Opini
Ramadan sebagai Bulan Transformasi (Bagian III)
Oleh: Shamsi Al-Kajangi*
MANHATTAN CITY, 4 Ramadan 1445H - Semua amalan ritual yang ada di bulan Ramadan, puasa, tarawih, tilawah, ragam tasbih dan zikir, harusnya mengantar pada situasi kehidupan sosial yang lebih baik. Perubahan kehidupan sosial ke arah yang lebih baik itulah yang kita maksud dengan transformasi atau “perubahan mendasar” (foundational change).
Tiga hal mendasar telah disampaikan terdahulu. Perubahan kualitas iman dari iman yang bersifat pasif ke Iman yang berkarakter aktif. Juga bahwa Ramadan hendaknya menjadi momen terbaik untuk melakukan transformasi hati dan jiwa. Hati dan keadaan kejiwaan (mental state) inilah yang kemudian menentukan terjadinya transformasi yang ketiga. Yaitu pentingnya membangun akhlak karimah atau perilaku yang baik (mulia).
Empat: Ramadan harus menjadi bulan untuk merekatkan kembali hubungan kekeluargaan. Berbicara tentang keluarga ini tentu yang paling esensial adalah unit keluarga terkecil. Biasanya disebut di Amerika dengan “immediate family members”. Mereka ini jika di Amerika bisa disponsori izin tinggal misalnya. Pasangan suami-isteri, orang tua-anak merekalah yang masuk ke dalam kategori ini.
Makna transformasi keluarga di bulan Ramadan adalah mencoba merajut kembali relasi kekeluargaan yang rentang tercabik-cabik karena banyak faktor. Salah satunya adalah karena kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, khususnya di bidang telekomunikasi dan informasi. Kita sadar bahwa kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi tidak selamanya bersahabat dengan aspek kemanusiaan kita. Sebaliknya bahkan boleh saja membawa kepada hal-hal yang tidak dikehendaki (undesirable).
Kemajuan alat komunikasi, khususnya media sosial, benar-benar menjadikan dunia kita terdisrupsi (mengalami gangguan) secara mendasar. Tidak saja bahwa nilai-nilai kemanusiaan itu terlupakan. Sering kali nilai-nilai kemanusiaan (human values) itu yang seharusnya menjadi pegangan kehidupan manusia tergantikan oleh inovasi keilmuan dan teknologi.
Salah satu nilai yang terabaikan dengan kemajuan alat komunikasi (means of telecommunications) adalah kerekatan relasi antar anggota keluarga. Di sini terjadi fenomena paradoksikal. Asumsinya alat-alat komunikasi itu menjadikan komunikasi antar manusia, khususnya keluarga, menjadi lebih dekat. Justeru yang terjadi sebaliknya. Terjadi kerenggangan dan sering kali miskomunikasi antarmanusia, termasuk antar anggota keluarga terjadi.
Renggangnya komunikasi dan miskomunikasi yang terjadi ini menjadikan satu nilai mengecil bahkan terasa telah hilang. Nilai itu dikenal dalam agama dengan “silaturrahim” (hubungan rahim). Rahim yang dimaksudkan pada kata itu adalah karakter relasi yang penuh kasih sayang (rahmah). Dengan kemajuan teknologi dan ilmu pengetahuan, khususnya di bidang telekomunikasi, menjadikan relasi antar manusia, termasuk keluarga, yang kehilangan nilai “rahmah” itu.
Saya melihat bahwa cara komunikasi kita dalam dunia saat ini sangat berbeda, bahkan sangat jauh dari nilai-nilai pada komunikasi masa lalu kita. Ambillah contoh bagaimana momen-momen koneksi kekeluargaan itu begitu kental di masa lalu melalui santapan makanan bersama. Orang tua dan anak, suami-istri, bahkan keluarga jauh sering kali makan bersama. Sesuatu yang sederhana tapi sangat dalam makna dalam mengekspresikan relasi antar anggota keluarga itu.
Situasi itu kini telah minim bahkan tergantikan. Suami dan isteri masing-masing sibuk dengan dirinya dan alat komunikasinya. Orang tua dan anak juga demikian. Masing-masing sangat tergantung pada alat komunikasi yang ada di tangannya. Akibatnya terjadi tidak saja “gap komunikasi”. Tapi nilai relasi rahim (silaturrahim) tadi itu menjadi minim dan gersang. Hubungan antar anggota keluarga pun semakin gersang dan renggang.
Di sinilah Ramadan hadir untuk memungkinkan terjadinya transformasi itu. Ambillah satu bentuk amalan yang dijadikan kembali sebagai tradisi. Makan bersama di satu meja bersama seluruh anggota keluarga. Di waktu sahur misalnya. Yang kemudian dilanjutkan dengan Sholat subuh berjamaah bersama di mesjid atau di rumah jika Masjid memang jauh dari rumah. Tradisi ini akan dengan sendirinya merekatkan kembali relasi kekeluargaan (silaturrahim) itu.
Apalagi sekiranya waktu dan kesempatan itu ada hendaknya di rumah-rumah keluarga Muslim ada Halaqah Keluarga selama Ramadan. Di Halaqah ini masing-masing anggota keluarga memiliki kesempatan untuk mengkomunikasikan isi hati dan kepala. Di sini akan terjadi selain silaturahmi juga silatul fikri (menyambung ide dan pikiran).
Sesungguhnya pembiasaan makan bersama dengan anggota keluarga akan membawa dampak positif untuk terbangunnya komunikasi positif bagi anggota keluarga. Sesuatu yang telah terdisrupsi secara mendasar dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi selama ini. Sekali lagi Ramadan menjadi momen yang tepat untuk mereparasi itu kembali. Semoga! (*)
*Penulis adalah Presiden Nusantara Foundation