Opini
Kejahatan Perampasan Tanah: Kepolisian Sebagai Alat Mafia Tanah?
Oleh: Ahmad Khozinudin, S.H.

DALAM sebuah laporan yang mencengangkan, LBH AP Muhammadiyah melalui Rekan Gufroni mengungkap dugaan penyalahgunaan wewenang oleh AKP Yan Hendra, Penyidik Unit HARDA III Polres Tangerang. Laporan yang resmi diterima Divisi Propam Mabes Polri (Nomor: SPSP2/001389/III/2025/BAGYANDUAN, 19 Maret 2025) ini membuka tabir kasus perampasan tanah seluas 200 Ha milik H. Fuad, di mana kepolisian seolah-olah bersekongkol dengan oknum yang terafiliasi dengan Agung Sedayu Group.
Kisah Pahit di Balik Tanah 200 Ha
H. Fuad, pemilik sah lahan di Tangerang, menolak tawaran Agung Sedayu Group demi melindungi hak petani dan pemilik lahan lainnya. Penolakan ini membuatnya menjadi korban kriminalisasi dengan penerapan Pasal 263 dan 266 KUHP—sengaja dirancang untuk menjatuhkan korban mafia tanah. Tanpa ampun, H. Fuad bahkan ditahan, mengalami penurunan kesehatan yang semakin parah hingga akhirnya dipaksa untuk menjual tanahnya melalui tekanan yang tak terelakkan.
Peran Mencurigakan AKP Yan Hendra
Di tengah situasi genting itu, AKP Yan Hendra hadir bukan sebagai penegak hukum, melainkan sebagai fasilitator transaksi yang meragukan. Dituduh ikut serta dalam penandatanganan pelepasan hak atas tanah tanpa tanda terima resmi dan AJB, Yan Hendra bahkan menjanjikan penghentian penyidikan jika H. Fuad rela menjual tanahnya.
Pertanyaan Menggelitik Tentang Tupoksi Polisi
Mengapa polisi terlibat dalam proses pengalihan hak dan penyerahan sertifikat yang seharusnya menjadi ranah notaris? Bukankah tugas mereka untuk menegakkan hukum, bukan mendukung transaksi yang tampak seperti intimidasi? Janji-janji palsu dari pihak kepolisian yang menunggu bayaran menjadi bukti nyata bahwa keadilan sedang digadaikan demi kepentingan pribadi dan kelompok tertentu.
Seruan Untuk Tindakan Tegas
Kita tidak bisa membiarkan aparat negara, yang seharusnya melayani kepentingan rakyat, malah menjadi alat penindasan. Sudah saatnya kasus perampasan tanah rakyat Banten ini ditangani secara serius. Pihak yang terlibat—terutama polisi yang dianggap “jongos” Aguan—harus diberikan sanksi setimpal, bukan hanya pemecatan tetapi juga penjara. Kita harus mengawal kasus ini hingga ke titik akhirnya agar keadilan bagi H. Fuad dan para korban perampasan tanah terwujud.
Opini ini menggugah kita untuk selalu kritis dan mengawasi setiap tindakan aparat negara demi memastikan bahwa keadilan tidak dikorbankan demi kepentingan segelintir elit. Mari bersama kita bersuara dan beraksi agar hak atas tanah rakyat tidak terus diabaikan!
Penulis adalah Koordinator Tim Advokasi Melawan Oligarki Rakus Perampas Tanah Rakyat (TA-MOR-PTR)
#AntiKorupsi #PerampasanTanah #KeadilanUntukRakyat #StopMafiaTanah #PolisiKorupsi #ReformasiHukum #BantenBersih