Opini
Isra’ Mi’raj dan Realita Umat
Part 1
SEBAGAIMANA berbagai peristiwa sejarah lainnya yang terjadi dalam perjalan Islam, Isra Mi’raj Rasulullah SAW sesungguhnya tidak bisa dipastikan kapan persis terjadinya. Namun demikian, tanggal 27 Rajab banyak diyakini sebagai malam terjadinya peristiwa penting dan bersejarah itu. Malam di saat Allah memberikan hadiah terbaiknya bagi hambaNya (abdahu), nabi dan Rasul terakhir Muhammad SAW yang diutus untuk alam semesta (rahmatan lil alamin).
Isra dan Mi’raj adalah dua kata yang mendeskripsi perjalanan itu. Isra’ dimaknai sebagai perjalanan di malam hari. Sementara Mi’raj dimaknai sebagai jalan menuju ke atas (pergerakan secara vertikal). Dengan demikian Isra dan Mi’raj adalah peristiwa ketika Rasulullah diperjalankan oleh Penciptanya dari Masjidil Haram di Mekah ke masjidil Aqsa di Yerusalem, lalu dari Yerusalem diperjalankan ke atas (vertikal) menuju Sidratul Muntaha (akhir dari segala akhir dari alam semesta).
Peristiwa Isra’ Mi’raj adalah peristiwa imani (keimanan). Peristiwa yang melibatkan secara langsung, sekaligus menjadi ujian keimanan bagi umat. Karenanya di saat Allah menceritakan peristiwa ini di Surah An-Najm, Allah menekankan bahwa apa yang disampaikan oleh Muhammad bukan dari dirinya sendiri (karangan atau dongeng). Tapi memang wahyu dari Allah SWT (An-Najm: 3-4). Hal ini diperkuat dengan ekspresi kemaha sempurnaan Allah (subhanahu) yang memperjalankan hambaNya itu. Maka mempertanyakan peristiwa Isra dan Mi’raj adalah bentuk mempertanyakan kekuasaan dan kesempurnaan Allah SWT.
Peristiwa Isra’ dan Mi’raj memang sebuah peristiwa yang penuh dengan kemukjizatan. Karena peristiwa ini memang dimaksudkan untuk memberikan kekuatan dan kemenangan “morale” kepada Rasulullah di tengah tantangan berat yang dihadapinya. Pemboikotan Bani Hasyim (keluarga Rasulullah) yang juga berujung pada wafatnya istri dan paman tercinta menjadikan Rasulullah semakin tertekan dan tersudutkan dalam pergerakan dakwahnya. Bahkan ikhtiar untuk mendakwahkan agama ini ke Thaif juga berakhir dengan tantangan yang luar biasa.
Semua itu menjadikan situasi begitu berat dan menyedihkan bagi beliau. Maka tahun itu juga beliau sebutkan sebagai tahun kesedihan (‘amul huzni). Kesediaan karena wafatnya dua pendukung utama beliau; Khadijah RA dari kalangan mereka yang beriman dan Abu Thalib dari kalangan mereka yang kafir. Meninggalnya istri dan paman tercinta beliau menjadikan musuh-musuh semakin leluasa untuk melakukan berbagai hal yang hampir saja menghabisi Rasulullah, baik secara misi bahkan hidupnya.
Kebangkitan Islam secara individual
Merujuk kepada latar belakang peristiwa Isra’ Mi’raj kita bisa memahami bahwa perjalanan ini merupakan “spirit boost” (penguatan semangat) untuk Rasulullah SAW. Sekaligus dipahami sebagai pilar kebangkitan Islam pada tataran individual. Kebangkitan Islam pada tataran individual ditandai dengan soliditas relasi dengan Pencipta alam semesta. Bagi Rasulullah hal ini melalui peristiwa Mi’raj langsung. Dan bagi umatnya melalui sholat yang ditetapkan sebagai mi’rajnya. Sebagaimana sabda Rasul: “sholat ada Mi’raj orang yang beriman”.
