Opini

Visi Indonesia Emas 2045: Mimpi atau Utopia?

Oleh: Adiyanto

Adiyanto — Satu Indonesia
6 hours ago
Visi Indonesia Emas 2045: Mimpi atau Utopia?
Ilustrasi - Indonesia Emas 2045 (Foto: Istimewa)

SETIAP tanggal 28 Oktober kita memeringati Hari Sumpah Pemuda. Pada setiap jenjang pendidikan, mulai dari SD (bahkan Taman Kanak-kanak) hingga sekolah menengah, peringatan itu hanya diisi kegiatan yang itu-itu saja, monoton. Paling banter siswa disuruh mengenakan pakaian adat (sebagai simbol keragaman budaya) atau mengikuti upacara bendera yang menu utamanya pembacaan naskah Sumpah Pemuda. Intinya siswa hanya disuruh menghafal isi teks usang yang menegaskan pengakuan bertanah air, berbangsa, dan  berbahasa satu; Indonesia.


Padahal, jika direnungkan lebih jauh, ada makna luar biasa di balik peristiwa yang digaungkan hampir seabad silam itu. Coba bayangkan, ketika para pemuda dari berbagai pulau itu mendeklarasikan komitmen tersebut, bangsa ini masih dalam cengkraman kolonial. Melalui butir-butir kesepakatan itu, mereka, para pemuda yang rata-rata berusia 20-an tahun itu, telah mengimajinasikan suatu tali perekat untuk mempersatukan masyarakat yang tersebar di kepulauan ini. 

Kesadaran kolektif itulah yang merajut 'tali imajiner' dan menjadi salah satu benih atribut perlawanan, yang akhirnya melahirkan negara seperti ini sekarang.
Berkaca dari peristiwa itu, kita semestinya belajar betapa pentingnya imajinasi, karena dari situlah bangsa ini dapat memproyeksikan masa depannya. 

Begitu juga dengan cita-cita, harapan, atau entah apapun istilahnya, tentang Visi Indonesia Emas 2045 yang digadang-gadang pemerintah. Memiliki visi, cita-cita, atau harapan adalah hal yang lumrah. Bung Karno bahkan pernah bilang "gantungkan lah cita-citamu setinggi langit." Pertanyaannya sekarang, langkah apa yang dipersiapkan untuk mewujudkan mimpi tersebut?

Agar harapan itu tidak sekadar menjadi jargon atau slogan, ia tentunya harus juga dipahami oleh mereka yang terlibat di dalamnya, terutama  generasi muda. Apalagi, sesuai visi tersebut, Indonesia akan mencapai tinggal landas di berbagai bidang, tepat pada seabad kemerdekaannya. Keyakinan itu didasari pertimbangan karena sebagian besar sumber daya manusia Indonesia saat itu, berada dalam usia produktif.

Faktor Pendidikan

Setiap zaman melahirkan generasinya masing-masing. Begitu dalil sejarah. Peran mereka pun berbeda. Jika pemuda di era 1920-an berkutat mencari identitas, angkatan 45 dengan bedil dan bambu runcing,  generasi sekarang berjuang dengan ilmu pengetahuan dan teknologi. Dengan begiru, faktor pendidikan amat berperan penting. Akan tetapi, ironisnya, berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), pada 2023 terdapat sekitar 9,9 juta penduduk usia muda (15-24 tahun) tanpa kegiatan apapun atau youth not in education, employment, and training (NEET). Artinya, mereka tidak bersekolah, bekerja, atau mengikuti kursus apapun alias menganggur. Maraknya praktik bullying dan segala bentuk kenakalan remaja lainnya yang bahkan sudah menjurus kriminal, salah satunya mungkin ekses atau dampak dari hal ini.

Ini tentu pekerjaan rumah yang mesti dibenahi secara serius, tidak hanya oleh pemerintah tetapi seluruh pemangku kepentingan. Sejauh ini, pemerintah, melalui kementerian kebudayaan, telah menginisiasi gerakan estafet kebudayaan Indonesia. Gerakan ini salah satunya bertujuan untuk mendekatan lagi nilai-nilai luhur budaya bangsa, seperti sopan santun dan sebagainya, terutama di kalangan anak muda. "Kebudayaan bukan semata bersifat kebendaan seperti kesenian dan museum, tapi juga ada yang bersifat tak benda, termasuk berbagai kearifan lokal," kata ketua dan inisiator gerakan estafet kebudayaan Neno Warisman.

Kementeriah kebudayaan tentu tidak dapat berperan sendirian. Visi itu (mencetak generasi emas 2045), hanya dapat terwujud jika juga menjadi harapan dan tujuan bersama seluruh elemen bangsa. Tanpa peran serta kesadaran kolektif, cita-cita itu rasanya hanya sebatas menjadi slogan.

Penulis adalah Jurnalis Senior dan Pemerhati Budaya


Berita Lainnya