Opini
Memanfaatkan Pangan Lokal
Oleh: Adiyanto

KOLAK PISANG mungkin jadi salah satu menu takjil favorit keluarga di Indonesia di saat Ramadan. Beragam jenis pisang tersebar di sejumlah kepulauan yang ada di Nusantara. Orang Jawa, menyebutnya Gedhang. Di Bali, buah ini dinamakan Biyu, sementara Suku Sunda menyebutnya Cau.
Kita barangkali bisa menyebut dengan mudah bahan makanan yang terbuat dari pisang. Selain kolak, ada kue pisang, keripik, hingga pisang goreng yang dapat menjadi teman ngopi di pagi dan sore hari. Begitu pula dengan singkong dan ketela. Semua komoditas pangan itu tersedia melimpah di hampir seluruh pelosok negeri ini dan dapat diolah menjadi berbagai aneka hidangan.
Dengan kondisi tanah yang subur ditunjang iklim yang baik, masyarakat di negeri ini semestinya tidak perlu khawatir kekurangan pangan karena segalanya berlimpah.
Ketika harga gandum melonjak dan berpotensi menyebabkan krisis pangan akibat konflik Rusia-Ukraina, misalnya, kita tidak perlu takut karena kita punya sorgum. Tanaman serealia yang berasal dari Afrika Timur dan banyak dibudidayakan di Indonesia ini, juga dapat dimanfaatkan menjadi pengganti beras.
Masyarakat, khususnya di Jawa, Sulawesi, dan Nusa Tenggara Timur, sudah mengenal dan memanfaatkan tanaman itu dari dulu. Sorgum, atau cantel dalam bahasa Jawa, bahkan tertera di relief Candi Borobudur. Kearifan lokal di bidang kuliner itu semestinya dimanfaatkan untuk menopang perekonomian nasional agar berkelanjutan. Ia harus menjadi tuan rumah di negeri sendiri. Syukur-syukur bisa mengglobal.
Dulu bangsa Eropa jauh-jauh datang untuk mencari rempah-rempah seperti cengkih, lada, dan pala. Mengapa sekarang kita harus mengimpor berbagai komoditas pangan, padahal segalanya melimpah di negeri yang katanya gemah ripah loh jinawi ini. Daripada mengonsumsi gandum yang jelas-jelas tidak bisa dibudidayakan di sini, lebih baik memanfaatkan sorgum. Bukan cuma sorgum, singkong, jagung, dan tanaman umbi-umbian lainnya, juga dapat dimanfaatkan sebagai makanan pokok. Semuanya juga bisa diolah menjadi aneka kuliner lezat dan bergizi.
Sudah saatnya kebijakan pangan kini berpihak pada komoditas pangan Nusantara. Dengan memanfaatkan sains dan teknologi, kita semestinya bisa. Jangan solusinya serbainstan, impor.
Konsep kemandirian pangan harus betul-betul serius diwujudkan. Jangan sebatas slogan. Ancaman krisis pangan dan energi yang terjadi saat ini kiranya harus jadi momentum untuk memperkuat fondasi ekonomi. Tidak ada kata terlambat selama ada kemauan.
Sudah hampir 80 tahun negeri ini merdeka. Sudah semestinya bangsa ini berdaulat, baik secara ekonomi, budaya, maupun politik, seperti yang dicita-citakan para pendiri bangsa.
Langkah itu mungkin bisa dimulai dari hal kecil dengan mengingatkan lagi jati diri bangsa. Pada momentum Agustusan, misalnya, sebaiknya diperbanyak lomba memasak aneka hidangan Nusantara berbahan pangan lokal, seperti sorgum, singkong dan sebagainya. Atau meracik berbagai minuman, entah itu kopi, teh, maupun wedang jahe. Pepatah bilang, tak kenal maka tak sayang. Ketimbang rakyat disuruh lomba balap karung dan makan kerupuk melulu yang kurang banyak manfaatnya.
Penulis adalah Jurnalis Senior dan Pengamat Budaya