Gerakan Coblos Tiga Paslon di Pilkada Jakarta, Wujud Protes Sosial
Oleh: Musni Umar, Sosiolog
JAKARTA - Dalam negara demokrasi rakyat punya hak untuk protes jika dalam pelaksanaan demokrasi dinilai ada ketidakjujuran (dishonesty) dan ketidakadilan (injustice).
Gerakan sosial yang sekarang ini sedang ramai di media sosial "Anak Abah Tusuk 3 Paslon". Itu terjadi tengah persaingan tiga pasang calon gubernur-wakil gubernur Daerah Khusus Jakarta. Menurut saya, hal tersebut merupakan ekspresi demokrasi warga Jakarta yang menolak proses demokrasi penetapan calon bakal calon Gubernur Jakarta yang dinilai ada ketidakjujuran (dishonesty) dan ketidakadilan (injustice).
Sejatinya para calon gubernur Daerah Jakarta adalah mereka yang diinginkan oleh warga Jakarta seperti tercermin dalam berbagai survei yang dilakukan berbagai lembaga yang kredibel, bukan yang ditetapkan oleh partai-partai politik.
Realitas politik dalam penetapan calon gubernur Daerah Khusus Jakarta, antara yang diinginkan warga Jakarta berbeda yang diputuskan oleh partai politik. Sejatinya Anies Baswedan dan Basuki T. Purnama alias Ahok, menjadi calon gubernur Jakarta karena hasil survei dari berbagai lembaga survei kedua tokoh tersebut paling tinggi elektabilitasnya. Tetapi yang dicalonkan menjadi calon Gubernur Jakarta adalah tokoh yang "kurang diharapkan" publik Jakarta.
Calon Titipan Istana
Persepsi publik bahwa yang dicalonkan menjadi gubernur Jakarta baik dari Koalisi Indonesia Maju (KIM) Plus maupun dari PDIP adalah calon titipan istana. Begitu pula calon independen yang diloloskan. Hal itu, dapat dipahami karena Pramono Anung adalah sekretaris kabinet yang hampir 10 tahun mendampingi Presiden Jokowi.
Begitu juga Ridwan Kamil (RK) dikenal dekat dengan Presiden Jokowi. Bahkan sebuah sumber menyebutkan bahwa jauh sebelum pencalonan pilkada, dalam sebuah pertemuan konsultasi antara Presiden Jokowi dengan pimpinan partai-partai politik sudah disebutkan RK bakal dicalonkan menjadi calon gubernur Jakarta untuk menyaingi dan mengalahkan Anies Baswedan.
Oleh karena tidak ada jaminan Anies bisa dikalahkan dalam Pilkada Jakarta, maka harus disingkirkan dalam proses pencalonan dengan tidak ada partai politik yang mencalonkannya. Di duga bergabungnya 12 partai politik dalam KIM Plus adalah untuk mengganjal Anies menjadi calon gubernur Jakarta.
Publik menilai gerakan politik membentuk koalisi besar tidak mungkin berhasil tanpa keterlibatan istana.
Hilangnya Kepercayaan Publik
Dalam negara demokrasi, faktor yang penting ditanamkan ke publik adalah kepercayaan (trust). Dalam politik Indonesia, berkembang dua kelompok. Pertama, percaya buta. Apa pun yang dikatakan Presiden Jokowi adalah benar. Kedua, tidak percaya omongan Presiden Jokowi.
Kelompok pertama "percaya buta" apa pun yang dikatakan Presiden Jokowi benar. Pada umumnya mereka itu adalah dari kalangan masyarakat yang kurang pendidikan. Mereka kurang pendidikan dan miskin, sehingga mudah dipengaruhi dengan janji-janji dan praktik politik sembako dan BLT.
Kelompok kedua "masyarakat yang tidak percaya omongan Presiden Jokowi". Mereka ini adalah kalangan berpendidikan seperti mahasiswa, akademisi, pegawai, buruh, kelas menengah dari berbagai kelompok masyarakat. Pada umumnya mereka bermukim di perkotaan.
Dalam praktik demokrasi di Indonesia, isu perubahan yang digulirkan Anies Baswedan yang pendukungnya dari kelompok berpendidikan, dalam pemilu yang sarat politik uang dan diduga curang TSM. Hasilnya amat mengecewakan. Pasalnya, dalam kampanye Anies dihadiri lautan manusia saking ramainya, tetapi hasilnya kalah. Itu karena sebagian besar rakyat Indonesia yang masih kurang pendidikan dan miskin mudah dijinakkan dengan politik uang. Dalam Pemilu Presiden Jokowi terang-terangan melakukan cawe-cawe dengan membagi sembako dan Bantuan Langsung Tunai.(BLT) di tengah-tengah rakyat Indonesia.
Cerdik Pandai Kecewa
Masyarakat yang tercerahkan dan tersadarkan yang pada umumnya dari kalangan berpendidikan, sangat kecewa menyaksikan pengelolaan pemerintahan dan pelaksanaan demokrasi yang sarat korupsi kolusi nepotisme (KKN).
Dampaknya mudah meledak gerakan sosial (social movement). Sebagai contoh gerakan "tolak RUU Pilkada" dengan cepat menjadi gerakan sosial yang masif dan terjadi di hampir seluruh kota di Indonesia. DPR dan Pemerintah akhirnya mengalah. Sehingga Putusan MK Nomor 60 dan 70 yang menganulir pencalonan Kaesang Pangarep sebagai calon gubernur dan calon wakil gubernur yang belum berumur 30 tahun diberlakukan. Demikian pula, syarat pencalonan kepala daerah diturunkan persentasenya dan partai-partai politik non parlemen bisa mencalonkan kepala daerah.
Dalam kaitan dengan Pilkada Jakarta, publik kembali kecewa dan marah. Wujud mereka kecewa dan marah, mereka melakukan protes sosial. Kali ini bukan turun ke jalan, tetapi melakukan protes sosial di media sosial dengan kampanye gerakan "Anak Abah Tusuk 3 Paslon" sebagai ekspresi kekecewaan dan kemarahan atas penjegalan Anies sebagai calon Gubernur Jakarta.
Penyebab terjadinya gerakan sosial "Anak Abah Tusuk 3 Paslon" yang memprotes Pilkada Jakarta, setidaknya ada lima faktor penyebabnya. Pertama, protes ketidakpuasan dalam proses pencalonan Gubernur Jakarta yang dinilai sarat dengan rekayasa untuk menyingkirkan Anies Baswedan dalam proses pencalonan Gubernur Jakarta.
Kedua, ditengarai dalam proses penetapan calon Gubernur Jakarta diduga keras ada "intervensi istana". Masalah tersebut sudah dibantah oleh Presiden Jokowi. Akan tetapi publik tidak percaya, karena pengalaman selama ini, antara yang dikatakan dan dipraktikkan selalu bertolak belakang.
Ketiga, dalam proses pencalonan Gubernur Jakarta, partai politik hanya mengandalkan kepentingannya dengan mengabaikan aspirasi warga Jakarta. Keempat, menurut Titi Anggraini, karena terjadi praktik memborong tiket partai politik yang mengakibatkan keterputusan aspirasi dalam pencalonan pada Pilkada Jakarta 2024. Kelima, menurut pengajar hukum Pemilu UI itu adanya sentralisasi pencalonan dan hegemoni pengurus pusat parpol melalui rekomendasi dari dewan pengurus pusat (DPP) yang wajib membuat banyak ketidakpuasan di sejumlah daerah". (*)