Nasional

MK Tegaskan Orang Tua Cerai Ambil Paksa Anak Kena Pidana

Dani Tri Wahyudi — Satu Indonesia
16 hours ago
MK Tegaskan Orang Tua Cerai Ambil Paksa Anak Kena Pidana
Ilustrasi orang tua cerai berebut hak asuh anak

JAKARTA - Mahkamah Konstitusi (MK) menegaskan orang tua kandung yang mengambil anak secara paksa tanpa hak atau izin dapat dikenakan pidana, karena tindakan tersebut melanggar Pasal 330 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Pernyataan ini disampaikan oleh Hakim Konstitusi Arief Hidayat saat membacakan putusan dalam Perkara Nomor 140/PUU-XXI/2023, yang menguji materi Pasal 330 ayat (1) KUHP.

Arief menjelaskan, jika pengambilan anak oleh orang tua kandung yang tidak memiliki hak asuh berdasarkan keputusan pengadilan dilakukan tanpa izin atau sepengetahuan orang tua pemegang hak asuh, apalagi dengan paksaan atau ancaman, maka tindakan tersebut dapat dikategorikan melanggar Pasal 330 ayat (1) KUHP.

Perkara ini diajukan oleh lima ibu yang mengalami situasi serupa, yakni Aelyn Hakim, Shelvia, Nur, Angelia Susanto, dan Roshan Kaish Sadaranggani. Mereka merasa bahwa frasa "barang siapa" dalam Pasal 330 ayat (1) KUHP menimbulkan ketidakpastian hukum. Berdasarkan pengalaman mereka, frasa tersebut memungkinkan interpretasi bahwa orang tua kandung tidak bisa dimintai pertanggungjawaban atas penculikan anaknya sendiri.

Kelima pemohon adalah ibu yang bercerai dan memiliki hak asuh anak berdasarkan putusan pengadilan, namun anak mereka diduga dibawa kabur oleh mantan suami. Ketika mereka melaporkan perbuatan tersebut kepada kepolisian dengan mengacu pada Pasal 330 ayat (1) KUHP, laporan mereka tidak diproses karena pelaku adalah ayah kandung anak tersebut.

Para pemohon meminta agar MK mengganti frasa "barang siapa" dalam pasal tersebut menjadi "setiap orang tanpa terkecuali ayah atau ibu kandung dari anak." Namun, Mahkamah menjelaskan bahwa frasa "barang siapa" dalam Pasal 330 ayat (1) KUHP sudah mencakup siapa saja, termasuk ayah atau ibu kandung.

MK menegaskan bahwa penerapan Pasal 330 ayat (1) KUHP memerlukan bukti bahwa pelaku mengambil anak tanpa seizin orang tua yang memiliki hak asuh, termasuk jika pelakunya adalah orang tua kandung. Mahkamah juga menyatakan bahwa ketentuan ini sudah cukup jelas dan tidak perlu ditambahkan makna baru.

Oleh karena itu, MK menolak permohonan pemohon untuk mengganti frasa tersebut. Ketua MK, Suhartoyo, menegaskan bahwa dalil para pemohon tidak beralasan secara hukum.

Namun, Hakim Konstitusi M. Guntur Hamzah memberikan pendapat berbeda (dissenting opinion). Menurutnya, MK seharusnya mengabulkan sebagian permohonan, karena pada kenyataannya, Pasal 330 ayat (1) KUHP menimbulkan kebingungan dalam penafsiran di kalangan penegak hukum. (ant)
 


Berita Lainnya