Opini
Silfester, Jaksa Agung dan Presiden Cemen
Catatan Rizal Fadilah

PUTUSAN MA No 287 K/Pid/2019 tanggal 20 Mei 2019 atas Silfester Matutina yang mendapat vonis penjara 1 tahun 6 bulan menjadi berkekuatan hukum pasti (inkracht). Tapi hingga kini 19 September 2025 belum juga dieksekusi. Fantastik enam tahun empat bulan Silfester dibiarkan berkeliaran bahkan sebagai terhukum bisa diangkat sebagai Komisaris BUMN.
Adalah Erick Thohir yang mengangkat Silvester Matutina menjadi Komisaris PT Rajawali Nusantara Indonesia (ID Food). Berkeliaran bebas, ngoceh sana sini di berbagai media, serta menjadi pejabat di perusahaan BUMN, merupakan perbuatan nyata atas pelecehan hukum. Menjadikan cemen hukum.
Atas desakan rakyat, Kejagung di awal September 2025 memerintahkan Kejari Jaksel untuk mengeksekusi. Tetapi tetap tidak berhasil atau gagal dengan alasan yang tidak jelas. Ada alasan sakit, ada pula alasan menghilang. Silfester Matutina tidak ditemukan, persis seperti tahun 2019 lalu yang juga beralasan hilang, lalu Covid 19 sebagaimana penjelasan mantan Kajari Jaksel dulu Anang Supriatna.
Kini Anang Supriatna menjabat sebagai Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejagung. Namun alih-alih mampu membuat terang kasus eksekusi Silfester, yang muncul adalah ruang gelap. Adakah dalam kasus ini ada berbagai hubungan gelap yang melibatkan Jokowi sebagai Presiden, Jagung saat itu M Prasetyo yang pada tahun yang sama digantikan ST Burhanudin, serta Anang Supriatna sendiri Kajari Jakarta Selatan ?
Ketimbang eksekusi Silfester sebagai persoalan hukum, justru kasus ini ditengarai sangat kuat adanya kepentingan politik. Silfester Ketum Solmet adalah pendukung utama Joko Widodo. Dia tampak dilindungi habis oleh Jokowi, bahkan candaan orang keberadaannya kini pasti disembunyikan di bunker bawah tanah rumah Jokowi di Solo.
Hukum menjadi alat kepentingan politik. Di samping kasus Silfester, kasus lain juga hukum diinjak-injak seperti ijazah palsu Jokowi, KM 50, nepotisme, korupsi, kecurangan pemilu, dan lainnya.
Indonesia sebagai negara hukum (rechtsstaat) hanya semantik. Praktiknya adalah negara kekuasaan (machtstaat). Karena membawa kepada negara kekuasaan, maka penyelenggara negara dinilai telah melanggar UUD 45. Tanpa adanya kesadaran untuk kembali atau meluruskan, maka Presiden Prabowo ikut terseret dalam dosa politik berjamaah dalam mencemenkan atau melecehkan hukum.
Pilihan sehat tak ada lain yakni tangkap dan penjarakan Silfester Matutina atau copot Jaksa Agung ST Burhanudin. Jika Matutina masih berkeliaran dan Jagung masih tidak dicopot, maka yang didesak untuk dicopot adalah Presiden Prabowo. Secara konstitusional Pasal 7A memberi ruang untuk memakzulkan Presiden dan/atau Wakil Presiden.
Jika Silfester dibiarkan oleh Jaksa Agung untuk memperlakukan hukum sebagai cemen, maka ST Burhanudin adalah Jaksa Agung cemen. Begitu juga Prabowo yang jika tidak berdaya oleh hubungan gelap politik Silvester dengan Jokowi. Maka sangat pantas untuk juga digelari sebagai Presiden cemen. (penulis adalah pemerhati politik dan kebangsaan)