Gaya Hidup
Musim Serangan Siber, Kenali Ransomware dan Cara Hindari
JAKARTA - Asisten Profesor dan Koordinator Program Magister Keamanan Siber di Monash University Indonesia, Dr Erza Aminanto, menjelaskan ransomware adalah jenis malware berbahaya yang digunakan oleh peretas untuk mengunci akses ke data korban dan meminta uang tebusan untuk pemulihannya.
“Serangan ransomware di Indonesia tidak hanya menginfeksi komputer, tetapi juga menargetkan perangkat seluler dan Internet of Things (IoT). Ini menunjukkan bahwa seluruh ekosistem digital kita rentan,” kata Aminanto. Dia menjelaskan, bahkan negara-negara maju seperti Inggris, yang memiliki lembaga siber kuat dan akademisi ahli, tidak kebal terhadap serangan ransomware. Seperti virus yang bermutasi, ransomware mengeksploitasi kemajuan teknologi sambil mencari celah kerentanan manusia dalam aktivitas sibernya.
Oleh karena itu, sangat penting bagi setiap negara, termasuk Indonesia, untuk memperkuat keamanan digital melalui peningkatan kualitas manajemen siber para pemangku kepentingan di bidang pengelolaan data terhadap ancaman-ancaman terkait. Contoh nyata dari bahaya ransomware adalah serangan di Inggris pada awal Juni 2024 yang berdampak buruk hingga mengancam ratusan jiwa. Serangan ini melumpuhkan layanan kesehatan di beberapa rumah sakit dan pusat patologi, menyebabkan layanan donor darah terhenti selama berhari-hari. Situasi mendesak ini digunakan para peretas untuk menekan korban agar memenuhi tuntutan mereka.
Indonesia juga menghadapi ancaman serupa, meskipun rincian dan kronologi awal serangan belum sepenuhnya jelas. “Krisis ini mempertegas pentingnya membangun sistem keamanan siber yang kuat dan responsif untuk melawan serangan ransomware yang semakin canggih,” kata Aminanto. Aminanto menuturkan, dari perspektif keamanan siber, salah satu cara ransomware menyusup adalah melalui pencurian data pribadi via email (phishing email) yang tidak terlihat mencurigakan. Setelah berhasil melakukan phishing, peretas mendapatkan akses ke jaringan internal, mengenkripsi data penting, kemudian menguncinya dan mendesak korban untuk membayar uang tebusan.
Besarnya ancaman ransomware terlihat dari tingginya uang tebusan yang diminta dan dampak yang ditimbulkannya, termasuk risiko menghentikan layanan data dan memungkinkan kebocoran informasi sensitif pada serangan lebih lanjut. Lebih lanjut, Aminanto menyebutkan beberapa strategi untuk mencegah serangan ransomware. Pertama, semua data penting harus dicadangkan secara teratur dan disimpan di lokasi terpisah untuk meminimalkan kehilangan data. Cadangan data tersebut harus dienkripsi dan diuji secara rutin untuk memastikan pemulihannya berfungsi segera setelah dibutuhkan.
Kedua, penting untuk memperkenalkan redundansi sebagai upaya mengurangi risiko kegagalan sistem secara keseluruhan. Redundansi dapat mencakup perangkat keras ganda, penyimpanan awan (cloud), atau server cadangan yang siap beroperasi jika sistem utama gagal. Ketiga, membangun Pusat Pemulihan Data, atau data recovery center, yang dapat segera beroperasi jika sistem utama mengalami gangguan. Fasilitas ini harus memiliki infrastruktur yang setara atau lebih baik dari sistem utama demi memastikan kelancaran operasionalnya.
Langkah selanjutnya mencakup peningkatan kepatuhan terhadap aturan dan kode etik, serta penerapan sanksi tegas untuk memastikan semua entitas mengikuti standar keamanan yang ditetapkan. Selain itu, penting juga untuk menggelar pelatihan berkala tentang ancaman dan metode identifikasi serangan siber kepada para petugas terkait yang merupakan garda terdepan dalam menangani ransomware melalui phishing atau bentuk-bentuk serangan sejenis lainnya.
“Kita dapat meminimalisasi dampak kerusakan yang dipicu oleh serangan ransomware melalui identifikasi aktivitas siber yang cepat dan efektif, yakni dengan menggunakan alat pantau jaringan dan sistem deteksi intrusi,” kata Aminanto. Langkah pencegahan lainnya termasuk menggunakan perangkat lunak antivirus dan anti-malware yang diperbarui pada semua perangkat endpoint, termasuk komputer, laptop, ponsel pintar, dan perangkat IoT. Penting juga untuk mengenkripsi data yang dikirim dan disimpan agar informasi sensitif terlindungi dari risiko akses ilegal. Data yang dienkripsi tidak bisa dibaca oleh peretas meskipun mereka berhasil mencurinya.
Namun, menurut Aminanto, menerapkan seluruh langkah keamanan di atas tidaklah mudah, karena juga diperlukan investasi besar dalam infrastruktur, teknologi, dan sumber daya manusia. Di sisi lain, ancaman ransomware terus berkembang, dan para peretas selalu mencari cara baru untuk menembus pertahanan. Oleh karenanya, pendekatan proaktif, adaptif, dan kolaboratif dinilai sangat penting dilakukan sejak dini.
Upaya tersebut juga perlu didukung oleh kolaborasi sektor swasta dan publik, di mana pemerintah harus bekerja sama dengan perusahaan teknologi dan organisasi non-pemerintah untuk berbagi informasi dan sumber daya dalam menghadapi ancaman siber. Inisiatif yang dapat dilakukan mencakup pembentukan pusat tanggap nasional untuk serangan siber, program pelatihan keamanan siber, dan kampanye layanan masyarakat.
Ransomware hanyalah salah satu dari sekian banyak potensi serangan terhadap data penting suatu negara. Aminanto mengatakan, pemerintah harus mempersiapkan teknologi dan sumber daya manusia yang mumpuni untuk menghadapi berbagai serangan, mulai dari pelanggaran keamanan siber kecil hingga perang siber besar.
“Dalam konteks ini, pemerintah harus memanfaatkan teknologi kecerdasan buatan (AI) dan machine learning (ML) untuk meningkatkan keamanan siber. Kecanggihan AI dan ML dapat digunakan untuk menganalisis pola lalu lintas jaringan, mendeteksi anomali, dan merespons insiden secara otomatis," kata Aminanto.
Teknologi tersebut juga dapat membantu forensik siber mengidentifikasi sumber serangan dan memitigasi risiko lebih lanjut. Seiring semakin luasnya pemanfaatan AI dan ML, peraturan dan kebijakan keamanan siber pun harus terus diperbarui untuk mengatasi ancaman yang terus berkembang. Pemerintah harus memastikan peraturan ini tidak hanya mencakup sektor publik tetapi juga sektor swasta, termasuk usaha kecil dan menengah yang sering menjadi target serangan siber.
“Dengan kolaborasi yang kuat, investasi yang tepat, dan komitmen berkelanjutan, kita dapat membangun ekosistem digital yang lebih aman dan tangguh. Ini tugas bersama yang memerlukan partisipasi semua pihak, mulai dari individu, dunia usaha, hingga pemerintah," ujar Aminanto. (ant)