Opini

Ketika Jongos Lebih Hebat dari Tuannya

Catatan Eko Satiya Hushada

Eko Satiya Hushada — Satu Indonesia
1 hour ago
Ketika Jongos Lebih Hebat dari Tuannya
MEWAKILI SIAPA? - Salah satu adegan yang memantik opini negatif rakyat terhadap anggota DPR RI.

RAKYAT Indonesia sedang kecewa, resah. Dan kekecewaan itu bukan isapan jempol belaka. Di jalan-jalan, di ruang-ruang publik, di dapur-dapur keluarga, bahkan di meja warung kopi, kita mendengar keluhan yang sama, hidup semakin sulit, pajak mencekik, pekerjaan makin langka, harga pangan melambung. Lucunya, sebagian elit menyebut rakyat marah karena ditunggangi kepentingan politik. Padahal, amarah itu lahir dari perut yang lapar dan kepala yang pusing memikirkan biaya hidup.

Kenaikan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) di banyak daerah adalah contoh nyata bagaimana negara salah arah. Ketika pusat tak mampu lagi menyalurkan dana transfer daerah dengan besaran seperti tahun-tahun sebelumnya, maka daerah mencari cara instan, yakni memeras rakyat lewat pajak yang melonjak hingga ratusan persen. Seolah-olah rakyat adalah lumbung tak terbatas yang bisa terus diperas. Maka lahirlah anekdot getir,“sebentar lagi, buang angin pun akan kena pajak.”

Lebih ironis lagi, di tengah penderitaan rakyat, pejabat justru pamer kemewahan. Mobil dinas mewah, fasilitas berlimpah, patwal yang memaksa rakyat minggir untuk mereka melintas. Mereka hidup bak bangsawan, sementara rakyat yang memberi mandat diperlakukan seperti rakyat jelata di hadapan “penguasa.” Belum lagi kasus korupsi di Kementerian Tenaga Kerja, yang menambah luka di tengah sulitnya mencari pekerjaan. Wajar kalau rakyat muak, wajar kalau rakyat marah.

Masalahnya bukan sekadar korupsi, tapi paradigma yang salah kaprah, bahwa  pejabat dipandang sebagai “orang besar,” sementara rakyat diposisikan sebagai kelas bawah. Padahal, sejatinya terbalik. Pejabat adalah jongos rakyat. Mereka dipilih, digaji, dan dibiayai dari keringat rakyat untuk bekerja mengurus kepentingan rakyat. Tapi hari ini, jongos justru merasa lebih hebat dari tuannya.

Apakah kita lupa dengan hakikat negara? John Locke dan Rousseau menegaskan, negara adalah hasil perjanjian masyarakat. Max Weber menyebut negara sebagai pemegang monopoli yang sah, tapi tetap dalam bingkai kepentingan rakyat. Miriam Budiardjo mengingatkan, negara adalah organisasi yang diberi kewenangan memaksakan kekuasaan demi tujuan hidup bersama. Artinya, negara bukanlah milik pejabat, tapi instrumen rakyat untuk melindungi, mensejahterakan, dan menegakkan keadilan.

Indonesia memilih Pancasila sebagai dasar. Di atasnya berdiri UUD 1945 yang menegaskan prinsip negara hukum, bahwa supremasi hukum, kesetaraan di hadapan hukum, penghormatan hak asasi manusia (HAM), serta kedaulatan rakyat. Namun prinsip tinggal prinsip bila hukum hanya tajam ke bawah, tumpul ke atas. Bila pejabat melanggar hukum tapi tetap merasa kebal, maka negara berubah menjadi alat penindasan, bukan alat pelayanan.

Dalam Islam, prinsip al-musawah (persamaan) menekankan kesetaraan hak dan kewajiban, tanpa membedakan suku, ras, ataupun status sosial. Itu artinya, tidak boleh ada pejabat yang merasa lebih tinggi dari rakyat. Tidak boleh ada aparat yang menginjak rakyat hanya karena mereka berkuasa.

Maka, sudah saatnya rakyat sadar. Negara ini berdiri bukan untuk memperkaya segelintir orang di kursi empuk kekuasaan. Pemerintahan, apakah itu eksekutif maupun legislatif, adalah mandat rakyat, bukan kerajaan. Penguasa hanyalah pelayan, bukan tuan. Jongos, bukan majikan.

Dan kepada para pejabat, berhentilah pongah. Jangan bertingkah seolah Anda kelas bangsawan yang berhak diprioritaskan. Ingatlah, Anda hanyalah pegawai rakyat, yang gajinya dari pajak rakyat, yang keberadaannya untuk melayani rakyat. Bila jongos merasa lebih hebat dari tuan, sejarah mengajarkan, cepat atau lambat, tuan akan mengambil kembali kuasanya. (penulis adalah pemimpin redaksi satuindonesia.co)


Berita Lainnya