, mimpi untuk pergi berhaji telah dibangun sejak dini.

JAKARTA - Haji adalah perjalanan spiritual menuju Baitullah (rumah Allah) di Tanah Suci Makkah, bukan sekadar perjalanan fisik. Oleh karena itu, tidak perlu menghalalkan segala cara untuk bisa pergi ke sana, karena Baitullah yang sejati ada di dalam hati. Haji merupakan penyempurnaan penghambaan diri kepada Sang Khalik, sehingga penting untuk melaksanakannya dengan kesadaran rohani yang mendalam.

Sebagai rukun Islam kelima, ibadah haji tidak dapat ditunaikan oleh semua umat Islam karena berbagai faktor seperti jarak, biaya, dan birokrasi yang ketat, termasuk antrean panjang yang bisa mencapai puluhan tahun. Memiliki uang saja tidak cukup untuk pergi haji karena ada banyak persyaratan yang harus dipenuhi, termasuk kesehatan tubuh dan terbatasnya kuota.

Indonesia, dengan populasi muslim terbesar di dunia, memiliki sekitar 240,62 juta muslim pada 2023, yang setara dengan 86,7 persen dari total populasi nasional sebanyak 277,53 juta jiwa. Kuota haji Indonesia tahun ini adalah 241.000 orang, terdiri dari 213.320 orang untuk haji reguler dan 27.680 orang untuk haji khusus. Meski ini adalah kuota haji terbanyak dalam sejarah Indonesia, jumlah ini masih kecil dibandingkan dengan antrean yang mencapai 5,3 juta pendaftar.

Obsesi kaum muslim untuk berhaji sangat tinggi, bahkan di kalangan kurang mampu yang gigih mengumpulkan uang receh selama bertahun-tahun demi bisa pergi ke Makkah. Ada yang berjuang mati-matian dengan segala keterbatasan, sementara ada juga yang bisa naik haji berkali-kali karena kelimpahan ekonomi, yang mungkin "menyerobot" antrean dan mengambil kuota orang lain.

Menghormati masa tunggu jutaan orang yang berharap bisa berangkat haji, berhaji berkali-kali, meskipun tidak dilarang dalam agama, bisa dianggap sebagai "dosa sosial besar" karena sikap egoisnya yang menghilangkan kesempatan orang lain untuk beribadah. Ibadah yang dilakukan dengan niat murni untuk Allah semata tentu tidak akan dilakukan dengan cara curang karena hal itu bisa menodai keutamaannya.

Nabi Muhammad SAW sendiri tidak pernah menggunakan gelar "haji", karena arti haji secara harfiah adalah pengunjung atau orang yang sengaja mengunjungi (Baitullah), sehingga sebutan itu hanya relevan selama jemaah berada di Makkah. Konon, tanah suci hanya menerima tamu Allah yang datang dengan niat bersih tanpa motivasi duniawi. Jika syarat ini tidak terpenuhi, calon haji bisa mendapatkan "teguran" langsung dari Allah melalui berbagai isyarat atau perilaku aneh dan tidak lazim.

Setiap tahun, sekitar 1,8 juta umat Islam dari berbagai negara menunaikan ibadah haji di Makkah al-Mukarramah. Sepulangnya, jemaah, khususnya dari Indonesia, sering menyandang gelar "haji". Namun, tidak semua jemaah memperoleh predikat haji yang mabrur, yaitu haji yang diterima oleh Allah SWT.

Esensi haji

Jika Anda termasuk yang belum sempat berangkat haji karena alasan ekonomi atau giliran yang belum datang, jangan berkecil hati atau patah semangat meskipun antreannya begitu panjang.

Perjalanan haji ke Tanah Suci adalah ibadah ritual syari'ah, di mana kaum muslim bertamu ke Baitullah dalam wujud fisik, yaitu Ka'bah. Agar ibadah tersebut memiliki nilai dan esensi, seseorang harus hadir dengan kesadaran sepenuhnya, baik secara fisik, pikiran, maupun rohani. Tidak ada hal-hal duniawi seperti pekerjaan, harta benda, kebun, atau ternak yang mengganggu kekhusyukan beribadah.

