Opini
Imam Masjid Istiqlal Buat Blunder, Sesatkan Umat Islam?
Oleh: Musni Umar*
JAKARTA - Imam dalam Islam memiliki makna atau arti sebagai pemimpin (ledaer) umat Islam, yang memiliki kedudukan yang tinggi dan terhormat. Dalam arti sempit, imam (إمام Imām) adalah pemimpin salat berjamaah.
Di kalangan Sunni, kalimat imam sinonim dengan kalimat Khalīfah. Sedang di kalangan Syi'ah, imam adalah seorang pemimpin yang memiliki kedudukan tertinggi dalam negara dan berhak atas kepemimpinan politis dan otoritas keagamaan. Imam juga dianggap sebagai teladan yang harus diikuti oleh umat, seperti yang dicontohkan oleh Rasulullah SAW.
Dari makna imam yang dikemukakan di atas, dapat dikemukakan bahwa imam dalam arti sempit "imam salat berjamaah" maupun pengertian imam di kalangan Sunni yang mayoritas dianut oleh bangsa Indonesia maupun pengertian imam di kalangan Syi'ah, adalah pemimpin agama yang diikuti dan diteladani perkataannya, perbuatannya dan tindak-tanduknya.
Beri Contoh dan Teladan
Menurut saya, masyarakat Islam Indonesia menganggap "imam" sebagai pemimpin agama yang diikuti dan diteladani. Apalagi dengan embel-embel "imam besar".
Dalam kaitan dengan " Imam Besar Masjid Istiqlal, negara melalui Presiden RI memberi pengukuhan dengan Surat Keputusan Presiden RI seperti halnya Surat Keputusan kepada para menteri, anggota DPR dan pejabat negara lainnya.
Kedudukan imam besar tidak saja dimaknai oleh umat Islam sebagai pemimpin agama yang tinggi dan terhormat, tetapi mengandung konsekuensi, perkataan, perbuatan, tingkah laku dan sikap politiknya diikuti.
Pertanyaannya, apa perkataan, perbuatan, tindak laku dan sikap politik Imam Besar Nasaruddin Umat dalam menerima Paus Fransiskus di Masjid Istiqlal Jakarta patut dicontoh dan diteladani?
Kelewat Batas dan Menyesatkan
Sebagai Imam Besar Masjid Istiqlal, tidak sedikit masyarakat Indonesia yang menilai perkataan dan perbuatan Nasaruddin Umar melampaui batas saat menerima dan mencium kening Paus Fransiskus, yang tidak ditemukan nasnya dalam Al-Qur'an dan hadis Nabi Muhammad SAW.
Bisa berdalih, ini masalah muamalah, layak bersikap ramah dan santun terhadap pemimpin agama Katolik sedunia dalam rangka toleransi. Akan tetapi, sikap toleransi dan menghargai pemimpin umat agama lain dan umatnya tidak lewat batas karena sudah diatur dalam Al-Qur'an dan Sunnah Nabi Muhammad SAW tentang toleransi
Tanpa disadari sikap Nasaruddin Umar yang juga merupakan Rektor Universitas Perguruan Tinggi Ilmu Al-Qur'an (PTIQ) selama hampir 25 tahun (5 periode) bisa memberi dampak negatif bagi umat Islam.
Setidaknya ada lima dampak negatif dari sikap Nasaruddin Umar yang melampaui batas ketika menerima Paus Fransiskus. Pertama, umat Islam yang masih banyak kurang pendidikan dan minim pemahaman agama Islam bisa mengikuti dan meneladani Imam Besar Masjid Istiqlal dan Rektor Universitas PTIQ Jakarta.
Kedua, umat Islam yang kurang memahami ajaran agamanya, bisa bersikap bahwa semua agama sama. Dampaknya, umat Islam bisa berbondong-bondong murtad.
Ketiga, Paus Fransiskus adalah pemimpin agama. Tujuannya ke Indonesia dan beberapa negara di Asia Tenggara untuk berdakwah dalam arti sempit dan luas. Secara halus dan penuh humanis untuk menebarkan kebaikan, kemuliaan dan kebenaran agama yang dipimpinnya. Amat disesalkan dan patut dikecam, Imam Besar Masjid Istiqlal dan Rektor Universitas PTIQ sejatinya memandu dan menyadarkan Umat Islam agar tidak larut dalam euforia dan panjat sosial menyambut Paus Fransiskus, tetapi justru dia melakukannya. Entah apa tujuannya?
Keempat, media memberitakan "Momen mengharukan Imam Besar Masjid Istiqlal Nasaruddin Umar mencium kening Paus Fransiskus, menjadi sorotan masyarakat. Pasalnya kecupan persahabatan itu, dibalas hangat oleh Paus". Pertanyaannya, dengan menyandang Imam Besar Masjid Istiqlal, masih pantaskah disebut "Imam" yang dicontoh dan diteladani?
Kelima, sebagai Imam Masjid Istiqlal dan Rektor Universitas PTIQ Jakarta, sejatinya menjaga iman umat Islam datangnya pemimpin agama Katolik. Justru sangat disesalkan, Nasaruddin Umar larut dalam euforia dan skenario dakwah yang dijalankan pihak lain. Menjaga iman umat Islam, bukan berarti tidak menyambut baik kedatangan Paus Fransiskus di Indonesia, tetapi melayani dan menghormati dengan kepantasan. Tidak menjadikan kedatangan Paus Fransiskus untuk pencitraan dan panjat sosial yang diduga demi kepentingan politik menjelang pembentukan kabinet Indonesia Maju. (*sosiolog dan juru bicara alumni Universitas PTIQ Jakarta)