Melihat realita umat saat ini rasanya peristiwa Isra’ Mi’raj ini menjadi sangat relevan. Bahwa berbagai tantangan dan kesulitan yang dahsyat yang dihadapi oleh umat saat ini boleh saja justeru merupakan awal kebangkitan yang ditunggu-tunggu itu. Berbagai penderitaan dan kesulitan yang menerpa umat Muhammad SAW, baik di negara-negara di mana mereka sebagai minoritas maupun di negara-negara di mana mereka sebagai mayoritas, rasanya telah sampai pada puncaknya (it’s pinnacle).
Kekejaman pemerintahan Komunis kepada masyarakat Muslim Uighur di Xinjiang, pembantaian dan pengusiran saudara-Saudara Muslim Rohingnya di Burma, kezaliman kepada Saudara-saudara Muslim kita di India dan Kashmir, dan tentunya masyarakat Muslim minoritas dengan segala “oportunitas” yang ada di negara-negara Barat, masih juga menghadapi berbagai kesulitan akibat Islamophobia yang masih tinggi.
Tentu terkhusus lagi dalam tahun-tahun terakhir penderitaan Saudara-saudara kita yang berkepanjangan di Timur Tengah, khususnya di Bumi Syam, rasanya telah sampai pada titik nadir di luar daya manusia normal memahaminya. Lima puluh tahun lebih masyarakat Suriah berada di bawah kungkungan kekuasaan zalim Al-Asad. Namun pada akhirnya di akhir terowongan panjang itu mentari kini mulai menampakkan diri dengan cahayanya yang bersinar.
Mungkin realita yang paling menyedihkan dan menyakitkan adalah penderitaan dan kezaliman yang dialami oleh saudara-saudara kita di Palestina, baik di Gaza maupun di Ramallah. Saya tidak perlu lagi mengulangi penderitaan dan kepedihan yang mereka alami. Tidak saja dalam hampir dua tahun terakhir. Mereka telah mengalami ini lebih dari 75 tahun. Tapi mereka tegar kokoh bagaikan karang di tengah laut menghadapi kezaliman penjajah Zionis Israel. Kesabaran dan kekuatan mereka kini mulai menampakkan titik-titik cahaya harapan. Walaupun mereka diluluh lantakkan di negara mereka, namun mereka tidak pernah melemah. Semakin terasa kemenangan itu baik secara domestik, apalagi pada tataran global.
Karenanya dengan memperingati Isra’ Mi’raj Rasulullah SAW ini kita semakin optimis dengan janji Allah bahwa “sesungguhnya kemenangan itu dekat” dan rasanya semakin mengkristal. Dan pastinya keimanan kita memastikan bahwa: “Sesungguhnya Allah tidak akan mengingkari janjiNya”.
Dilemanya memang bukan pada musuh-musuh Islam. Tapi pada kita yang mengaku Muslim. Mengaku Muslim tapi kehilangan jati diri dan “izzah” (kemuliaan) dalam menghadapi musuh-musuh itu. Umat mengalami “inferioritas kompleks” yang parah. Merasa takut dan kalah tanpa ditakuti dan dikalahkan oleh siapapun. Melemah seolah tak berdaya melakukan hal seharusnya dilakukan untuk memenangkan umat ini.
Secara teologis memang kita yakin bahwa musuh-musuh itu pasti akan selalu ada. Itu adalah sunnatullah dalam perjalanan keimanan umat ini. Dan itu bukan hal yang mengagetkan dan menakutkan. Yang mengagetkan dan menakutkan adalah ketika umat ini kehilangan pegangan (al-‘urwatul wutsqa). Menjadikan mereka minder, tidak punya prinsip dan rela didikte dan diarahkan bagaikan buih di tengah hempasan ombak di tengah samudra luas.
It’s the time to change!..bersambung!