Alangkah ruginya jemaah yang sudah berkesempatan ke negeri para rasul itu namun menyia-nyiakan waktu karena tidak menghadirkan diri sepenuhnya. Padahal, ada jutaan orang yang terus berdoa dalam masa tunggunya untuk bisa segera pergi haji. Bagi Anda yang sungguh-sungguh ingin berhaji, jangan hanya berfokus menunggu panggilan untuk diberangkatkan ke Makkah. Sebelum obsesi itu tercapai, Anda bisa berhaji secara esensi. Kita bisa berhaji kapan saja, tanpa biaya, tanpa ke mana-mana, karena pada hakikatnya rumah Allah amatlah dekat.

Haji bukanlah perjalanan dari Jakarta (atau kota tempat kita tinggal) ke Makkah, melainkan perjalanan meniti ke dalam diri terdalam, sebab Baitullah yang sejati itu ada di dalam qalbu. Seperti sabda Nabi SAW, "Qalbu mukmin Baitullah," qalbu orang yang beriman adalah rumah Allah.

Hal ini diperkuat dengan beberapa ayat dalam Al-Quran yang menegaskan Allah itu dekat, bahkan sangat dekat. Dalam Surat Al-Baqarah ayat 186 disebutkan, "Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu (Muhammad) tentang Aku, maka sesungguhnya Aku dekat..."

 Kemudian dalam Surat Qaf ayat 16, "...dan Kami lebih dekat kepadanya daripada urat lehernya." Karena qalbu merupakan bagian terdalam dari diri kita, perjalanan ke sana harus terlebih dulu menembus jasad (lapisan terluar dari diri), kemudian melalui jiwa, baru sampai ke qalbu. Artinya, dalam beribadah tidak lagi sekadar aktivitas fisik pada tataran ritual. Lebih dari itu, ibadah adalah pengabdian kepada Sang Pencipta, hingga mampu menggetarkan jiwa karena kesadaran rohani yang menyala.

Selanjutnya, berhaji secara hakiki dapat memetik hikmah dari serangkaian ritual seperti thawaf, sa’i, hingga wukuf. Thawaf dilakukan dengan mengelilingi Ka'bah sebanyak tujuh kali dari samping kiri atau melawan arah jarum jam dan dimulai dari Hajar Aswad. Hajar Aswad berbentuk menyerupai kemaluan wanita, dan mencium batu hitam itu adalah simbol mencintai orang tua, untuk menyadarkan bahwa kita pernah berada dalam rahim ibu.

Rangkaian haji adalah napak tilas jejak ibu (Hajar Aswad), bapak (Maqam Ibrahim), dan anak (Ismail dalam Sa'i). Ketiganya adalah potret rumah tangga harmonis yang mampu membangun "baiti jannati" (rumahku surgaku). Thawaf dilakukan melawan arah jarum jam untuk mengingatkan kita selalu kembali kepada-Nya. Pakaian ihram yang tidak berjahit layaknya kain kafan yang kelak kita kenakan saat meninggalkan dunia fana ini.

Ketika kita kembali ke rumah kesejatian, kita harus melepaskan semua identitas, termasuk pangkat, jabatan, dan status sosial. Pakaian ihram adalah simbol dari lepasnya semua identitas, bahwa manusia semua sama, seorang hamba. Thawaf dengan pakaian ihram menggambarkan kesederhanaan, kesetiaan, dan ketaatan seorang hamba kepada Yang Maha Kuasa.

Sa'i mengacu pada perjalanan Hajar, istri Nabi Ibrahim AS, antara bukit Safa dan Marwah yang mencari air untuk putranya Ismail AS. Pelajaran dari sa'i adalah tentang kegigihan dalam upaya, pantang menyerah, dan kepercayaan pada kuasa Tuhan. Puncak haji adalah wukuf di Padang Arafah. Wukuf berarti berdiam, hening, dan kosong, mengosongkan pikiran dan hanya menyisakan tempat bagi Allah untuk bersemayam di dalamnya.

Padang Arafah berarti tempat mengenal, yang bisa diartikan sebagai lokasi fisik maupun sebagai ilustrasi. Di dalam diri manusia terdapat qalbu, tempat terbaik untuk mengenal Tuhan. Mengambil dan mengamalkan makna dari seluruh rangkaian ritual haji akan menjadikan kita manusia mulia. Jika tidak mabrur, perjalanan haji ke tanah suci tanpa kesadaran rohani bisa jadi tidak ada bedanya dengan wisata religi belaka. (ant)
 
 


Berita Lainnya