Opini
Pembatalan PSN di PIK 2: Akhir Masalah atau Justru Awal Babak Baru?
Langkah Berani atau Strategi Politik?

PEMERINTAHAN Prabowo Subianto akhirnya mengumumkan daftar baru Proyek Strategis Nasional (PSN) dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2025-2029 yang tertuang dalam Peraturan Presiden No. 12 Tahun 2025. Dari 77 proyek yang terdaftar, 29 merupakan proyek baru, sedangkan 48 lainnya merupakan proyek carry over dari pemerintahan sebelumnya. Namun, yang menarik perhatian adalah penghapusan beberapa proyek kontroversial, termasuk Pengembangan Kawasan Ekowisata Tropical Coastland di PIK 2, Banten.
Langkah ini menuai berbagai spekulasi. Apakah ini tanda keberpihakan kepada rakyat? Ataukah hanya strategi politik untuk menghindari konflik sosial? Bagaimanapun, pembatalan PSN di PIK 2 belum tentu menjadi akhir dari permasalahan yang melilit proyek ini.

Mengapa PSN di PIK 2 Dibatalkan?
Penolakan terhadap proyek ini bukan sekadar isu lingkungan atau dampak sosial, tetapi juga menyangkut dugaan penyalahgunaan status PSN oleh pengembang. Status PSN sering dijadikan "tameng" oleh pihak swasta untuk melakukan berbagai praktik yang kontroversial:
Penggusuran paksa dan intimidasi terhadap warga setempat agar menjual tanah dengan harga murah.
Manipulasi administrasi pertanahan, termasuk pembuatan sertifikat di wilayah pesisir yang seharusnya tak bisa diklaim secara legal.
Pengurukan dan alih fungsi sungai serta jalan desa, yang berdampak buruk bagi warga sekitar.
Dengan menghapus PSN dari proyek ini, pemerintah seolah mencuci tangan dari keterlibatan negara dalam permasalahan ini. Namun, apakah itu cukup?
Rakyat Masih Menderita, Siapa yang Bertanggung Jawab?
Pembatalan PSN tidak serta merta menyelesaikan masalah yang telah ditimbulkan. Fakta di lapangan menunjukkan bahwa masyarakat di sekitar PIK 2 masih harus menghadapi dampak dari proyek ini:
Banyak warga yang sudah menjual tanahnya dengan harga murah di bawah tekanan. Apakah mereka berhak mendapat kompensasi lebih?
Masih adanya sertifikat tanah yang bermasalah dan dugaan praktik mafia tanah di kawasan tersebut.
Kerusakan lingkungan akibat reklamasi dan pengurugan sungai serta lahan pesisir yang telah terjadi.
Keputusan Komisi II DPR RI yang menerima aspirasi masyarakat dalam pertemuan pada 4 Maret 2025 diharapkan menjadi momentum penting dalam menyelesaikan konflik ini. Namun, tanpa keberpihakan nyata dari pemerintah dalam memberikan solusi konkret, pembatalan PSN hanyalah langkah setengah hati.
Jangan Hanya Hukum Bawahan, Dalangnya Harus Dibongkar!
Kasus sertifikat tanah di pesisir Banten yang berujung pada pemecatan aparat desa memang patut diapresiasi. Tetapi, apakah cukup hanya menghukum pelaku lapangan tanpa mengungkap dalang di balik praktik ini?
Siapa pihak yang memberi izin dan mengakomodasi pengembang dalam memperoleh sertifikat tersebut?
Apakah ada pejabat tinggi yang bermain dalam kasus ini?
Bagaimana dengan perusahaan pengembang yang sudah diuntungkan oleh praktik ini?
Tanpa transparansi dan tindakan hukum yang tegas terhadap aktor intelektual dibalik penyalahgunaan PSN, kasus serupa bisa saja terulang di proyek-proyek lain.
Akhir PSN PIK 2, Tapi Bukan Akhir Perjuangan
Pembatalan PSN di PIK 2 bukanlah akhir, melainkan awal dari perjuangan baru. Masyarakat Banten masih harus memastikan bahwa:
Hak atas tanah yang dirampas dikembalikan secara adil.
Rehabilitasi lingkungan dilakukan untuk mengembalikan ekosistem yang rusak.
Hukum ditegakkan tanpa pandang bulu terhadap mereka yang bermain dalam proyek ini.
Jika tidak, pembatalan PSN hanyalah formalitas tanpa makna. Pemerintah Prabowo harus membuktikan bahwa mereka berpihak pada rakyat, bukan hanya sekedar menghindari konflik!
Salam perjuangan dari New York
Tata Kesantra
Ketua Umum Forum Tanah Air