Pemilu 2024

Mengenang PPP, Parpol "Zaman Old" yang Terdegradasi dari DPR RI

Dani Tri Wahyudi — Satu Indonesia
12 Juni 2024 17:30
Mengenang PPP,  Parpol "Zaman Old" yang Terdegradasi dari DPR RI
Sejumlah simpatisan Partai Persatuan Pembangunan (PPP) meneriakkan yel-yel saat mengikuti kampanye terbuka di halaman Lapangan Mandala Krida, Yogyakarta, Rabu (25/3).

SEMARANG - Pada era Orde Baru, Partai Persatuan Pembangunan (PPP) pernah menjadi lawan tangguh Golkar, yang mendominasi hampir seluruh level legislatif, terutama di DPR.

Meskipun secara nasional PPP selalu kalah telak, partai yang kala itu berlambang bintang tersebut masih mampu meraih kemenangan bergengsi di provinsi-provinsi yang selalu menjadi ajang persaingan sengit dengan Golkar. Pada Pemilu 1977, misalnya, PPP menang di D.I. Aceh dan DKI Jakarta. Kemenangan ini sangat fenomenal mengingat saat itu Golkar, yang tidak menyebut dirinya partai, tetapi menjalankan fungsi partai sepenuhnya, didukung oleh tiga pilar yang sangat kuat: ABRI, birokrasi, dan Golkar.

"Vokalis-vokalis" parlemen, seperti Aisyah Aminy dan Ridwan Saidi, menyuarakan semangat oposisi PPP di tengah sistem politik yang represif. Sebelum Reformasi 1998, secara nasional, perolehan suara PPP dari pemilu ke pemilu selalu berada di posisi kedua di bawah Golkar, dengan selisih yang sangat signifikan. Bahkan, akumulasi kursi PPP dan PDI di DPR dan MPR tidak mampu mengimbangi dominasi Golkar. Namun, selama era Orde Baru, PPP tetap eksis, dan kiprah para politikusnya mampu mewarnai dinamika politik yang sebenarnya monolitik.

Pada Pemilu 1999, yang diikuti 48 partai dan dianggap sebagai salah satu pemilu paling demokratis di Indonesia, PPP tetap eksis dan berada di posisi keempat dengan meraih 11.329.905 suara dan menempatkan 59 wakilnya di DPR. Dalam perjalanan pemilu-pemilu selanjutnya, perolehan suara PPP fluktuatif. Konflik internal dan kasus korupsi yang menjerat dua ketua umumnya (Suryadharma Ali dan M. Romahurmuziy) mencoreng nama partai dan menggerus perolehan suara PPP.

Puncaknya, pada Pemilu 2024, perolehan suara PPP hanya 3,87 persen atau 5.878.777 suara. Karena di bawah ambang batas minimal parlemen 4 persen, PPP gagal mengirimkan wakilnya ke DPR RI. Upaya hukum untuk menggugat hasil Pemilu 2024 ke Mahkamah Konstitusi sejauh ini juga tidak membuahkan hasil. Tampaknya sudah tidak ada jalan lain bagi PPP untuk bisa menempatkan wakilnya di DPR RI untuk periode 2024-2029.

Inilah kali pertama sejak Pemilu 1977 PPP gagal menempatkan wakilnya di DPR RI. PPP, yang merupakan fusi dari empat partai Islam (Partai NU, Perti, PSII, dan Parmusi), kini harus melakukan konsolidasi untuk mengembalikan martabatnya sebagai partai "nasional". Hasil survei berbagai lembaga riset politik menjelang Pemilu 2024 menunjukkan kondisi PPP yang kritis. Beberapa hasil survei menunjukkan perolehan suara sedikit di atas 4 persen, sementara lainnya di bawah 4 persen. Namun, sinyal suram ini bukannya disikapi dengan memperkuat konsolidasi internal, tetapi justru sebaliknya.

