Pilkada 2024

CALS Desak DPR Hentikan Revisi UU Pilkada

Dani Tri Wahyudi — Satu Indonesia
21 Agustus 2024 17:00
CALS Desak DPR Hentikan Revisi UU Pilkada
Tangkapan layar - Anggota Dewan Pembina Perludem Titi Anggraini saat memaparkan materi dalam webinar yang disaksikan dari Jakarta, Minggu (4/8/2024).

JAKARTA - Constitutional and Administrative Law Society (CALS), sebuah kelompok yang terdiri dari akademisi dan masyarakat sipil yang fokus pada hukum konstitusi, mendesak DPR RI dan pemerintah untuk menghentikan pembahasan revisi Undang-Undang Pemilihan Kepala Daerah (UU Pilkada).

Dalam pernyataan sikap yang disampaikan di Jakarta pada Rabu, Anggota CALS Titi Anggraini meminta agar DPR dan pemerintah mematuhi Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 60/PUU-XXII/2024 dan Putusan MK Nomor 70/PUU-XXII/2024 yang dibacakan pada 20 Agustus 2024.

Setelah dua putusan MK tersebut, Badan Legislasi DPR RI langsung mengadakan rapat kerja untuk membahas Rancangan Undang-Undang (RUU) Pilkada yang berpotensi merevisi UU Pilkada. CALS khawatir tindakan DPR ini bisa membatalkan dua putusan MK tersebut terkait aturan pilkada.

Menurut CALS, yang mayoritas anggotanya adalah ahli hukum tata negara, Putusan MK Nomor 60/PUU-XXII/2024 memberikan keadilan dan kesetaraan kompetisi bagi semua partai politik, baik yang memiliki kursi di DPRD maupun yang tidak.

"Putusan ini juga membuka peluang bagi calon kepala daerah alternatif untuk bersaing melawan dominasi koalisi besar," kata Titi mewakili CALS. Sementara itu, Putusan MK Nomor 70/PUU-XXII/2024 menegaskan bahwa syarat usia pencalonan kepala daerah harus dihitung sejak penetapan pasangan calon oleh KPU, bukan saat pelantikan calon terpilih, berdasarkan sejarah, praktik, dan perbandingan dengan pemilihan lainnya.

CALS juga meminta para elit politik untuk tidak merubah aturan pilkada dengan cara yang mempersempit ruang kompetisi, menutup pencalonan kandidat alternatif, atau membentuk koalisi besar yang mendominasi.

KALS meminta Komisi Pemilihan Umum (KPU) untuk segera menindaklanjuti kedua putusan MK tersebut. Pernyataan sikap ini didukung oleh 27 akademisi dan praktisi, termasuk Aan Eko Widiarto, Alviani Sabillah, Auliya Khasanova, Beni Kurnia Illahi, Bivitri Susanti, Charles Simabura, Denny Indrayana, Dhia Al-Uyun, Fadli Ramadhanil, Feri Amsari, Herdiansyah Hamzah, Herlambang P. Wiratman, Hesti Armiwulan, Idul Risha, Iwan Satriawan, Mirza Satria Buana, Muchamad Ali Safa’at, Muhammad Nur Ramadhan, Pery Rehendra Sucipta, Richo Andi Wibowo, Susi Dwi Harijanti, Taufik Firmanto, Titi Anggraini, Violla Reininda, Warkhatun Najidah, Yance Arizona, dan Zainal Arifin Mochtar. (ant)
 
 


Berita Lainnya