Opini

Big Data untuk "Lawan" Konstitusi

Eko Satiya Hushada — Satu Indonesia
18 Maret 2022 18:43
Big Data untuk "Lawan" Konstitusi

BIG DATA, istilah yang sedang ramai menjadi tema bahasan elit beberapa hari belakangan ini. Awalnya Ketua Umum Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Muhaimin Iskandar. Tak lama, disusul Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman Luhut Binsar Pandjaitan. 

Keduanya bicara satu tema, bahwa big data yang mereka pegang menyebutkan, dari 110 juta percakapan di media sosial, sebesar 60 persennya, menginginkan pengunduran jadwal Pemilu 2024 hingga tiga tahun ke depan. Dengan demikian, masa jabatan Joko Widodo dan Ma’ruf Amin sebagai presiden dan wakil presiden, diperpanjang hingga tahun 2027 mendatang.

Big data itu, kata Luhut di kanal Youtube Deddy Corbuzier, Jumat (11/3/2022), menunjukkan ketidaksetujuan rakyat soal penyelenggaraan pemilu pada masa pandemi. Luhut mengklaim rakyat tak mau uang Rp110 triliun dipakai untuk menyelenggarakan pemilu. Jadi serem nih, big data jadi alasan untuk ‘melawan’ konstitusi, melanggar Undang-Undang Dasar 1945. 

Meminjam istilah pakar hukum Denny Indrayana dalam surat terbukanya kepada Presiden Joko Widodo, pembataln Pemilu 2024 adalah sikap yang terang-benderang menabrak UUD 1945. Bukan hanya satu, tapi banyak pasal yang dilanggar. Di antaranya adalah soal Indonesia negara hukum, Pasal 1 ayat (3). Menghilangkan pemilu menyebabkan Indonesia lebih mengedepankan negara berdasarkan nafsu kekuasaan belaka (machtstaat), dan jauh menyimpang dari negara berdasarkan hukum (rechtstaat).

Dalam tulisan ini, saya mencoba men-jlentreh-kan (membicarakan dengan detail) soal big data yang dimaksud Muhaimin dan Luhut. Big data, kumpulan data postingan netizen di media sosial, yang kemudian menjadikan dasar untuk menunda pemilu. Kebetulan, perusahaan konsultan politik dan riset yang saya pimpin, Brand Politika, salah satu layanannya adalah, pengumpulan data ini untuk kemudian dianalisis, sesuai kebutuhan klien. Kami menyebutnya Monitoring dan manajemen media. 

Mengutip Wikipedia, Big Data atau yang disebut sebagai mahadata, data raya, atau data bandang, yakni sebuah istilah umum untuk segala himpunan data dalam jumlah yang sangat besar, rumit, dan tak terstruktur. Sehingga menjadikannya sukar ditangani apabila hanya menggunakan perkakas manajemen pangkalan data biasa atau aplikasi pengolah data tradisional. Sederhana bisa jadi begini, sekumpulan banyak data yang pengolahannya perlu menggunakan aplikasi manajemen olah data.

Di Brand Politika, kami menggunakan aplikasi yang terhubung ke internet, untuk mengumpulkan secara otomatis setiap percakapan di media sosial (Twitter, Facebook, instagram, Youtube) dan media berita online, sesuai kata kunci yang diinginkan. Misalnya saja soal penundaan pemilu, maka kata kunci yang diinput di aplikasi; tunda pemilu, penundaan pemilu, pemilu ditunda dan atau tunda pemilu 2024. 

Dengan kata kunci itu, setiap netizen yang posting di dinding medsosnya, atau mengomentari postingan orang lain dengan menulis dua suku kata tersebut, maka secara otomatis akan masuk atau ter-collect dalam sistem. Begitu juga berita di media online. Misalnya, sebuah akun menulis,“saya setuju pemilu ditunda”. Atau,”Janganlah sampai pemerintah menunda pemilu”. 


Berita Lainnya