Menjelang pemilu, partai ini dilanda kemelut. Ketua Umum Suharso Monoarfa tiba-tiba diganti oleh M. Mardiono. Padahal, pada saat bersamaan, sejumlah partai besar sedang intens menggalang konsolidasi internal menghadapi Pemilu 2024. Keputusan PPP untuk mendukung capres-cawapres usungan PDIP, Ganjar Pranowo-Mahfud Md., dianggap sebagai langkah yang keliru. Dukungan ini diperkirakan turut menurunkan suara PPP.

Keputusan elite PPP bergabung dengan capres nomor urut 3 itu tidak sepenuhnya diterima oleh kader dan simpatisan di akar rumput. Banyak di antara mereka memilih mendukung capres-cawapres Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar (nomor urut 1) dan Prabowo-Gibran (nomor urut 2). Perolehan suara Ganjar-Mahfud Md. pada Pilpres 2024 yang hanya 16,47 persen menunjukkan bahwa banyak pemilih tradisional PDIP dan PPP justru memberikan dukungan kepada capres-cawapres lain dan mungkin juga memilih partai lain yang mendukung Anies-Muhaimin dan Prabowo-Gibran.
 
 Masa depan PPP

Setelah gagal menempatkan wakilnya di DPR RI pada Pemilu 2024, apakah masih ada masa depan bagi PPP? Pertanyaan ini memang layak diajukan, mengingat dua partai yang pernah masuk DPR RI lalu tersingkir karena gagal memenuhi ambang batas parlemen belum ada yang berhasil bangkit kembali. Contohnya, Partai Bulan Bintang (PBB) dan Hanura pada Pemilu 2024 masing-masing hanya meraih 0,32 persen dan 0,72 persen suara. Rendahnya perolehan suara ini menunjukkan keduanya tidak memiliki infrastruktur organisasi yang solid hingga ke akar rumput, ditambah keterbatasan sumber daya finansial yang menjadi kendala dalam persaingan politik yang ketat. Dengan luasnya wilayah dan jumlah penduduk Indonesia, setiap partai dituntut memiliki dana dan infrastruktur di semua lini hingga tingkat rukun tetangga (RT).

Namun, posisi PPP tidak bisa disamakan dengan PBB dan Hanura, baik dari segi sejarah, infrastruktur partai, maupun kuatnya ikatan emosional (militansi) para kader terhadap partai yang sama-sama berbasis massa Islam tersebut. PPP, yang berdiri pada 5 Januari 1973, telah berusia lebih dari setengah abad dan memiliki struktur kepengurusan partai hingga ke tingkat kabupaten/kota. PPP juga memiliki sayap-sayap partai yang aktif. Sebagian besar DPRD di kabupaten/kota dan provinsi masih menyisakan wakil rakyat dari PPP, bahkan ada yang sangat kuat seperti di Jepara, Jawa Tengah. Dari sisi popularitas, "merek" PPP juga masih kuat dibandingkan dengan partai-partai lain yang gagal menembus DPR RI.

Meski tidak lagi menempatkan wakilnya di DPR RI, berdasarkan hasil Pemilu 2024, PPP masih memiliki 80 kursi DPRD provinsi dan sekitar 800 kursi DPRD kabupaten/kota se-Indonesia. Masih eksisnya wakil rakyat PPP di DPRD provinsi dan kabupaten/kota dari hasil Pemilu 2024 setidaknya masih menyisakan "jembatan" antara rakyat dengan partai. Modal ini bisa digunakan untuk merawat kantong-kantong tradisional suara partai.

Menyadari besarnya potensi suara PPP, Sekjen PPP Muhamad Arwani Thomafi dalam Rapimnas pada 6 Juni lalu menekankan kesiapan PPP menyongsong masa depannya. PPP akan fokus memperkuat keorganisasian dan eksistensi partai pasca-Pemilu 2024. Jika struktur partai dari DPP hingga level terbawah bisa bergerak dengan satu tujuan merebut kembali pemilih lama dan membangun kantong-kantong baru berbasis pemilih muda, peluang para politikus PPP kembali ke Senayan tetap terbuka.

Dengan rekam jejak panjang sebagai partai yang menempatkan wakilnya di semua tingkatan, PPP memiliki peluang untuk mengirim kembali wakil-wakilnya ke DPR RI pada Pemilu 2029. (ant)
 
 


Berita Lainnya